Kupang, RNC – Penggunaan dana desa yang digulirkan sejak tahun 2015 seharusnya diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan. Namun dalam perkembangannnya, dana desa yang berlimpah ternyata rawan disalahgunakan.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak Maret 2016 hingga saat ini tercatat ada 87 aparatur desa yang terseret dalam kasus korupsi dana desa dan ADD. 52 orang diantaranya adalah kepala desa/penjabat kepala desa. Sedangkan 35 orang lainnya berkapasitas sebagai sekretaris, bendahara dan aparatur desa yang dipercayakan menjadi ketua tim pelaksana kegiatan (TPK). Data ini dirangkum RakyatNTT.com, Jumat (26/3/2021) melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang.
Dari 52 kades yang diproses hukum, 50 orang sudah divonis bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana putusan majelis hakim. 2 orang lainnya masih berstatus sebagai terdakwa. Dalam putusan, sebagian besar kades juga dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti (UP) untuk menutupi kerugian negara. Jika diakumulasi nilainya mencapai Rp. 9.010.366.813,07. Angka ini sudah dikurangi dengan nominal uang yang dititip/dikembalikan terdakwa atau disita oleh jaksa sebelum putusan.
BACA JUGA: 52 Kades di NTT Korupsi Dana Desa, Kerugian Mencapai Rp 9 M
Sementara 35 aparatur desa lainnya yang juga terseret kasus korupsi dana desa, 32 orang diantaranya sudah divonis. Sedangkan 3 orang lainnya masih menjalani persidangan. Akumulasi kerugian negara yang harus dibayar mencapai Rp 3.977.505.994,32.
Selain 87 aparatur desa, beberapa kasus korupsi pengelolaan dana desa juga melibatkan pihak ketiga dalam hal ini kontraktor (direktur/kuasa direktur CV, pelaksana lapangan, konsultan). Mereka ikut terlibat karena proyek fisik yang bersumber dari dana desa tidak dikerjakan hingga tuntas. Tercatat ada 10 orang dari pihak ketiga yang sudah divonis oleh majelis hakim. Beberapa diantaranya ada yang sudah menitipkan uang pengganti kerugian negara kepada jaksa sebelum putusan. Sebaliknya ada yang belum mengembalikan uang pengganti kerugian negara sampai putusan dibacakan. Total kerugian negara yang harus diganti oleh pihak ketiga mencapai Rp 841.434.122,29.
Secara keseluruhan, kerugian negara yang harus diganti oleh kades dan aparatur desa serta pihak ketiga mencapai Rp.13.829.306.929,68. Dari jumlah yang ada, belum diketahui secara pasti berapa nominal yang sudah dikembalikan pasca putusan. Dan faktanya, tidak banyak yang mengembalikan uang pengganti kerugian negara. (rnc09)
Dana desa bukan untuk pembangunan semata tp untuk pemberdayaan aparatur desa dan pimpinan desa
Semoga tim BPK propinsi harus turun ke pelosok desa untuk menilai pembangunan dan pemberdayaan yg di biaya hi dgn dana desa apakah dana desa selama 10 tahun itu kena pada sasaran tdk jgn tunggu masyarakat yang mengadu karena setahu saya dana desa selama 8 tahun sebelum pandemi tdk begitu maksimal untuk pembangunan di desa saya item pekerjaan tahun 2017 yg di program kan belum tuntas sampai dgn hari ini saya sebagai masyarakat merasa sangat heran dgn cara ini karena item itu kan sdh punya plafon dana ko tdk bisa di selesaikan pemerintah Desa di tempat saya mereka pakai sistem tahun berikutnya baru di selesaikan pertanyaan nya dana tahun kemarin di kemanakan mohon agar kerja sama dari BPK propinsi bisa menyikapi
Salam dari Adonara tengah