Refleksi Filosofis Menuju Pemilu 2024
Oleh Fransiskus Aryanto Narang
PEMILU selalu menjadi hal menarik di negara demokrasi. Berbagai hal yang berkaitan dengan pemilu menjadi trending topic di berbagai platform media sosial, seperti quotes, meme, slogan para caleg, dan masih banyak lagi. Akhir-akhir ini banyak beredar meme dengan ungkapan: Kalau ada orang tiba-tiba berbuat baik, berarti dia caleg. Pemilu yang sudah dekat memang sarat dengan ornamen-ornamennya yang khas, tidak lupa juga “dandanan” para caleg. Gambaran pemimpin yang ideal seringkali ada di saat menjelang pemilu, setelahnya adalah amnesia yang berujung janji selesai di mulut. Pemimpin yang ideal adalah orang yang mendahulukan kepentingan rakyatnya, inilah poin penting dalam Arthashastra yang akan dijadikan acuan dalam tulisan ini.
Arthashastra adalah buku karangan Kautilya, yang isinya berbicara tentang mengelola negara melalui politik, ekonomi, budaya, dan lainnya. Kautilya sendiri juga dikenal sebagai Canakya dan Vishnugupta, ia adalah bapa ilmu politik India yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri India. Arthashastra sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu Artha yang berarti tujuan dan Shastra yang berarti risalah atau buku. Sehingga arthashastra berarti buku atau pedoman untuk mencapai sesuatu. Pembahasan tentang tata kelola negara dalam buku ini membuatnya arthashastra sering diterjemahkan sebagai ilmu politik, ilmu ekonomi politik dan ilmu perolehan material. Tujuan utama buku ini adalah tentang cara penguasa bertindak. Penguasa yang baik adalah penguasa yang tunduk pada keinginan rakyatnya.
Kautilya mengindikasikan bahwa kebahagiaan raja adalah kebahagiaan rakyat. Dalam World History Encycloprdia terdapat kutipan langsung dari arthashastra yang telah diterjemahkan, bunyinya: “Dalam kebahagiaan rakyatnya terletak kebahagiaan raja, dalam kesejahteraan mereka, kesejahteraannya. Dia tidak akan menganggap baik hanya apa yang menyenangkannya tetapi memperlakukan sebagai yang bermanfaat baginya apapun yang menyenangkan rakyatnya. Ungkapan ini tidak bermaksud agar pemimpin mengikuti semua keinginan rakyatnya tanpa memilah, akan tetapi setiap kebijakannya harus bisa menjadi cerminan perhatiannya bagi masyarakat. Kautilya adalah sosok realis yang memuat strategi seorang pemimpin dalam karyannya, arthashastra menjadi panduan bagi pemimpin untuk memperkaya pengetahuannya tentang kepemimpinan dan cara mengelola negara dengan baik. Pemimpin harus memprioritaskan rakyatnya.
Arthashastra juga memuat tujuh komponen penting dalam pengelolaan negara, ketujuh komponen tersebut adalah: Svami (Kepala Negara), Amatya (Menteri atau pejabat negara), Janapada (Wilayah), Durga (Benteng), Kosha (Perbendaharaan negara), Danda (Militer), dan Mitra (Sekutu). Komponen-komponen tersebut berpatokan pada komando seorang pemimpin. Kekuatan sebuah negara kemudian ditentukan oleh sang pemimpin, rakyat pun adalah imbas dari kebijakan tesebut. Kesejahteraan hanya bisa didapat melalui kebijakan yang tepat. Pada konteks penulisan arthasastra memang ada gejolak politik di mana Kautilya menulisnya untuk Raja Chandragupta Maurya (Raja Maurya) untuk membantunya dalam memerintah, sebab peperangan pun masih kental saat itu. Akan tetapi perdamaianlah yang patut dicanangkan sebab masa damai menghasilkan kelimpahan. Sedangkan pada konteks masa kini, saya lebih mencari korelasi pokok gagasan arthashastra terhadap sepak terjang para pemimpin masa kini. Sehingga mereka memprioritaskan kepentingan bersama (bonum commune) ketimbang kepentingan pribadi.
Pemilu 2024 sudah dekat dan banyak partai politik telah mengumumkan siapa yang akan diusungnya untuk menjadi pemimpin, akan tetapi mengapa nada-nada pesimis tetap merebak dalam diri masyarakat? Berbagai respon di berbagai media adalah hasil dari refleksi terhadap kinerja para pemimpin sebelumnya. Banyak janji yang diabaikan, kasus korupsi membludak alhasil banyak proyek mandek, bahkan aspirasi rakyat didiamkan saja. Di Indonesia, pemilu juga dikenal sebagai pesta demokrasi. Sebuah ajang yang memberi rakyat keleluasaan untuk memilih sesuai asas pemilu, yaitu luber jurdil (langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil). Namun kualitas pemilu di Indonesia pun belum lolos dari yang namanya sikap sentimental. Orang memilih berdasarkan kesamaan latar belakang tertentu, dan bukan berdasarkan track record-nya. Politisasi identitas memang bukan hal yang baru di Indonesia, hal ini sering dijadikan salah satu strategi dalam pemilu. Isu-isu berbau rasis disebarkan agar tujuannya tercapai, misalnya x adalah bagian dari kita maka y tidak boleh dipilih, jika memilih y akan dikucilkan. Sekalipun y baik dalam beberapa aspek, seketika semuanya menjadi buruk. Dalam realitas, x tidak menjalankan pemerintahan dengan baik, ia dicerca tetapi saat pemilu hal sama terulang, ya tidak boleh dijadikan pemimpin. Kita masih harus belajar kritis terhadap situasi pemilihan.
Momen menjelang pemilu harus menjadi saat seleksi. Rakyat harus jeli dalam menentukan pilihannya tanpa termakan isu-isu hoax yang tidak benar. Segala aspek harus diteliti. Setiap orang sebenarnya harus menjadi agen politik bagi diri sendiri dan bagi orang lain yang kurang peduli dengan berbagai sumber informasi yang didapatkan. Sehingga pengelolaan negara berada di tangan yang tepat. Demokrasi sebagai kedaulatan rakyat tidak berarti segala keputusan diambil langsung oleh rakyat, yang dituntut adalah pemerintahan negara berada di bawah kontrol rakyat itulah realisme demokrasi modern. Kontrol rakyat terhadap pemerintahan terlaksana dalam pemilu melalui pemilihan para wakil rakyat dan melalui publisitas pemerintahan. Pengawasan itu meski sifatnya terbatas, tetapi itu nyata. Sehingga negara (para pemimpin) bertindak selalu dengan kesadaran bahwa ada yang memperhatikan, persoalannya kalau pemimpinnya mati rasa.
Kautilya menghendaki pemimpin yang memiliki kecakapan moral, yaitu kecakapan yang meliputi penguasaan diri dan orang lain. Dalam arthashastra ditulis: Siapa saja yang menjadi raja walaupun wilayahnya membentang sampai ke ujung dunia, bila moralnya bejat dan inderanya tidak dikuasai, pasti akan segera binasa”. (Segara; 2014). Pemimpin tidak boleh mengabaikan rakyatnya. Dalam konteks menjelang pemilu 2024 di Indonesia, hal ini menjadi sangat urgen bagi para caleg yang akan menjadi pemimpin nantinya. Pemimpin tidak boleh hanya bermain drama saat pemilu saja, tetapi berkomitmen pada setiap janji yang dibuatnya. Kebijakan seorang pemimpin pun harus menjadi jalan menuju kesejahteraan bersama. Kesejahteraan pemimpin harus menjadi kesejahteraan rakyat pula, bukannya kesejahteraan pemimpin malah menjadi penderitaan rakyat. Dalam etika klasik, pemaknaan terhadap hidup yang benar adalah sebuah jalan bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan ada dalam kebijakan yang dibuat pemimpin.
Sebagaimana pertanyaan dasar etika yang digagas George Edward Moore (Magnis-Suseno; 2000): Pertama, apa yang harus dilakukan; Kedua, apa yang bernilai; Ketiga apa arti kata baik? Sehingga sebelum kebijakan dibuat hendaknya dipertimbangkan secara matang dengan memperhitungkan dampaknya bagi rakyat, inilah sikap yang harus menjadi bagian dalam diri seorang pemimpin. Pemimpin perlu mempertimbangkan apa yang akan dibuat, nilainya dan baik-buruknya kebijakan tersebut.
Sebagai pemimpin ada empat cara yang ditawarkan Kautilya dalam arthashastra perihal kepemimpinan, yaitu: Pertama, melindungi negara, objek utama dari perlindungan tersebut adalah masyarakat. Kedua, memelihara kepatuhan terhadap aturan. Ketiga, memajukan kesejahteraan umum. Keempat, menjaga kepatuhan terhadap hukum dan keadilan. Pemimpin harus mampu menunjukan kualitasnya dengan melakukan hal-hal tersebut, sebab kepercayaan hadir saat tanggungjawab yang diemban dilaksanakan dengan baik. Sehingga janji bisa sampai pada aplikasi, bukan hanya sekedar pemanis saat kampanye. (*)
Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com