oleh

BANG ALI DAN JERIKO

Oleh: Yan P. Lilo*

Buatlah kota ini menjadi kota yang hebat, sebuah ibu kota yang menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia”

Demikianlah pesan bung Karno sesaat setelah mengangkat Ali Sadikin (Bang Ali) sebagai Gubernur Jakarta pada Kamis, 28 April 1966.
Bang Ali yang kala itu baru berusia 33 tahun, seorang perwira KKO cuman mengangguk, tersenyum menyiratkan pancaran konflik bathin yang hebat.

Kas Pemda Jakarta cuma Rp 66 juta, dengan rincian perolehan sebanyak Rp 22 juta hasil pungutan daerah dan Rp 44 juta hasil subsidi. Jelas angka yang amat kecil bahkan untuk ukuran saat itu.

Sejarah kemudian mencatat Bang Ali memajaki semua kendaraan bermotor. Masih kurang, dia bangun lokalisasi dan perjudian di Ancol dengan dasar UU Nomor 11 Tahun 1957.

Semboyanya kala itu “Service is money, Money is Tax” maka “No Tax,  No Service”.

Dia bahkan berujar, “jangan rakyat berharap dari saya, jika tidak mau bayar pajak”. Sebuah ungkapan langsung tanpa basa basi.

11 Tahun (1966- 1977) Buah tanganya antara lain Taman Mini Indonesia Indah; Taman Ismail Marzuki; Taman Impian Jaya Ancol; Pekan Raya Jakarta; Gelanggang Mahasiswa; Pusat Perfilman Usmar Ismail; Kebun Binatang Ragunan dan lainnya.

Lain Bang Ali, lain pula Jeriko. Butuh tiga kali Pemilukada untuk memberi Jeriko kesempatan memimpin Kota Kupang sebagai Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Keterbatasan APBD Kota Kupang sepertinya tak menghalanginya untuk agresif mencari sumber pendanaan dari Pemerintah Pusat maupun memanfaatkan CSR sejumlah lembaga. Saban pekan dia bolak balik Kupang-Jakarta dengan penerbangan kelas ekonomi yang lebih banyak dibiayai dari kantong sendiri, sebagai upayanya mencari alternatif pembiayaan lain.

Baca Juga:  Pj. Wali Kota Minta Pertahankan Predikat Kota Toleran

Dalam setahun kepemimpinan Jeriko, ia membalik dominasi belanja aparatur (60%) yang lebih besar dari belanja publik (40%) pada struktur APBD Kota Kupang, menjadi 40% belanja aparatur dan 60% untuk belanja publik.

Jeriko mendapat banyak warisan ketidakpuasan masyarakat atas kondisi Kota Kupang sebagai Ibukota provinsi. Masalah sampah, air bersih, sarana dan prasarana publik yang buruk, pengelolaan administrasi pemerintahan dengan prestasi maksimal WDP (Wajar Dengan Pengecualian), kolusi keluarga dalam jabatan pada struktur pemerintahan dan lainnya yang jika diurut bisa berderet-deret banyaknya.

Kebutuhan banyak sementara anggaran terbatas, ekspektasi dan harapan publik begitu tinggi. Bisakah dibayangkan? Kendati penuh dengan berbagai keterbatasan, sejarah mencatat buah tanganya hanya dalam 4 tahun memimpin Kota Kupang (2017-2021). Diantaranya, Taman Ina BOI, Taman Tagepe; Taman Bundaran Kasih; Taman Alun alun; Taman Sonbai; Penataan Taman Frans Seda; Penataan Kawasan depan hotel Aston; Penataan Taman kota Tua eks Pantai Tedys; Pembangunan SPAM Kali Dendeng dan lainnya.

Empat yang terakhir masih dalam proses pengerjaan. Semuanya layak diapresiasi. Kelemahan serius Jeriko adalah, dia bukan komunikator ulung, yang bisa mengkomunikasikan semua yang sudah dibuatnya dengan elegan. Tapi soal bekerja, patut diacungi Jempol.

Sampai sejauh ini (maaf), Dia Walikota Kupang TERBAIK. Pandemi Covid 19 yang memaksa semua Pemda melakukan refocusing Aanggaran adalah sebuah tantangan yang amat berat bagi Jeriko tentunya.

Bang Ali seorang tokoh Besar Nasional yang melegenda sedangkan Jeriko adalah seorang tokoh lokal. Jelas tak elok dan tak pula bermaksud memperbandingkan keduanya.

Tetapi titik kesamaan yang menjadi premis tulisan ringan ini adalah soal nilai kepemimpinan “Pantang menyerah” berhadapan dengan pelbagai keterbatasan sumber daya termasuk pendanaan. Jeriko… teruslah bekerja dengan semangat seperti Bang Ali.

Baca Juga:  18 Incumbent Kalah, DPRD Kota Kupang Diisi 22 Wajah Baru

Dari sudut salah satu rumah yang Jeriko bantu lewat program bedah rumah, tulisan ini dibuat. Bukan untuk memuji tapi untuk mengapresiasi. Kami yang berada dalam diam ini, tidak buta, kami tahu, dan kami rasa. Semoga semuanya menjadi lebih baik untuk kota Kupang tercinta. *** ciao!

* Penulis adalah seorang aktivis dan pengamat sosial

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *