Catatan dari Semiloka “Menemukan Solusi Air Bersih Bagi Kota Kupang”.
Berbicara solusi jangka panjang atas krisis air baku di Kota Kupang, salah satunya adalah bendungan. Kebutuhan akan bendungan sesuai dengan karakteristik geologi Kota Kupang yang didominasi oleh batuan karst dengan struktur tanah berongga sehingga tingkat penyerapan air-nya sangat tinggi. Namun karakteristik dan struktur yang demikian sangat rentan terhadap pencemaran limbah, apalagi dengan tata pemukiman warga yang masih sebagian besar masih mengabaikan system penataan dan pengolahan limbah dan sanitasi rumah tangga dari berbagai aktifitas yang sangat berpotensi mencemari air tanah dan air permukaan. Kebutuhan akan bendungan ini juga untuk menampung dan menjamin ketersediaan stok air permukaan dari sungai-sungai terutama sungai besar yang ada di Kota Kupang, yang secara kuantitas ketersediaan air sangat bergantung pada curah hujan dan sebagian besar terbuang cuma-cuma ke laut. Dengan demikian, keberadaan bendungan Kolhua mampu menjamin ketersediaan air baku baik dari sisi kuantitas, kualitas dan kontinuitas bagi warga Kota Kupang.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II, mengenai analisa potensi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kota Kupang untuk mengatasi persoalan krisis air baku di Kota Kupang menyebutkan dari 9 DAS yang ada, hanya 2 DAS yang masuk dalam wilayah administrasi Pemerintah Kota Kupang, yakni DAS Osmo di Kupang Barat dan DAS Liliba. Sementara 7 DAS sisanya bersifatnya lintas Kabupaten/Kota. Dari data hasil kajian yang dilakukan terhadap 2 DAS yang ada, DAS Liliba adalah yang paling memenuhi syarat. Dari hasil study kelayakan yang dilakukan, maka lokasi yang layak dan sangat ideal untuk kebutuhan pembangunan bendungan adalah di Desa Petu, Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Hasil inilah yang menjadi dasar oleh Pemerintah Kota Kupang dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur bersama Kementerian PUPR memperjuangkan dan menetapkan Desa Petu, Kelurahan Kolhua, sebagai lokasi pembangunan bendungan Kolhua pada beberapa tahun lalu.
Secara teknis, bendungan Kolhua terletak di aliran Sungai Liliba dengan luas DAS mencapai 23,83 km2 dengan panjang sungai utama 12,6 km dengan volume inflow tahunan yang mencapai 8,24 juta M³/ tahun maka bendungan ini akan mampu menampung air hingga 6,65 juta M³. Bendungan Kolhua yang batas astronomis berada diantara 100 11’ 59” LS – 100 16’ 32” LS dan 1230 37’ 51” BT – 1230 40’ 48” BT. 3 berada di dataran tinggi dengan kemiringan DAS 0,026 dan kisaran elevasi + 175.00 s/d + 229.00. Dengan posisi yang demikian maka sangat memungkinkan pendistribusian air ke areal layanan Kota Kupang dengan sistem gravitasi sehingga bisa menekan biaya operasional dalam pendistribusian kemasyarakat. Dengan kapasitas daya tamping yang demikian besar, maka pembangunan bendungan Kolhua ini akan menghasilkan air baku minimal 200 liter/detik sehingga akan mampu mengisi kekurangan debit air baku yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh kebutuhan layanan air baku di Kota Kupang, bahkan masihmenyisakan kelebihan air baku sebanyak 8,64 liter/detik.
Sayangnya, kebijakan pembangunan bendungan dan alokasi anggaran APBN yang sudah diperjuangkan sedemikian rupa oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dibawah kepemimpinan Drs. Frans Leburaya akhirnya kandas setelah mendapat penolakan warga di Kolhua sejak tahun 2015 lalu. Gelombang penolakan warga ini didukung oleh sejumlah aktifis lembaga swadaya masyarakat dan tokoh masyarakat Helong, yang salah satunya, Viktor Bungtilu Laiskodat yang saat ini menjabat sebagai Gubernur NTT periode 2018 – 2023. Setelah terkatung-katung selama beberapa tahun, akhirnya pada 2018 lalu nasib pembangunan bendungan Kolhua benar-benar dibatalkan dan dipindahkan ke Desa Welikis Haliboe, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu. Hal ini terjadi, karena Viktor Bungtilu Laiskodat yang pada Pemilukada tahun 2018 lalu terpilih menjadi Gubernur NTT menolak secara tegas pembangunan bendungan Kolhua. Menurut Viktor Bungtilu Laiskodat, sebagaimana diberitakan Media Harian Victory News (5 Desember 2018), dirinya menolak tegas pembangunan bendungan Kolhua karena akan membahayakan warga Kota Kupang dan juga akan menggusur wilayah suku Helong yang adalah etnik pemilik Kota Kupang. Lebih lanjut dalam pemberitaan tersebut, Victory News mengutip Victor Bungtilu Laiskodat yang menjelaskan bahwa menurut sebuah hasil penelitian Jepang, wilayah Kolhua tidak cocok untuk dibangun bendungan. Sayangnya, dalam penjelasan tersebut, beliau tidak menjelaskan lebih jauh tentang PENELITIAN JEPANG dimaksud.
Penolakan dan keputusan Gubernur, Victor Bungtilu Laiskodat ini bukan saja menjadi mimpi buruk bagi warga Kota Kupang yang sudah belasan tahun mengalami krisis air bersih tetapi juga membuang peluang emas Kota Kupang untuk mendapatkan tambahan manfaat seperti listrik dan juga air untuk kebutuhan pertanian masyarakat di Kota Kupang. Alasan Gubernur menolak pembangunan bendungan Kolhua karena ada penelitian Jepang yang mengatakan wilayah Kolhua tidak cocok untuk dibangun bendungan terkesan mengada-ada. Tentunya, rencana pembangunan bendungan Kolhua sudah melewati sebuah kajian mendalam dari berbagai sisi termasuk melakukan study kelayakan yang melibatkan banyak pakar/ahli dan juga anggaran yang sangat besar. Pertanyaannya, apakah hasil penelitian Jepang sebagaimana dimaksud oleh Gubernur benar adanya dan tidak masuk dalam kajian oleh para pakar?
Pengamat air bersih, Dr. Ir. Adreas W. Koreh, MT, yang juga mantan Kepala Dinas PUPR Provinsi NTT, yang menjadi salah satu narasumber dalam semiloka “MENEMUKAN SOLUSI AIR BERSIH KOTA KUPANG” yang diselenggarakan oleh PDAM Kota Kupang di Hotel Neo By Aston, pada senin, 20 Agustus 2019, menjelaskan bahwa bendungan Kolhua direncanakan pada masa kepemimpinan Gubernur Frans Lebu Raya dan ketika itu, dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas PUPR Provinsi NTT. Bendungan Kolhua merupakan salah satu program strategis nasional dari Pemerintahan Joko Widodo dan telah melewati kajian dan study kelayakan yang ketat yang melibatkan sejumlah individu dan lembaga dengan segala kepakaran yang dibutuhkan. Demikian juga dengan desain konstruksi bendungan Kolhua dirancang sesuai dengan standart nasional dan internasional. Jika demikian adanya, maka pernyataan Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat dimaksud bukankah dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap kepakaran para ahli dan kualitas dari study kelayakan yang dilakukan para ahli, serta desain dan standart konstruksi bangunan yang dibuat?
Alasan lain Gubernur NTT, yang mengatakan keberadaan bendungan Kolhua akan menggusur wilayah suku Helong yang adalah etnik pemilik Kota Kupang, rasa-rasanya tidak bisa diterima secara serta merta. Kebijakan pemerintah membangun bendungan Kolhua tentunya tidak serta merta menjadikan warga pemilik lahan sebagai tumbal pembangunan. Pemerintah tentunya sudah mengkaji dan menyiapkan alternative solusi yang menjawab rasa keadilan warga pemilik lahan dan juga menjawab kebutuhan layanan air bersih sebagai tanggungjawab dan urusan pemerintah yang bersifat wajib. Opsi-opsi solusi terbaik, seperti ganti rugi, relokasi, tukar guling lahan, dan lain-lain selalu terbuka untuk dibahas dan disepakati bersama warga.
Akhir kata, ketika sebagian besar warga Kota Kupang berteriak kekurangan air bersih karena krisis air yang berkepanjangan, TEPATKAH sikap dan keputusan Gubernur NTT menolak pembangunan bendungan Kolhua dan mengabaikan tanggungjawab utama pemerintah hal urusan pemenuhan layanan dasar yang sifatnya wajib? TEPATKAH sikap dan keputusan Gubernur NTT menolak pembangunan bendungan Kolhua ketika Pemerintah Kota Kupang sedang dan terus berusaha melakukan sosialisasi dan negosiasi dengan pemilik lahan yang adalah warganya? Bukankah terlihat sangat aneh, sikap dan keputusan Gubernur NTT yang terkesan kuat memunggungi Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian PUPR dan Walikota Kupang terkait kebijakan pembangunan bendungan Kolhua ini? (*)
Penulis: Stef Mira Mangngi (Warga Kota Kupang)