Ruteng, RNC– Praktisi hukum, Siprianus Edi Hardum, SH,MH., merespons tingkah hotel – hotel di Labuan Bajo, Manggarai Barat, yang memanfaatkan sempadan pantai untuk membangun fasilitas pendukung pribadi.
Kepada RakyatNTT.com, Kamis (9/12/2021), pria yang akrab disapa Edi Hardum itu menegaskan, setiap pejabat publik harus berani menolak sogokan dari pihak mana pun, selama menjabat.
Penegasan Edi Hardum anda Partners itu terkait terungkapnya banyak hotel yang melanggar aturan. Dikatakannya, pelanggaran itu sebagai bukti jika pelaku usaha atau pemilik hotel, tidak takut kepada aparat pemerintah.
Dikatakan Edi, patut diduga, pejabat terkait menerima sogokan saat hotel – hotel tersebut dibangun. Sehingga, para investor terkesan membangkang dan bebas memanfaatkan area yang bukan miliknya. Sejatinya, lanjut Edi Hardum, berdasarkan peraturan tata ruang, tidak boleh membangun fasilitas pribadi di sempadan pantai.
Dugaan seperti itum kata dia, didasari karena setiap pembangunan gedung setingkat hotel, pasti ada pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Saat pengajuan IMB inilah, seharusnya diketahui rencana pembangunan itu melanggar tata ruang, atau tidak.
“Ya, semoga dugaan saya bahwa terjadi sogok menyogok dalam pembangunan hotel – hotel itu, salah. Tapi siapa pun, tidak salah dong menduga seperti itu? Karena anehkan?” kata pengacara dari Kantor Hukum Edi Hardum and Partners.
Ia menandaskan, Undang-undang Nomor : 26 Tahun 2007, sudah sangat jelas mengatur perihal tata ruang. Sehingga, pemerintah daerah punya hak untuk mengatur tata ruang di daerahnya masing-masing. “Fungsi pemerintah itu sebagai pelaksana, penyelenggara yang mengatur, salah satunya penataan ruang. Saya menduga, pertama dia tidak tahu. Dan yang kedua, saya menduga mereka itu disogok, agar tutup mata dengan undang-undang,” kata Edi Hardum.
Ia pun menyayangkan sikap Pemkab Mabar selama ini, yang tidak menggubris soal pemanfaatan sempadan pantai oleh para pengusaha hotel, di Labuan Bajo. “Pertanyaan selama ini adalah, kenapa itu (melaksanakan tata ruang) tidak dilakukan pemerintah. Dugaan saya, memang pemerintah tidak baca, sehingga tidak tahu mau melakukan apa,” sindirnya.
Menurut Edi, persoalan yang terjadi selama ini disebabkan karena diduga pejabat “memperoleh pendapatan” dari para investor. Sehingga tidak ada upaya untuk melaksanakan undang-undang tata ruang sebagaimana mestinya.
“Saya menduga, hotel – hotel di Labuan Bajo itu, dibangun sebebas – bebasnya karena ada upeti atau setoran kepada oknum, atau mungkin kepada bupati waktu itu,” kata Edi.
Dia menambahkan, apa yang dilakukan KPK, harus jadi teladan bagi Pemkab Mabar untuk melakukan tugasnya dengan baik. Terutama kaitannya dengan pelaksanaan undang – undang tata ruang. Sehingga ke depannya, tidak ada lagi hotel – hotel yang bebas memanfaatkan area publik untuk kepentingan pribadi.
“Tindakan yang dilakukan KPK hari ini, adalah untuk mengingatkan pemerintah agar melaksanakan tugasnya menurut undang – undang, dan jangan menerima sogok,” tegasnya.
Ia menegaskan, tindakan KPK menyegel hotel – hotel itu, merupakan tamparan keras sekaligus peringatan kepada pemerintah setempat. Selain itu, Edi Hardum menekankan, pejabat di daerah harus memiliki sikap tegas dan berani. Tidak perlu takut atau was – was dengan para investor yang bandel.
Dijelaskan, selama yang dilakukan itu atas perintah undang – undang, tidak perlu sungkan atau ragu untuk mengambil keputusan. “Seorang pejabat harus berani menolak sogok, karena dia sudah disumpah waktu dilantik. Kemudian pejabat harus tegas mengambil keputusan, jangan takut, harus berani ambil resiko dan siap pasang badan terhadap pelaku pelanggaran,” tegas alumnus S2 Ilmu Hukum UGM itu.
Edi Hardum berharap, Bupati Mabar ke depannya tegas. Tidak boleh terjadi lagi pelanggaran yang sama terulang. “Bupati tak perlu takut dengan intervensi dari siapa pun atau pihak mana pun. Sebab, ketegasan itu demi Labuan Bajo dan Mabar yang maju dan dibanggakan sebagai kota internasional,” katanya.
Sekedar tahu, 11 hotel di Labuan Bajo mendapat denda akibat melanggar peraturan perundang – undangan tata ruang, dan tidak membayar retribusi. Salah satunya Ayana Hotel, yang harus membayar denda Rp 18 miliar kepada Pemkab Mabar.
Hal itu terungkap saat KPK, Kementerian ATR, dan Kejaksaan bersama Pemkab Mabar, melakukan penertiban dan memasang plang di hotel tersebut, Selasa (7/12/21). Bupati Mabar, Edistasius Endi kepada wartawan menjelaskan, Ayana Hotel tidak melaksanakan kewajibannya sesuai aturan yang berlaku.
“Kali ini kami menindak tegas pihak hotel yang melanggar tata ruang, termasuk Ayana Hotel. Ayana Hotel telah melanggar ketentuan pemanfaatan tata ruang sepadan pantai,” ujarnya.
Tahun ini, ada 10 hotel berbintang yang telah diaudit. Pemkab Mabar sekurang – kurangnya memperoleh pendapatan Rp 36 miliar dari denda maupun retribusi hotel berbintang tersebut. (rnc23)