Kupang, RNC – Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas menjadi salah satu pemateri dalam Seminar dan Sharing Best Practice Citynet Indonesia di Hotel Aston, Kupang, Kamis (17/10/2019). Di hadapan ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia, Azwar Anas membeberkan kisah sukses Banyuwangi menata daerahnya. Termasuk berbagai prestasi yang diraihnya.
“Banyuwangi bukan Surabaya, bukan Jogja atau mungkin kota-kota besar, tapi kami berhasil mendapatkan penghargaan di Singapura sebagai Smart Network Asia. Banyuwangi memiliki sambungan fiber optik hingga desa-desa. Banyuwangi bukan memiliki kepala-kepala desa yang hebat IT. Ada yang mantan sabung ayam, mantan preman dan sebagainya,” jelas Azwar.
Ia menambahkan pihaknya terus mendidik para kepala desa untuk menjadi pakar IT. Walaupun tidak mudah. Namun terus dilakukan demi pelayanan publik yang lebih baik.
Banyuwangi kala itu tingkat kemiskinannya 20,4 persen. Namun sekarang sudah turun menjadi 7,8 persen. “Pak presiden pernah berpidato jika belajar mengurangi kemiskinan, belajarlah ke Banyuwangi,” katanya.
Ia menjelaskan, hampir semua daerah punya masalah, mulai dari kekurangan anggaran, kekurangan SDM hingga masalah-masalah lain seperti leadership dan sebagainya. “Saya selalu mengajak para ASN, kita bangun inovasi dengan mimpi. Disambung dengan pepatah kalau Thomas Alfa Edison tidak bermimpi bagaimana membuat lampu, mungkin dunia masih gelap,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata Azwar, di Banyuwangi ada program skala prioritas yakni program wajib, program unggulan, dan program penunjang. Ada desa di Banyuwangi ke kota perlu waktu 4 jam. Untuk mengurus KTP perlu waktu 4 jam. Berarti yang menjadi prioritas adalah infrastruktur.
Di Banyuwangi bandara berstandar internasional, tapi dibangun dengan konsep humble dan tidak makan energi. Menampilkan kearifan lokal. “Saat mendarat anda akan disambut sawah di kiri dan kanan. Biarlah tempat kami seperti kampung, karena ke depan orang akan bosan dengan kota, mereka butuh landscape alamiah. Mari kita jangan memfotocopy Jakarta dan kota besar ke daerah kita. Kita kembangkan saja kearifan lokal untuk menjadi daya tarik wisata,” jelas Azwar.
Menurut dia, untuk menuju kota yang smart, keunikan-keunikan lokal mesti digali. Setelah jalan, jembatan dan infrastruktur lain, dilanjutkan dengan infrastruktur teknologi dengan memasang 1.400 titik Wi-Fi gratis. “Waktu pemasangan tahun 2012 Wi-Fi belum tren. Sampai saya dikritik oleh DPR, Pak Anas ini pencitraan, ngapain pasang Wi-Fi gratis, masyarakat belum butuh. Nah, sekarang tidak ada Wi-Fi anak-anak marah,” ujarnya.
Di Banyuwangi ada satu desa terbaik yakni desa genteng, pelayananya serba digital, tidak ada pegawai yang menjaga, cukup dengan memasukan KTP maka apa yang di butuhkan akan keluar. Ini menjadi penting untuk kita menuju Smart City.
Lebih lanjut, kata Azwar, SDM menjadi kunci untuk mengimplementasikan Smart City. Dengan demikian, semua aplikasi di dinas harus dibuat oleh anak Banyuwangi sendiri. Ini maksudnya agar tidak tersandera pembuat aplikasi. Cara memulainya harus pilih SDM yang hebat.
Teknolog ini harus menjadi instrumen untuk mempromosikan daerah sendiri. Banyuwangi menggerakkan ekonomi melalui pariwisata. Pariwisata jika dipromosikan di televisi dan suratkabar tentu mengeluarkan biaya besar. Media sosial jadi solusi ampuh. Setiap PNS yang mau diangkat mendapat pelatihan media sosial. Semua pegawai harus menjadi pilar promosi dari Pemda. “Kalau semua PNS jadi pilar promosi, maka pasti kita akan terbantu,” kata Azwar.
Menurut dia, pariwisata menjadi instrumen, bukan tujuan menaikkan PAD. Pariwisata bukan hanya untuk mendatangkan orang dan uang, tapi cara untuk menggerakkan orang supaya gotong royong. Oleh karena itu, di Banyuwangi banyak festival. Semua event tidak menggunakan event organizer. Yang mengerjakan adalah PNS. Tahun ini terdapat 119 even di Banyuwangi. “Semoga Kota Kupang sebagai tuan rumah dan dengan potensi yang ada bisa lebih dari Banyuwangi dalam hal pariwisata dan sebagainya,” tutup Azwar. (rnc05)