Calon Pendeta yang Cabuli 12 Anak di Alor, Ternyata Punya Trauma Masa Lalu

Headline, Hukrimdibaca 1,025 kali

Kupang, RNC – Calon pendeta berinisial SAS (35), menjadi tersangka kasus pencabulan 12 anak di Kabupaten Alor. Ada fakta menarik terkuak, yakni tersangka memiliki trauma masa lalu.

Melansir digtara.com, tersangka sudah menjalani serangkaian pemeriksaan oleh penyidik Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Kepolisian Resor Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), usai ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam kasus pencabulan terhadap 12 anak di Kabupaten Alor.

Amos Aleksander Lafu, kuasa hukum tersangka mengatakan, dalam pemeriksaan itu kliennya mengakui semua perbuatannya. SAS bahkan mengaku, punya trauma masa lalu yakni menjadi korban kekerasan seksual, sehingga akhirnya membentuk karakter SAS setelah beranjak dewasa.

“Itu pengakuannya dalam BAP (Berita acara pemeriksaan) waktu pemeriksaan kemarin,” ujar Amos, Selasa (13/9/2022).

Amos belum menjelaskan secara detail kekerasan seksual yang pernah dialami SAS. “Nanti biarlah itu jadi materi persidangan, karena takutnya kita terlalu gembor-gembor di awal, nanti publik pikir mau membela diri,” kata Amos.

Pada prinsipnya lanjut Amos, pihaknya tetap berempati terhadap para korban dan menghargai setiap empati yang digalang oleh kelompok masyarakat.

Pihaknya berharap, penyidik dapat menuntaskan perkara ini dengan sebaik-baiknya dan seterang-terangnya. “Memang sejauh ini, penyidik PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Alor telah bekerja dengan baik, profesional sehingga kita apresiasi itu,” ujar dia.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Alor Iptu Yames Jems Mbau, mengatakan jumlah korban terus bertambah. “Semula enam orang, kini jumlah korban telah mencapai 12 orang anak,” ujarnya.

Tambahan korban itu, setelah enam orang anak melaporkan ke polisi, telah menjadi korban pencabulan SAS. Korban kekerasan seksual tersebut, rata-rata terusia antara 13 sampai 19 tahun.

Pihaknya, kata Jems, masih menunggu lagi laporan dari korban lainnya. Karena kata dia, diduga masih ada lagi korban. Dia berharap masyarakat yang anak-anaknya menjadi korban agar segera melapor ke polisi. “Kita harapkan warga yang anaknya menjadi korban, agar jangan ragu-ragu untuk melapor,” kata dia.

Pihaknya masih melanjutkan penyelidikan perkara kekerasan seksual calon pendeta tersebut, yang terbongkar setelah korban melapor ke polisi pada 1 September 2022.

Ketua Majelis Sinode GMIT Merry Kolimon mengatakan, gereja telah mengenakan sanksi berupa penundaan penahbisan menjadi vikaris dalam jabatan pendeta kepada SAS.

Majelis Sinode GMIT juga telah mengirim tim psikolog serta pendamping untuk membantu korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh SAS.

Merry mengatakan, Majelis Sinode GMIT menghormati hak korban dan orang tua korban untuk menempuh jalur hukum dan akan mengawal proses hukum dalam penanganan perkara kekerasan seksual tersebut.

Menurut Merry, gereja tidak akan menghalang-halangi proses hukum terhadap SAS. “Majelis Sinode GMIT berharap semua pihak agar turut melindungi para korban dari kekerasan berlapis,” kata dia.

SAS (35) calon pendeta (Vikaris) asal Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), dilaporkan ke Kepolisian Resor (Polres) Alor.

Dia dilaporkan karena mencabuli sejumlah anak di bawah umur yang masih duduk di bangku SMP dan SMA di Kabupaten Alor. “Kami sudah terima laporan kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur, yang dilaporkan oleh salah satu orangtua korban berinisial AML asal Desa Waisika, Kecamatan Alor Tengah Utara, Alor,” ujar Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Alor Iptu Yames Jems Mbau.

Kasus pencabulan itu, lanjut Jems, terjadi sekitar akhir bulan Mei tahun 2021 hingga akhir bulan Maret tahun 2022, saat pelaku bertugas di salah satu gereja setempat. (*/dig/rnc)

Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *