Kupang, RNC – Untuk kesekian kalinya, Inkubator Agribisnis Pertanian Terpadu Kebun P4S/Kelompok Tani “Kampung Daun”, Desa Baumata, dikunjungi pejabat pemerintahan. Kali ini, Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan bersama beberapa stafnya, meninjau kebun Kelompok Tani “Kampung Daun” binaan Dr. Ir. Zainal Arifin itu, pada Rabu 31 Januari 2024. Kunjungan Thomas Lembong tersebut dimaksudkan untuk berdiskusi dengan petani milineal, para alumni dan mahasiswa pertanian tingkat akhir, tentang “Kewirausahaan Agribisnis Berbasis Kebun Ketahanan Pangan”. “Kami undang para alumni dan mahasiswa pertanian untuk hadir di kebun ‘Kampung Daun’ Baumata, untuk sharring pengalaman di bidang pertanian yang berbasis ketahanan pangan,” ujar Zainal Arifin kepada RakyatNTT.com.
Pakar pertanian dari Politani Negeri Kupang ini menandaskan, Thomas Lembong mengapresiasi terobosan yang dilakukan pihaknya, sehingga Inkubator Agribisnis Pertanian Terpadu Kebun P4S/Kelompok Tani “Kampung Daun”, diharapkan menjadi role model bagi kelompok-kelompok tani lainnya. “Tidak saja di NTT, tapi juga di Indonesia. Sebab, pengelolaan kelompok tani ‘Kampung Daun’, berbasis ketahanan pangan,” kata Zainal mengutip harapan Thomas Lembong, usai blusukan ke lokasi perkebunannya. Sekedar tahu, selain berdiskusi dengan kelompok tani, Thomas Lembong juga melakukan pemindahan secara simbolis ikan nila “Nirwana dan Srikandi” dari kolam sortiran ke kolam baru, serta panen simbolis buah pisang “Tembaga Merah”.
Hanya saja, lanjut Zainal, konsep Inkubator Agribisnis Pertanian Terpadu tidak bisa diterapkan di Indonesia, termasuk di NTT, jika nomenklatur pertanian mulai dari perencanaan yang dilakukan eksekutif maupun legislatif, tidak diubah. Pasalnya, kata Zainal, pertanggung-jawaban hanya dilakukan pada sarana prasarana produktif, seperti pupuk, bibit dan alsintan. Berbeda jika dibandingkan dengan pertanggung-jawaban di jasa konstuksi. “Misalnya, pertanggung-jawaban jembatan, jalan, bendungan, gedung dan lain-lain, selain pertanggung-jawaban belanja material semen, pasir besi dan lain-lain, juga hasil paket karyanya. Seperti satu paket/unit jembatan, jalan serta gedung, ini yang diperiksa dan dievaluasi oleh inspektorat, BPKP, jaksa atau KPK. Beda dengan pertanian, yang dievaluasi hanya material bibit, pupuk, alsintan dan pestisida. Tidak memeriksa kebun atau kawasan kebun, kawasan perikanan, pertambakan, peternakan atau kehutanan. Intinya, membangun mahluk hidup yang sering/selalu/terus, akan gagal sepanjang sejarah, karena tidak serius atau tidak ketat, dibanding membangun benda mati (jembatan, gedung, dan jalan) yang pemeriksaan dan evaluasinya lebih ketat dan serius. Karena pemeriksaan dilakukan sampai jadi paket yang dikerjakan,” tandas Zainal.
Di sisi lain, tambahnya, perguruan tinggi atau fakultas pertanian, peternakan, perikanan serta kehutanan, mulai mencontohkan di kebun kampus. “Terbukti, banyak pakar pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan, semua hanya pengadaan bahan. Rakyat atau petani miskin yang tidak berdaya, menjadi pekerja mereka di lapangan. Karena katanya, bukan untuk kepentingan publik, tapi hanya untuk kepentingan petani miskin. Bahkan terkadang, gagal panen petani yang disalahkan, dan perubahan iklim serta kurang air. Gagal panen justru yang merasakan adalah kita semua. Sarjana pertanian tiap tahun banyak dihasilkan. Sementara penyediaan bahan pangan dari bidang pertanian sangat terbatas. Jadi fenomenanya berbanding terbalik. Birokrasi pertanian, termasuk perguruan tinggi di bidang pertanian, saya mau katakan tidak mampu menyediakan kebutuhan pangan bagi bangsa ini, jika nomenklatur pertanian tidak segera diubah. Para petani seringkali diproyekkan melalui pengadaan pupuk dan alat-alat pertanian. Mari contohi role model yang kami buat di Inkubator Agribisnis Pertanian Terpadu Kebun P4S/Kelompok Tani “Kampung Daun” di Desa Baumata ini. Sepanjang tahun kami bisa menyediakan kebutuhan pangan kelompok masyarakat tani binaan di Kabupaten Kupang, Provinsi NTT,” pungkas Zainal Arifin. (robert kadang)