Oleh Wilibaldus Kuntam
Tenaga Ahli Komisi III DPR RI
TAK lama lagi, Indonesia menggelar pemilukada serentak di berbagai daerah. Kabupaten Manggarai salah satunya. Suhu politik tampak berubah begitu cepat. Ruang publik media massa dan media sosial pun menyajikan pertengkaran gagasan antara kandidat dan pendukung calon kepala daerah.
Ini terjadi karena banyak pemicunya. Konteks Kabupaten Manggarai, penetapan tersangka terhadap Maksimus Ngkeros menjadi salah satu alasan. Ngkeros diduga melakukan kampanye hitam (detikNews.com, 02/11/2024).
Kita tentu sepakat bila hukum ditegakkan kepada siapapun. Alasannya sederhana. Demokrasi tanpa hukum akan melahirkan anarkisme. Penegakan hukum tentu satu hal. Namun, hal lain yang perlu dicermati adalah penegakan hukum itu sendiri tak bebas dari spekulasi terutama campur tangan politik. Ini spekulasi bukan tanpa dasar sebab tidak ada hukum yang tak berkelindan dengan politik dan kekuasaan.
Hans Kelsen, penganut positifisme hukum dari Jerman, pernah bersikeras ingin hukum bebas dari urusan politik. Ia merumuskan teorinya yang tersohor yakni hukum murni. Rupanya teori itu meleset, sebab nyatanya hukum itu selalu berkorelasi dengan kekuasaan, malahan hukum tanpa politik tak mungkin tetapi politik tanpa hukum bisa saja terjadi. Kurang lebih begitu.
Lantas, apakah Maksi Ngkeros ditetapkan tersangka karena intervensi politik? Jawabannya hanya penegak hukum dan politisi yang tahu.
Kampanye hitam tentu melanggar undang-undang. Namun, apakah kampanye hitam itu merupakan persoalan sangat mendasar? Ataukah ada persoalan yang lebih mendasar lagi? Saya dan mungkin Anda juga berpendapat bahwa persoalan mendasar di Manggarai adalah praktek demokrasi semu atau pseudo demokrasi. Bentuknya tentu beragam.
Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan sebagainya merupakan persoalan sosial yang tak bisa dibantah. Semua persoalan pelik ini bermula dari satu hal yakni rendahnya kualitas pemimpin. Itulah sebabnya perlu dibuat standar kualitas pemimpin.
Standar Kualitas Pemimpin
Beragam persoalan yang saya singgung sebelumnya bisa diselesaikan dengan baik. Saya meyakini itu dari dulu hingga kini. Kuncinya adalah kualitas pemimpin. Mengapa? Sebab sampai saat ini, saya belum menemukan daerah di republik ini bahkan di negara lain yang sejahtera kala pemimpin atau kepala kepala daerahnya tak mempunyai standar kualitas tertentu. Apa standarnya? Bolehlah kalau di sini kita menyebutkan beberapa saja.
Pertama, kepala daerah tidak melakukan tindak pidana korupsi. Penyakit kronis pejabat publik di manapun di Indonesia saat ini adalah korupsi. Tengoklah berapa banyak kepala daerah yang terjerat hukum karena korupsi.
Betul juga kata Nicollo Machiavelli, tokoh yang dibenci kaum moralis tapi dipuja kaum realis. Ia berkata kurang lebih begini: cacat terbesar pejabat publik adalah korupsi (Eduardus Lemanto, 2021). Pelakunya sangat bervariasi. Biasanya mulai dari kepala daerah hingga bawahannya.
Bagaimana kabupaten Manggarai? Publik di Manggarai sudah mencium aroma korupsi. Aroma menyengat itu terasa hingga kini. Para jurnalis dan kelompok antikorupsi menyebutnya dengan korupsi ratu kemiri (Floresa.com., 01/09/2022).
Sang ratulah yang mengatur jatah dan keuntungan proyek. Korupsi dilakukan demi kepentingan perut sendiri dan lupa dengan perut rakyat yang lagi lapar. Publik menunggu proses hukum atas dugaan kasus ratu kemiri itu. Tentu tak ada yang kebal hukum.
Hukum tak boleh tajam ke parpol oposisi namun lumpuh ke parpol pendukung. Hukum tak boleh tajam ke lawan namun tumpul ke kawan seperti kata Benny K.Harman. Hukum juga tak hanya menindak koruptor yang bukan keluarga pejabat tapi juga menindak keluarga kepala daerah.
Kedua, satu antara perkataan dan perbuatan. Acapkali perkataan dan perbuatan kepala daerah tak sama. Lain yang diucap, lain pula yang dibuat. Dengan kata lain, pemimpin pembohong. Selama pesta demokrasi, teriakan kekecewaan dan kebencian atas pemimpin pembohong memuncak di berbagai daerah.
Para kandidat terutama petahana merangkai kebohongan demi kebohongan dengan apik. Rakyat nyaris tak bisa membedakan kebohongan dan kebenaran, fakta dan rekayasa. Kadangkala reproduksi kebohongan pejabat publik ini diketahui masyarakat meski masyarakat sendiri menerima kebohongan itu.
Mengapa pejabat publik atau kepala daerah mudah berbohong? Rupanya ini terjadi karena alasan sederhana ini. Pembohong (calon kepala daerah) mengetahui apa yang diinginkan oleh orang yang dibohongi! Mungkin pernyataan ini membutuhkan contoh sederhana.
Pada pemilukada tahun 2020, para kandidat bupati dan wakil bupati berjanji menangani masalah peternakan dan pertanian. Sepertinya para kandidat mengetahui betul bahwa masyarakat Manggarai mengalami masalah pertanian dan peternakan. Apakah masalah pertanian dan peternakan sudah terselesaikan? Sama sekali tidak!
Petani menderita karena penyakit fusarium atau layu pada pisang tak tertangani padahal pisang menjadi sumber pendapatan rakyat miskin. Di bidang peternakan pun mengalami masalah serupa. Ribuan peternak rugi lantaran penyakit ASF (African Swine wefer) atau demam Afrika tak kunjung tertangani.
Mungkin contoh ini tak cukup, saya tambahkan contoh lain. Bila Anda menelusuri jalan di pelosok Manggarai, begitu banyak jalan yang rusak padahal pembangunan infrastruktur jalan adalah kewajiban pemerintah.
Masalah keterbatasan anggaran negara karena virus corona selalu jadi alasan klise meskipun alasan itu ditertawakan rakyat karena dianggap sebagai kebohongan baru. Mengapa? Sebab daerah lain di NTT mendapat kucuran dana pemerintah pusat yang relatif besar dibandingkan dengan kabupaten Manggarai.
Berbagai persoalan ini membutuhkan kritikan publik yang obyektif dan konstruktif. Kritikan ini tak hanya dari masyarakat tetapi paling penting adalah kritikan para kandidat. Kekuasaan memang harus diganggu agar tidak otoriter dan disalahgunakan.
Mengganggu Kekuasaan
Kekuasaan perlu diganggu oleh siapapun agar kekuasaan itu lebih beradab. Yang mengganggu jalannya kekuasaan tak hanya masyarakat tapi juga para kandidat. Pejabat publik yang alergi kritikan tak layak hidup di era demokrasi dan digital seperti sekarang.
Penguasa yang mengkriminalisasi masyarakat dan kandidat lantaran dikritik justru akan memperkuat perlawanan rakyat. Belajarlah dari sejarah. Sejarah seringkali memberi pelajaran kepada kita bahwa pejabat publik atau pemimpin yang anti kritik publik akan dilupakan bahkan diturunkan secara paksa dari kursi kekuasaan.
Soeharto yang otoriter selama puluhan tahun akhirnya dilawan rakyatnya sendiri. Perlawanan sulit terbendung manakala rakyat terpenjara dalam kabut hitam kemiskinan, keterbelakangan, jurang antara yang miskin dan kaya kian lebar, pengangguran yang terus bertambah dan sebagainya.
Bolehlah bila semua persoalan ini dibilang hitam. Tak bisa jadi putih karena dibohongi dan direkayasa sedemikian rupa. Juga tak bisa menjadi putih hanya karena seseorang sedang memegang kekuasaan. Membiarkan yang hitam jadi putih sama dengan menggali kubur kematian demokrasi dan kehancuran masa depan Manggarai. Karenanya, yang hitam tetaplah hitam, tak bisa menjadi putih. (*)
Ikuti berita terkini dan terlengkap di WhatsApp Channel RakyatNTT.com