oleh

In Defence of President Jokowi

Oleh Tans Feliks
Dosen FKIP/Program Pascasarjana Undana

 

banner BI FAST

MAAF, judul tulisan ini dalam bahasa Inggris. Terjemahan bebasnya, kurang lebih, “Membela Presiden Jokowi” atau “Pembelaan terhadap Presiden Jokowi.” Secara pribadi, beliau, tentu, tidak butuh pembelaan ini. Artinya, tulisan ini beliau tidak butuhkan sama sekali. Namun, dia tetap diperlukan dan, bahkan, sifatnya, harus-mendesak karena berkaitan dengan praktik demokrasi yang benar yang harus bangsa ini terapkan juga secara benar. Bukan hanya untuk membuat Indonesia lebih demokratis, tetapi juga lebih maju, lebih modern, lebih agung, dan lebih terpandang di bumi. Sekarang dan nanti. Persoalannya adalah apanya yang perlu dibela.

Ada beberapa hal. Pertama, soal politik dinasti keluarga. Beliau dituduh menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk memuluskan jalan anak dan anak mantunya menjadi wali kota, masing-masing di Solo/Surakarta, Jawa Tengah, dan di Medan, Sumatra Utara. Juga, kini, untuk menyiapkan jalan bebas hambatan bagi anaknya menjadi calon wakil presiden (Cawapres). Tuduhan ini, saya pikir, tidak beralasan karena hingga saat ini tidak ada bukti sedikitpun bahwa beliau menggunakan jabatannya sebagai presiden untuk memuluskan cita-cita anak-anak dan anak mantunya menjadi Cawapres atau wali kota.

Artinya, hingga saat ini kita tidak punya bukti bahwa Presiden Jokowi memang menggunakan kekuasaannya supaya anak-anak dan anak mantunya menjadi wali kota/Cawapres. Tidak ada bukti, misalnya, beliau menelepon Gubernur Jawa Tengah dan Gubernur Sumatera Utara saat itu untuk memuluskan jalan anak dan anak mantunya menjadi wali kota. Juga tidak ada bukti, misalnya, uang untuk urusan kepresidenan digunakan untuk “membeli” suara rakyat di dua kota itu sebelum, pada saat, dan/atau setelah pemilihan wali kota. Tidak ada bukti. Juga tidak ada bukti bahwa beliau menggunakan kekuasaannya secara tidak sah dan meyakinkan untuk menempatkan anaknya menjadi salah satu Cawapres.

Dengan demikian, ketika dalam proses pencalonan dan pemilihan wali kota atau pen-cawapres-an anaknya tidak ada aturan yang dilabrak, mengapa gerangan kita persalahkan Jokowi? Bukankah dalam demokrasi dengan prinsip pemerintahan oleh, dari dan untuk rakyat seperti kata Abraham Lincoln, Presdien Amerika Serikat yang tersohor itu, yang menentukan adalah suara rakyat sebagai suara Tuhan? Vox populi, vox Dei. Artinya, kalau seseorang menang dalam pemilihan pejabat publik secara benar, siapa kita yang mengatakan itu salah? Dia, entah anak presiden atau anak pemulung, hanya bisa salah, tentu, kalau caranya salah, misalnya, terbukti secara legal-formal menggunakan cara-cara ilegal. Jika tidak, dia, anak siapapun, punya hak 100% untuk dipilih, bukan?

Baca Juga:  Rakor Kepala Daerah di Istana, Presiden Tegaskan ASN Harus Netral di Pemilu 2024

Kedua, soal umur calon presiden (Capres) dan Cawapres. Mahkamah Konstitusi (MK), memutuskan bahwa yang berumur di bawah 40 tahun dan sedang/pernah menjabat sebagai kepala daerah juga diizinkan menjadi Capres dan Cawapres. Dalam hal ini, Presiden Jokowi dipersalahkan karena Ketua MK saat ini, Anwar Usman, adik ipar Presiden Jokowi, ikut-serta memutuskan perkara itu. Ini, tentu, tidak beralasan. Salah. Tidak benar. Sebab mereka yang mempersalahkan Presiden Jokowi dalam konteks itu terjebak apa yang dalam proses berpikir logis sebut sebagai argumentum ad hominem. Yang diserang orangnya, yaitu adik ipar dan kakak ipar, bukan esensi keputusannya. Sejatinya, esensi keputusannya yang dipersoalkan. Bukan orang yang mengambil keputusan itu. Menyerang orang yang mengambil keputusan itu dan keluarganya, tampaknya, jauh lebih mudah karena tidak ada celah untuk menyerang esensi keputusan itu.

Ada, memang, yang mengatakan bahwa MK tidak punya wewenang untuk mengambil keputusan soal umur Capres dan Cawapres. Itu wewenang legislator. DPR Pusat. Itu, menurut saya, terbuka untuk diperdebatkan karena dengan membatasi umur, DPR telah melanggar hak demokratis dari mereka yang umurnya dibatasi oleh undang-undang untuk menjadi Capres dan Cawapres. Karena itu, mestinya, MK tidak hanya punya hak, tetapi juga wajib hukumnya untuk meluruskan itu. Dengan demikian, hak demokratis rakyat (baca: hak mereka yang dinilai tidak layak menjadi Capres dan Cawapres karena umur) tidak akan terabaikan.

Sebab, dalam demokrasi, sejatinya, suara rakyatlah yang menentukan. Seperti yang saya sebut di atas. Bukan umur. Anda boleh dinilai berumur sangat matang, berapapun itu, tetapi kalau rakyat tidak pilih? Percuma, bukan? Sebaliknya, Anda mungkin dinilai belum matang dari segi umur, juga berapapun umur Anda, tetapi kalau rakyat pilih? Siapa yang berani lawan?
Dari segi itulah, menurut saya, tidak ada yang salah dengan keputusan MK itu. Bahwa Ketua MK itu adik ipar Presiden Jokowi itu tidak relevan. Yang relevan, mestinya, jika keputusan itu dipersalahkan karena kita punya bukti bahwa dalam proses pengambilan keputusan itu ada intervensi verbal atau finansial atau apapun yang sifatnya ilegal dari presiden secara sedemikian rupa sehingga itu menguntungkan anaknya. Keluarganya. Atau jika kita punya bukti bahwa Ketua MK, sejak dulu, memang dipersiapkan secara sengaja, dengan tahu dan mau, untuk menjamin bahwa setiap keputusan MK akan selalu menguntungkan presiden dan keluarganya. Jika tidak, salah besar kalau kita mengatakan bahwa itu tidak benar hanya karena Ketua MK adalah adik Ibu Negara.

Baca Juga:  Bersama Gen-Z dan Milenial, Pro Gibran NTT All Out untuk Prabowo-Gibran

Ketiga, soal usulan tiga periode jabatan presiden. Menurut orang tertentu, usulan ini dari presiden sendiri dan ini, bagi banyak orang, menunjukkan bahwa Presiden Jokowi haus kekuasaan. Jelas, ini salah, minimal dalam dua hal. Pertama, belum ada bukti bahwa itu atas usulan presiden sendiri. Kedua, jika itu memang atas saran presiden sendiri, sejatinya, bukan masalah. Itu bukti presiden sangat percaya diri bahwa hal-hal besar yang sudah dan sedang dilakukannya secara masif selama ini akan terus dilakukan dalam lima tahun ke depan, sehingga Indonesia menjadi jauh lebih hebat.

Bukankah itu akan melanggar konstitusi? Iya, 100% akan melanggar konstitusi, jika, sekali lagi jika, untuk menggolkan itu, Presiden melakukan cara-cara yang tidak konstitusional. Misalnya, dengan menggunakan kekerasan. Misalnya, dengan mengangkat senjata. Misalnya, dengan menggunakan uang untuk menyuap para wakil rakyat. Atau dengan memakai cara lainnya, apapun itu, yang melanggar hukum.

Namun kalau caranya konstitusional, misalnya, dengan mengamandemen UUD, konstitusi, kita, mengapa tidak? Bukankah konstitusi kita memang sudah pernah diamandemen untuk membuatnya lebih pas dengan spirit jaman? Dengan demikian, tidak salah, menurut saya, usulan untuk mengubah periode kepemimpinan seorang presiden menjadi tiga periode atau lebih, jika perubahan itu dilakukan secara konstitusional. Artinya orang yang mengusulkan perubahan dua menjadi tiga periode kepemimpinan nasional itu tidak lantas harus dicap sebagai antikonstitusi, jika cara yang diusulkannya utuk mengubahnya memang sah secara konstitusional. Legal. Demokratis.

Keempat, etika dalam berpolitik. Oleh orang tertentu, presiden dinilai salah karena melanggar etika berpolitik, yaitu tidak tahu berterima kasih. Sejatinya, menurut mereka, beliau dan keluarganya harus tetap bersama partai yang mengusungnya sejak awal. Bertahan dengan partai yang “membesarkannya” adalah sebuah politik balas budi yang, katanya, dinilai sebagai sesuatu yang agung. Persoalannya adalah apakah memang harus demikian.

Baca Juga:  PDIP Resmi Pecat Menantu Jokowi Bobby Nasution

Saya kira tidak. Sebab bertahan atau tidaknya seseorang dalam sebuah partai politik, tentu, berdasarkan pertimbangan tertentu seperti apakah partainya masih menjadi “rumah kita bersama” yang aman dan nyaman baginya atau apakah partai yang sama itu masih kondusif untuk melahirkan ribuan ide dan karya besar sekarang dan nanti. Ke depan. Jika ya, tentu, seseorang akan bertahan. Jika tidak, berpindah untuk hal-hal yang lebih mulia, lebih agung, dan lebih spektakuler bagi bangsa ini, menurut saya, lebih etis. Bertahan ketika keadaan tidak lagi menjadi kondusif, menurut saya, malah tidak etis sama sekali. Dengan demikian, dalam hal ini, Presiden Jokowi, sejatinya, tidak salah. Tidak ada etika yang beliau langar.
Ini, tentu, menurut saya. Menurut Anda? (*)

Editor: Semy Rudyard H. Balukh

Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *