Jakarta, RNC – Rencana Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi NTT, Alex Lumba untuk memidanakan beberapa ibu-ibu di Besipae, Kabupaten TTS, yang bertelanjang dada saat aksi demo menolak kehadiran Gubernur NTT dan rombongan adalah opsi yang tidak bisa.
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai opsi untuk dibawa ke ranah pidana adalah keliru.
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, Kamis (14/5/2020) di Jakarta mengatakan Alex Lumba seharusnya menjadi filter terbaik dan terakhir untuk Gubernur NTT dari semua polemik yang berkembang soal aksi bertelanjang dada beberapa ibu di Besipae.
Alex Lumba seharusnya paham bahwa ibu-ibu itu tidak sedang mengeksploitasi dirinya dengan gerakan yang erotis atau membiarkan dirinya bertelanjang dada untuk dieksploitasi sedemikian rupa untuk tujuan pornografi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Ponografi. “Harus dipandang sebagai upaya yang sangat terpaksa dilakukan oleh ibu-ibu Besipae untuk membela kepentingannya yaitu mempertahankan hak miliknya atas tanah dari upaya pihak lain yang dinilai secara melawan hukum hendak merampas hak-hak atas tanah mereka, termasuk oleh Pemprov NTT sekalipun,” jelas Petrus.
Ia mengemukakan, dalam hukum pidana dikenal dengan istilah pembelaan darurat atau overmacht yang hanya dilakukan dalam keadaan dimana seseorang atau lebih dalam keadaan sangat terpaksa untuk membela kehormatan, harga diri dan harta milik (termasuk membunuh lawannya). “Jadi aksi ibu-ibu Besipae bertelanjang dada tidak boleh dikualifikasi sebagai tindakan pornografi lalu pejabat hukum Pemprov mau melaporkan sebagai tindak pidana pornografi,” kata Petrus.
Ia menjelaskan, Alex Lumba harus jeli melihat adegan demi adegan. Jika itu mau dipaksakan menjadi tindak pidana pornografi, lalu bagaimana dengan posisi Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat saat kakinya dipeluk seorang ibu yang bertelanjang dada dalam posisi berdiri di atas pagar saat hendak lompat masuk ke dalam lokasi, apakah adegan itu yang dimaksud sebagai pornoaksi?