Kupang, RNC – Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia Nusa Tenggara Timur (DPD KNPI NTT), mengangkat topik anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, dalam diskusi ilmiah yang digelar di Aula Utama Hotel Sylvia, Kota Kupang, Sabtu,(12/2/2022).
Pantauan RakyatNTT.com, hadir dalam kegiatan itu, seluruh calon pengurus KNPI tingkat provinsi, Ketua DPD KNPI NTT, Yoyarib Mau, dan tiga narasumber yakni, Dra. Mien Pattymangoe Hadjon (aktivis perempuan), Veronika Ata, SH, Mhum, serta Nan Blegur dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pemprov NTT.
Dalam sambutannya, Ketua KNPI, Yoyarib Mau, mengapresiasi keterlibatan para pengurus dalam menyukseskan kegiatan KNPI di awal tahun 2022 ini. Ia mengatakan, para pemuda yang telah tergabung dalam komite tersebut, harus responsif serta mau melibatkan diri, dan menjadi jalan keluar dengan setiap masalah yang dihadapi dalam lingkungan bermasyarakat.
Yarib menambahkan, KNPI mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, dikarenakan masalah tersebut sudah menjadi gejolak di NTT. Hal tersebut dikuatkan, dengan berbagai informasi terkini yang masih memunculkan terkait masalah itu di sejumlah daerah.
Dikatakannya, perempuan merupakan sosok awal yang memberikan peradaban manusia di bumi ini, hingga berdiri dengan berbagai perubahan yang terjadi. “Berangkat dari pemikiran, bahwa seharusnya semua peradaban atau bumi ini, dia menjadi sesuatu yang berubah, itu diawali karena perempuan. Peradaban itu berubah karena manusia, dan benih itu tumbuh pada rahim perempuan,” ungkap Yoyarib.
Selain itu lanjutnya, alah satu yang paling membedakan antara perempuan dan laki-laki, terdapat pada kebiasaan dan budaya yang dianut. Hal tersebut sering menjadi potensi hadirnya kekerasan terhadap perempuan, hingga sampai pada anak. “Sebenarnya kita tahu ketika kita melakukan pelecehan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak, sebenarnya itu adalah salah,” imbuhnya sembari berharap, diskusi yang digelar itu dapat menambah wawasan kepemudaan tentang persoalan sosial, serta pemuda bisa memberikan kontribusi dalam menjawab berbagai permasalahan.
Sementara aktivis perempuan,, Mien Pattymangoe Hadjon mengatakan, dalam kebiasaan dan budaya, sudah ada pembedaan atas peran. Sehingga, terkadang potensi kekerasan pun lahir. Ia mencontohkan, kebiasaan yang tertanam dalam keluarga adalah pembagian peran kerja, anak laki-laki dan perempuan di rumah.
“Biasanya anak laki-laki tidak diminta untuk kerja cuci piring dan menyapu sampah di halaman. Kalau sampai begitu, terkadang orang tua melarang, karena dinilai itu pekerjaan perempuan. Seharusnya hal itu tidak masalah, karena perempuan dilahirkan sama dengan laki – laki,” jelasnya.
Ia menyampaikan, bentuk kekerasan yang selalu terjadi, biasanya pada peran yang berlebihan dalam keluarga, bagi soorang istri dan anak. Salah satu akar masalah yang terjadi pada keluarga, yakni masalah ekonomi dan kurangnya bekal iman agama. (rnc04)