Jelang Hari Kartini, Momentum Puan Sahkan RUU TPKS

Nasionaldibaca 83 kali

Jakarta, RNC – Rancangan Undang – undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebentar lagi rampung dibahas di DPR, dan disahkan menjadi UU. Pengesahan yang sudah dinanti sejak lama ini, bisa menjadi kado manis bagi para perempuan menjelang peringatan Hari Kartini.

RUU ini pertama kali dibahas di DPR Mei 2016 lalu, atau saat Puan Maharani menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Saat itu namanya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Hampir genap berusia enam tahun, RUU yang diyakini bisa menjawab keresahan para perempuan, terkait kekerasan seksual ini akhirnya memasuki babak akhir saat Puan menjabat ketua DPR.

Aktivis perempuan yang juga pegiat literasi, Nury Sybli, mendorong RUU ini segera disahkan bulan April ini, sebelum masa reses. “Saya mengikuti diskursus mengenai pembahasan RUU TPKS sudah lama. Sekarang posisi Mbak Puan sebagai ketua DPR, sudah seharusnya disahkan karena beliau memang telah concern terkait hal ini, sejak masih jadi Menko PMK,” kata Nury, Selasa (5/4/2022).

Nury mengapresiasi langkah Puan yang turut serta mengajak para aktivis perempuan, Komnas Perempuan, hingga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlibat memberi masukan untuk isi RUU TPKS. “Dari sisi substansi dan DIM serta urgensinya, beliau pasti sudah clear,” sambungnya.

Ia yakin, setelah disahkan nanti, RUU TPKS ini bisa memberi jawaban bagi permasalahan kekerasan seksual yang selama ini kerap dialami para perempuan. “Sekarang inilah nomentum bagi Mbak Puan untuk mengetok palu sidang di paripurna mengesahkan RUU TPKS, sekaligus menjadi kado spesial menjelang peringatan Hari Kartini, tanggal 21 April nanti,” kata Nury.

RUU TPKS sebelumnya telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR, dalam rapat paripurna 18 Januari lalu. Dari sembilan fraksi yang ada di DPR, hanya PKS yang menyatakan penolakan. Saat ini, DPR dan pihak pemerintah terus mengebut pembahasan RUU TPKS, agar rampung sebelum anggota dewan reses pada 15 April.

RUU ini pada intinya mempermudah korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan di mata hukum. Jika telah disahkan, maka kepolisian tak bisa lagi menolak laporan korban kekerasan seksual. Penyelesaian perkara tindak kekerasan seksual juga tak boleh lagi diselesaikan lewat mekanisme restorative justice, yang menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban.

Puan sebelumnya memang sempat menerima aspirasi dari sejumlah aktivis perempuan mengenai RUU TPKS pada 12 Januari lalu. Ada belasan aktivis perempuan yang datang ke DPR dari berbagai latar belakang mulai dari akademisi, influencer, pejuang HAM, pekerja seni, hingga mahasiswa.

Mereka berasal dari Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Koalisi Perempuan Indonesia, Maju Perempuan Indonesia (MPI), Badan Riset Nasional (BRIN), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), hingga perwakilan dari Universitas Diponegoro (UNDIP).

Puan merasa bangga karena banyak perempuan di Indonesia yang peduli dengan nasib sesamanya. Perjuangan kaum perempuan, kata Puan, terasa berbeda karena memiliki ikatan tersendiri. Puan mengatakan, RUU TPKS harus hadir sebagai satu payung hukum, untuk menjaga serta membuat aman masyarakat, khususnya kaum perempuan. Meski begitu, ia juga menilai pentingnya memperhatikan korban – korban kekerasan seksual dari kelompok masyarakat lainnya, seperti kaum lelaki dan disabilitas.

“Karena ada juga laki – laki korban kekerasan seksual. “Ini harus menjadi undang – undang yang dapat membuat kita bekerja dengan nyaman dan merasa dilindungi, agar UU ini juga dapat melindungi anak hingga cicit kita,” kata perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua DPR ini. (*/rnc)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *