Ruteng, RNC – Ketua Lembaga Pusat Pengkajian Kebijakan Pembagunan Daerah (LPPKPD) Heribertus Erik San mengkritisi rencana Pemerintah Kabupaten Manggarai mendorong petani menggunakan pupuk nonsubsidi dalam menyukseskan program Petani Merdeka.
Kepada RakyatNNTT.com, Erik San menjelaskan, Pemkab Manggarai perlu terlebih dahulu melakukan studi komprehensif dan kajian yang mendalam sebelum mengimplementasikan program tersebut. Terutama mempertimbangkan nasib petani sebagai sasaran program. Petani akan terbebani dengan cicilan dan bunga kredit KUR pembelian pupuk nonsubsidi yang mahal.
“Dalam program “Petani Merdeka”, petani ditawarkan untuk mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) guna pembelian pupuk nonsubsidi. Alasan tawaran kredit KUR agar memudahkan petani mendapatkan uang untuk pembelian pupuk nonsubsidi. Bukannya meringankan petani, tawaran ini akan semakin membebankan dan membuat petani terjerit karena kewajiban membayar cicilan dan bunga kredit KUR,” jelas Erik San, Senin (7/6/2021)sore.
Erik mengatakan, sepanjang musim tanam maupun panen, petani akan membayar cicilan kredit maupun bunga kredit KUR pupuk nonsubsidi. Namun, jika petani gagal panen atau hasil panen kurang karena berbagai fator seperti bencana alam, cuaca buruk, hama dan lain-lain, sementara pada saat yang bersamaan mereka dituntut untuk membayar kredit KUR.
“Lalu bagaimana solusi pembayaran atau pelunasan kreditnya?“ katanya.
Apabila hal itu terjadi, maka hasil kerja pertanian hanya untuk membayar cicilan dan bunga kredit. Bahkan mungkin tidak cukup. “Padahal uang hasil panenan petani seyogianya digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup rumah tangga, sembako, pendidikan anak, kesehatan, sosial kemasyarakatan dan lainnya,” jelas Erik San.
Erik juga meminta agar Pemda Manggarai seharusnya memperbaiki sistem manajemen pendistribusian dan penggunaan pupuk terlebih dahulu. Program pemerintah dalam mendorong penggunakan pupuk nonsubsidi melalui program “Petani Merdeka” tidak akan menjawab masalah kelangkaan pupuk yang terjadi, apabila masalah sistem manajemen pendistribusian dan penggunaan pupuk tidak diselesaikan dengan tuntas.
“Yang menjadi akar persoalan kelangkaan pupuk bersubsidi selama ini, salah satunya sistem manajemen di lapangan yang buruk. Mulai dari proses pendataan Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), pendistribusian hingga masalah pengawasan internal dan eksternal,” jelas Erik San.
Menurut Erik, dalam pengisian RDKK, petani dipandu oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) setempat. Namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan beberapa titik lemah dalam pengisian RDKK. Contohnya keterlambatan dalam mengisi RDKK karena tidak ada petugas PPL yang mendampingi petani. Selain itu, tidak ada dana khusus bagi petugas dan data RDKK tidak diperbaharui setiap musim tanam. Data yang digunakan adalah data tahun sebelumnya. Padahal, setiap musim tanam ada lahan garapan tambahan atau dialihfungsikan, sehingga luas lahan berbeda dan mempengaruhi jumlah kebutuhan pupuk bersubsidi.
“Petani tidak serius mengisi RDKK, karena menurut mereka tanpa mengisi RDKK mereka tetap mendapat jatah pupuk bersubsidi, dan seandainya tidak masuk dalam RDKK mereka tetap bisa membeli pupuk di kios/pengecer resmi,” lanjut Erik San.
Selain itu, pupuk yang diusulkan dalam RDKK tidak terserap sepenuhnya. Hal ini disebabkan jumlah pupuk bersubsidi yang ada di RDKK lebih banyak dibandingkan yang dibutuhkan. Ataupun sebaliknya jumlah pupuk bersubsidi kurang, tidak sesuai alokasi permintaan.
“Salah satu solusi mengatasi masalah pendataan RDKK ini adalah melibatkan Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Daerah (BALITBANGDA) dalam merumuskan berapa dosis anjuran spesifikasi lokasi dan Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) dalam proses pendistribusian dan penggunaan pupuk subsidi,” jelas Erik San.
Menurut Erik, perlu ada sinergisitas antara instansi dengan PPL sesuai dengan Tupoki (Tugas Pokok Fungsi) dalam pendataan dan pengawalan RDKK serta pendistribusian pupuk bersubsidi.
Masalah tepat waktu pendistribusian menjadi salah satu penyebab kelangkaan pupuk, di mana produsen dan distributor serta pengecer tidak mengirimkan pupuk sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
“Untuk distributor di daerah biasanya alasan keterlambatan karena keterbatasan jumlah kendaraan atau luas wilayah. Masalah ini bisa diatasi apabila masing-masing lini melaporkan secara berkala atau setiap bulan secara berjenjang. Selain itu, distributor juga bisa membangun kerja sama dengan penyalur/pengecer untuk langsung mengambil pupuk bersubsidi di gudang pusat distributor/pelabuhan bongkar muat pupuk bersubsidi. Dengan demikian pupuk bersubsidi tepat waktu diterima oleh kelompok tani,” jelas Erik San.
Selain itu, Erik juga meminta Pemkab untuk mengoptimalkan Pengawasan Internal dan Eksternal. Pengawasan pengadaan, penyaluran dan penggunaan pupuk bersubsidi mesti dilakukan oleh seluruh instansi terkait yang tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Pupuk di Pusat maupun melalui Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Konsep pengawasan disusun secara terpadu dan menyatukan konsep perencanaan serta konsep pengadaan dan distribusinya.
“Pengawasan pupuk bersubsidi dilakukan secara terpadu dan terintegrasi antara unsur petani/kelompok tani, unsur pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat/NGO, awak media, dan stakeholder lainnya,” jelasnya.
Pengawasan jelas Erik San, bisa dioptimalkan apabila ada dana operasional yang mencukupi. Sumber dana ini bisa berasal dari Kementerian Pertanian dan Anggaran Pemerintah Daerah setempat.
Agar lebih focus dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi KP3, sebaiknya petugas yang ditempatkan adalah petugas tetap bukan petugas yang merangkap menjadi pegawai di Dinas Pertanian setempat.
“Selain itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat lokal perlu diberdayakan oleh Pemerintah Daerah untuk ambil bagian dalam pengawasan pengadaan, penyaluran dan penggunaan pupuk bersubsidi ini,” katanya.
Bahkan kata dia, Pemda perlu langkah gebrakan baru untuk membentuk tim pengawas eksternal independen langsung di bawah komando Bupati dan Wakil Bupati. Hal ini bertujuan agar Bupati dan Wakil Bupati bisa langsung mengurai akar persoalan dan eksekusi solusi masalah kelangkaan pupuk bersubsidi di tingkat petani.
Selain itu, Pemda Manggarai perlu bangun komunikasi ke pihak produsen pupuk bersubsidi atau langsung ke pemerintah pusat seperti Kementerian Pertanian ataupun anggota DPR RI Dapil NTT I. Hal itu dimaksud untuk menambah kuota pupuk bersubsidi di Kabupaten Manggarai.
“Dengan didukung oleh partai pemenang Pemilu yaitu PDIP dan komposisi partai koalisi yang “gemuk” di daerah, tentunya Pemerintah Daerah Manggarai rezim Hery-Heri punya posisi tawar yang kuat untuk akses jaringan ke Pemerintah Pusat tersebut,” jelas Erik San.
Dengan demikian, kata Erik, langkah-langkah tersebut bisa membuat Kabupaten Manggarai mendapat jatah alokasi pupuk bersubsidi yang cukup, sehingga petani tidak mengalami kelangkaan pupuk lagi.
Oleh karena itu, sebelum implementasi Program Petani Merdeka, Pemda Manggarai seharusnya mengurai akar persoalan kelangkaan pupuk bersubsidi dulu. .
“Yang perlu didorong oleh Pemerintah adalah efektivitas penggunaan pupuk bersubsidi. Karena harga pupuk bersubsidi murah dan meringankan beban petani. Bukan sebaliknya, Pemda menawarkan kredit KUR kepada petani untuk membeli pupuk non subsidi yang sangat mahal tersebut. Langkah ini akan semakin menambah beban keuangan petani di tengah situasi ancaman gagal panen, kelangkaan pupuk serta situasi pandemi Covid-19 yang tidak tahu sampai kapan berakhir,” jelas Erik San.
Untuk diketahui, dalam upaya meningkatan produksi pertanian di tengah keterbatasan alokasi pupuk subsidi, Pemerintah Kabupaten Manggarai akan melakukan pilot project program “Petani Merdeka” dengan memanfaatkan pupuk nonsubsidi. Hal ini dibahas pada rapat koordinasi peluang penggunaan pupuk nonsubsidi, di Aula Ranaka, Kantor Bupati Manggarai, Jumat (4/6/21). Rencana tersebut mendapat sorotan dari berbagai pihak. (rnc23)