oleh

Masih Paskah Aksi Kita dengan Kisah Kasih Paskah?

Oleh Feliks Tans

Dosen Undana, Kupang

banner BI FAST

PASKAH, kita tahu, adalah kisah kasih. Dalam kisah kasih itu, Yesus Kristus–entah Anda percaya Dia 100% Tuhan dan 100% manusia atau tidak–menyerahkan nyawa-Nya bagi keselamatan orang yang dikasihi-Nya. Dunia, khususnya Gereja, pengikut-Nya, karena itu, menyebutnya sebagai kasih yang paling agung. Sebab tidak ada kasih yang paling agung selain kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi orang yang dikasihinya.

Persoalannya adalah apakah aksi kita, manusia sejak 2022 tahun yang lalu itu hingga kini di sini di dunia ini hari ini, setali tiga uang, sama dan serupa, dengan narasi agung Paskah itu.

Pada satu sisi, banyak, saya kira, yang secara total mengikuti teladan Yesus dalam hal penerapan kasih paling agung itu: mereka menyerahkan nyawa bagi keselamatan dan kebaikan orang lain tanpa pandang latar belakang suku, agama, ras, dan kelompoknya. Mereka martir. Yang lain, memang, tidak seperti itu, tetapi mereka secara total menyerahkan hidupnya bagi orang lain. Ribuan orang kudus dalam sejarah Gereja, adalah contohnya.

Dalam barisan itu, masih segar dalam ingatan kita, misalnya, Ibu Theresa dari Kalkuta. Dia secara total mengabdikan hidupnya bagi orang miskin karena dalam diri orang miskin itu, dia melihat Yesus Kristus sendiri. Karena itu, ketika pada suatu hari dia hanya memiliki uang sebanyak Rp 50.000,- dan seorang pengemis memintanya, Ibu Theresa tidak ragu sedikitpun untuk memberikan uang itu kepadanya. Bagi Ibu Theresa, yang meminta uang itu bukan si pengemis, tetapi Yesus sendiri dalam rupa si pengemis itu.

Di luar Gereja, banyak juga tokoh yang, dengan caranya masing-masing, melaksanakan hukum kasih itu secara taat azas. Itu, antara lain, berkat ajaran kasih dari agamanya, apapun itu, yang berpengaruh secara sangat kuat dalam dirinya. Juga berkat kebajikan lokal, local wisdom, dari dan di berbagai sudut bumi ini, yang pesan moralnya seirama dengan kasih paling agung itu. Dalam barisan ini, kita sebut, antara lain, Mahatma Gandhi, dari India, yang secara konsisten memperjuangkan kepentingan banyak orang tanpa kekerasan. Ahimsa.

Juga Bung Karno. Presiden Pertama Indonesia. Terlepas dari berbagai kekurangannya, kerelaan Bung Karno untuk turun dari kursi kepresidenan Indonesia, pada akhir dekade 1960-an, tanpa perlawanan senjata, adalah contoh aplikasi paling pas dari hukum kasih itu. Padahal pada saat itu, para pengikut setianya siap mengangkat senjata dan mati untuk membelanya mempertahankan kekuasaannya. Namun Bung Karno tidak mau Indonesia, yang sangat dicintainya, hancur karena perang saudara. Dia, karena itu, membiarkan dirinya dikorbankan untuk keutuhan Indonesia.

Itu, antara lain, pengaruh, langsung atau tidak langsung, dari kisah kasih paling agung itu terhadap orang lain yang, pada gilirannya, membuat dunia ini menjadi lebih baik. Namun, itu hanya salah satu sisinya.

Pada sisi lain, saya takut, pengaruhnya hampir tidak ada. Tidak kelihatan. Pengikut Yesus sendiri, termasuk saya, bahkan, tidak menghiraukannya. Mengabaikannya. Melakukan sebaliknya. Yang bukan pengikut-Nya, totum pro parte, apalagi.

Sejarah global contohnya. Perang antarsuku, antarbangsa/negara. Bahkan Perang Salib. Perang antaragama. Perang dunia pertama dan kedua. Juga kehidupan kita dewasa ini. Perang antara Rusia dan Ukraina, misalnya, jelas jauh dari kisah kasih paling agung itu. Akibatnya banyak orang mati, mengungsi, dan menderita lahir bathin. Juga banyak gedung, rumah, dan sarana-prasarana hancur berantakkan.

Di berbagai tempat lain, hal yang kurang lebih sama terjadi. Semua, tampaknya, ingin saling menghancurkan. Jauh dari narasi kasih paling agung Paskah 2022 tahun yang lalu itu. Belum lagi persoalan lain seperti terorisme dan berbagai aksi kriminal lainnya seperti pencurian, perkelahian, pengeroyokan, perampokan dan pembunuhan (massal).

Kekerasan fisik merebak; kebencian bertumbuh sumbur; aksi saling menghancurkan menjadi sebuah budaya. “Budaya kematian,” menurut St. Johanes Paulus II.

Budaya kematian pun menguniversal: di lima benua sekaligus. Juga lintas zaman. Dari generasi ke generasi. Di negeri tertentu, termasuk negara maju, bahkan, menjadi lebih kejam karena yang dilawan adalah korban yang tidak berdaya dalam gerakan seperti “Pro-Choice” di Amerika Serikat yang didukung, bahkan, oleh Presiden Joseph Biden. Di sana dan di banyak negara maju lainnya, tampaknya, gerakan “Pro-Life” malah diupayakan secara masif untuk dipinggirkan.

Pada titik ini, pertanyaan reflektif pada judul tulisan ini menjadi sangat relevan: Masih Paskah Aksi Kita dengan Kisah Kasih Paskah? Pada satu sisi, masih. Bahkan sangat pas dalam diri berbagai pengikut Yesus Kristus yang menerapkan secara total kasih paling agung itu. Sebagian dengan berita yang mengharukan; sebagian dalam senyap, jauh dari liputan media. Juga sangat pas dalam diri berbagai orang yang tidak mengakui Yesus sebagai 100% Tuhan dan 100% manusia, tetapi karena agamanya, kebajikan lokal yang diperolehnya dari lingkungannya, dan dampak langsung atau tidak langsung dari narasi kasih agung Paskah 2022 tahun yang lalu itu, mereka berhati baik. Penuh kasih setia. Berjuang dalam hidup ini dengan penuh kasih. Tanpa kekerasan.

Pada pihak lain, sebaliknya. Banyak orang, termasuk pengikut-Nya, meminggirkan kasih agung itu. Namun, jangan takut! Aksi peminggiran kasih itu bagian sah dari kerapuhan manusiawi kita: Errare humanum est. To err is human. Melakukan kesalahan itu bagian esensial dari keberadaan manusia yang, betapaun dia berusaha, tak pernah mencapai kesempurnaan kecuali, tentu, Yesus sendiri. Dia menyadari itu ketika dari atas salib kasih mulia-Nya, Dia berdoa: Tuhan, ampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka katakan-lakukan!

Doa Yesus kepada Bapa-Nya, saya kira, adalah bagian hakiki dari kisah kasih agung Paskah itu, yaitu selalu ada kesempatan kedua untuk kita. Semua kita. Apapun latar belakang kita. Kita diajak dari atas salib suci itu untuk berubah. Untuk kembali menjalankan hukum kasih paling agung itu sebisa kita: mengorbankan diri; tanpa kekerasan; mengandalkan dialog dan jalan damai; “berbagi, mencintai, memberi, dan menerima” kata Anna Weber.

Dengan bantuan Yesus Kristus sendiri, mestinya, bisa, sehingga dunia ini, sesuai dengan pesan moral kisah kasih Paskah itu, menjadi lebih baik bagi semua. Selamat Paskah, 2022!

(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *