oleh

Mengenal Varian Baru Sars CoV-2 dan Potensi Risikonya

Oleh Balthasar Elu
Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

AKHIR  Desember 2020 lalu dunia kembali dikagetkan dengan ditemukannya varian baru dari SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 di Inggris, Afrika Selatan, dan Brazil. Masyarakat dunia mulai ketakutan lagi akibat dampak yang akan ditimbulkan dari varian baru tersebut. COVID-19 saja belum tahu entah kapan akan berakhir.

Dalam kondisi tertentu, mungkin pendapat dan asumsi kita menjadi ambigu, antara benar atau setingan adanya virus ini. Mungkin ada yang berpikir atau berasumsi bahwa dunia seolah kini mengalami hukuman atau pembuangan dari Tuhan. Ataukah ini merupakan proses pemurnian kembali bagi ciptaan Tuhan di planet bumi. Bahwa melalui COVID-19, manusia ditempa kembali agar mengendalikan diri, belajar bersimpati, berempati, bertoleransi melalui pola relasi—komunikasi yang elegan satu sama lain. Dilatih untuk mengendalikan diri terhadap keinginan yang jasmaniah, seperti hasrat, nafsu, keserakahan, dan kecongkakan yang merusak kehidupan di bumi dewasa ini. Pun, hingga saat ini masih ada ada kelompok orang tertentu yang belum percaya bahwa COVID-19 benar-benar ada.

BACA JUGA: Data Penderita Covid-19 di NTT yang Jalani Isoman Harus Faktual

Karena ada juga yang konon berpandangan bahwa kejadian pandemi ini akibat ulah segelintir orang tetentu yang menjadikannya sebagai proyek karena kekuatan harta dan pengaruhnya bisa kendalikan dunia. Atau mungkin berasumsi bahwa ini adalah kerjaan orang-orang yang kini sedang dalam pengaruh kekuatan iblis untuk anti-Tuhan dan ingin merusak tatanan dunia.

Varian baru dari mutasi SARS-CoV-2

Selama masa pandemi COVID-19, badan kesehatan dunia (World Health Organisation—WHO) telah menerima berbagai laporan mengenai gangguan kesehatan masyarakat yang tidak biasa dan diduga sebagai akibat mutasi SARS-CoV-2. WHO terus melakukan penilaian mengenai berbagai laporan kejadian yang tidak biasa seperti halnya COVID-19 mengenai perubahan penilaian, presentasi klinis dan keparahannya, atau jika berdampak pada pencegahan, termasuk tindakan diagnostik, terapi dan vaksin (WHO, 31/12/2020).

Begitu juga dengan para ilmuwan kesehatan lainnya, hingga saat ini masih terus melakukan penelitian dan pemantauan mengenai bagaimana proses terjadinya mutasi virus dari SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, selain melakukan analisis genetik, mereka juga mengamati perubahan spike (seperti paku) yang menempel di permukaan virus corona tersebut yang dapat mempengaruhi cara penyebarannya dan efek yang terjadi setelah terjadi terinfeksi varian baru tersebut.

Lantas, bagaimana para ilmuwan melakukan identifikasi dan memberikan penamaan untuk varian baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19? Mereka menggunakan dua pertimbangan atau cara dalam memberikan penamaan dari hasil identifikasi varian baru, yakni Pertama, pertimbangannya dilatarbelakangi oleh adanya lonjakan kasus COVID-19 di Inggris dan Afrika ketika itu yang makin mengkawatirkan sehingga mengurutkan virus dari kasus selama lonjakan tersebut. Kemudian mereka membandingkan tingkat penyebarannya dengan COVID-19, di mana varian baru tersebut lebih cepat meningkat penyebarannya dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, kejadian ini berubah dari kasus yang sangat jarang menjadi sangat umum. Dengan peningkatan penyebaran yang cepat, para ahli memperkirakan bahwa tingkat penyebaran varian baru B.1.1.7 70% atau lebih masih dapat ditularkan lagi dari penderita kepada orang lain di sekitarnya.

Kedua, mereka menetapkan bahwa mutasi dari SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 menghasilkan varian sekunder atau disebut dengan “serangan sekunder”. Mereka mengamati proses penyebaran virus asli penyebab COVID-19 dengan varian baru, dimana jika proses penyebarannya yang ditularkan lagi dari penderita ke orang-orang di sekitarnya lebih cepat antara 30%-40% dari kasus-kasus sebelumnya, maka mereka menggolongkannya ke dalam varian baru.

Mereka kini masih terus melakukan penelitian intensif dan berkelanjutan untuk memahami seberapa luas penyebaran varian baru dari proses mutasi yang terjadi, bagaimana membedakan gejala dan potensi resiko yang disebabkan oleh infeksi varian baru dibandingkan dengan infeksi yang terjadi dari virus aslinya, dan bagaimana varian baru tersebut mempengaruhi proses terapi dan vaksin yang sudah tersedia sejak akhir Desember2020 sampai saat ini (https://www.cdc.gov; 15/01/2021).

David Kennedy, seperti dikutip https://theconversation.com(16/01/2021; 12.16am AEDT), biologiwan dari Penn State University, menjelaskan jenis varian baru yang telah diidentifikasi di Inggris (UK), yaitu varian B.1.1.7 dengan kode protein D614G (kode ini diberikan oleh WHO) yang diduga mulai terjadi mutasi selama periode Januari atau Februari 2020 menggantikan strain SARS-CoV-2 yang diidentifikasi di China sebelumnya. Varian kedua adalah B.1.351 dengan kode protein 501Y.V2 (kode diberikan oleh WHO) diidentifikasi di Afrika Selatan (South Africa).

BACA JUGA: Angka Covid-19 Makin Naik, Pemkot Kupang Siapkan Hotel untuk Isolasi Mandiri

Menurut Kennedy, kedua varian ini kemungkinan mulai menyebar di Inggris dan Afrika Selatan sejak September-Oktober 2020, namun baru bisa terdeteksi sejak Desember 2020 lalu. Kedua jenis varian baru tersebut menyebar melalui proses transmisi antar orang yang terpapar sebelumnya kepada orang lain di sekitarnya.
CDC Amerika Serikat(AS) melaporkan juga bahwa, selain kedua varian di Inggris dan Afrika Selatan, ada varian P.1. yang diidentifikasi di Brazil yang diperoleh dari pelancong asal Brazil yang diuji sampelnya di Tokyo, Jepang. Diperkirakan varian ini dibawa pelancong dari Brazil ke Tokyo.

Varian ini diperkirakan mengalami mutasi tambahan sehigga dapat mempengaruhi kemampuan antibodi untuk mengenalinya. Baik varian yang diidentifikasi di Brazil maupun di Afrika Selatan hingga kini belum diidentifikasi di negara lainnya (https://www.cdc.gov; 15/01/2021).

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *