Ruteng, RNC – Mantan Sekda Manggarai yang juga merupakan mantan Penjabat Bupati Manggarai Timur (Matim), Drs. Frans B. Padju Leok, angkat bicara terkait kebijakan menonjobkan 26 ASN, oleh Bupati Manggarai, Herybertus G.L Nabit. Kebijakan Bupati Nabit dan Wabup Ngabut itu, dinilai tidak beretika, menciptakan masalah dan seperti sedang menggali kubur sendiri.
“Bagi saya, ini jelas bermasalah. Waktu dengar itu, saya prediksi, ini seperti menggali kubur sendiri. Jadi, bukan orang yang kita tanam di situ, tapi kita sendiri. Artinya, sendiri yang gali lobang bukan kita mau tanam orang, tapi kita sendiri yang masuk,” tandas Frans Padju Leok, kepada RakyatNTT.com, Selasa (12/4/2022), di Ruteng.
Frans Leok menjelaskan, sebagai orang yang pernah memimpin birokrasi, ia agak kaget dengan kebijakan menonjobkan para ASN di Manggarai. Dikatakannya, pemerintah daerah atau bupati dan wakil bupati Manggarai di masa lalu, jarang melakukan hal seperti itu. “Karena kita sangat mempertimbangkan etika kepegawaian,” ujarnya.
Sekda Manggarai 2006 – 2007 itu menjelaskan, seseorang yang dipercayakan menduduki suatu jabatan dalam diktum keputusannya, selalu dinyatakan bahwa orang itu dianggap cakap dan mampu. Pengangkatan itu juga melalui berbagai proses atau seleksi. “Nah, kalau dia diturunkan, tentu ada pertimbangan – pertimbangan terkait kecakapannya itu. Kan ada proses. Katakanlah seseorang dianggap melanggar aturan,” sebutnya.
Penjabat Bupati Matim 2007 – 2009 itu menambahkan, menurunkan seseorang dari jabatannya, tidak boleh dengan tindakan serta – merta, melainkan harus melalui proses. Dalam arti, jika bersalah atau melanggar aturan, pejabat itu harus diperiksa aparat pengawas internal. Kemudian, ketika terbukti bersalah, maka penyelesaiannya pun harus sesuai dengan aturan. Misalnya, dengan memberikan sanksi. Sebaliknya, jika tidak terbukti bersalah, maka posisinya harus kembali pada posisi semula. “Karena itu tadi, pertimbangan awal orang itu dianggap mampu dan cakap, sehingga diberikan jabatan. Sehingga bagi kita agak heran lah kita dengan kebijakan (nonjob) ini,” katanya.
Frans Leok menuturkan, dalam pengalamanya di dunia pemerintahan, ia tidak pernah menonjobkan atau menurunkan seorang ASN dari jabatannya, tanpa sebab atau alasan yang jelas. Penurunan jabatan mungkin terjadi, kalau seorang ASN tersandung kasus. Meski demikian, tidak bijaksana jika seorang bupati langsung menindak. Prosedurnya adalah, ASN itu dibebaskan dari jabatannya, lalu diproses mengikuti mekanisme sesuai aturan yang berlaku. “Proses pemeriksaan itu berjalan, dan dia (ASN) tahu, kalau dia dalam kasus itu diperiksa. Kalau terbukti melanggar aturan, kita (bupati) tinggal tindak lanjut saja. Hukum sesuai dengan aturan yang berlaku,” katanya menggurui.
Terkait sanksi, lanjut Frans, dalam aturan kepegawaian biasanya ada beberapa tingkatan sanksi, yakni dari sanksi ringan, sanksi sedang hingga berat. Tapi, sebelum menjatuhkan sanksi, ada proses atau tahapan yang harus dilalui. “Dari pengalaman kita. Kita yang lama itu jarang ya, sampai orang dicopot tanpa suatu sebab. Itu jarang! Kecuali kalau katakan begini, ada pegawai malas datang kantor segala macam,” ungkapnya.
Penurunan jabatan 26 ASN tanpa dasar yang jelas, tambahnya, merupakan cerminan etika yang kurang baik dalam sistem pemerintahan di Manggarai. Seorang pemimpin seharusnya mengambil kebijakan, dengan tetap melihat dari aspek etika dan kemanusiaan. “Kita tidak boleh menghukum seorang pegawai itu, langsung dengan hukuman berat,” kata Frans Leok.
Disebutkannya, kebijakan menonjobkan puluhan ASN di Manggarai, adalah sejarah baru. Hal ini mewariskan sejarah yang buruk dalam pemerintahan di masa yang akan datang. Bahkan, saat ini baik pejabat yang nonjob maupun yang sedang menjabat, akan terganggu secara psikologi. “Saya rasa, yang langsung merasakan mungkin pegawai itu sendiri. Tapi jangka panjang, ini pasti ada,” katanya.
Kebijakan ini akan membuat banyak pegawai merasa cemas dalam bekerja. Secara psikologi, pegawai merasa terganggu. Para pegawai akan berpikir, suatu saat bisa saja mendapatkan perlakuan yang serupa. “Jadi, iklim itu sudah kurang bagus. Iklim pembinaan kepegawaian, karena bukan tidak mungkin nanti orang yang tidak ada apa – apa, tiba – tiba dicopot,” katanya.
Atas pengalaman itu, Frans Leok kemudian menyarankan Bupati Nabit dan Wabup Ngabut, agar mengambil kebijakan dengan tetap melihat aturan atau undang – undang yang berlaku. Bupati Nabit dan Wabup Ngabut juga diminta tetap memegang prinsip kemanusiaan. Karena, seorang pemimpin seyogyanya harus berpikir luas, dan bertindaak bijaksana.
“Artinya, kita harus berpikir terbalik juga. Kalau saya memperlakukan orang sepert ini, bagaimana kalau seandainya saya di posisinya dia? Apa bisa menerima tidak?” tanya Frans Leok. Dia menambahkan, penataan birokrasi telah diatur dalam undang – undang. Dimana, ada mekanisme suatu tahapan yang perlu dilakukan. Bupati harus melaksanakan penataan birokrasi sesuai dengan aturan tersebut.
Selain itu, bupati kata Frans Leok, semestinya wajib menaati rekomendasi atau masukan dari pemerintah di tingkatan yang lebih tinggi. Misalnya terkait rekomendasi dari KASN. Sebagai pimpinan pemerintahan di tingkat bawah, bupati wajib melaksanakan rekomendasi itu. Sementara untuk bawahannya, bupati mesti hadir untuk memberikan solusi dan menyelesaikan masalah. Bukan sebaliknya, menciptakan suasana yang tidak nyaman, dan menimbulkan perpecahan internal.
“Jangan mau bermasalah, daripada kita repot dan pusing kepala, lebih baik kita cari enak saja. Kalau dia (ASN) punya kesalahan besar sekalipun, tinggal dipanggil saja daripada bermasalah karena jabatan sebentar saja. Ketika dipercaya jaga baik – baik itu kuasa, jangan sampai nanti kembali menjadi masalah,” pungkasnya. (rnc23)