Oleh: Felix Tans
(Dosen FKIP/PPs Undana)
Dalam membangun NTT pada masa kepemimpinannya, 2018-2023, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Dr. Viktor Bungtilu Laiskodat, dan Wakil Gubernur, Josef Nai Soi, punya slogan ini: “NTT Bangkit, NTT Sejahtera.” Slogan itu, saya pikir, adalah sebuah pengakuan implisit bahwa sejak terbentuk pada tahun 1958, NTT belum bangkit, dan karena itu, belum sejahtera – Totum pro parte.
Marahkah rakyat NTT karena pengakuan itu? Tersinggungkah para pemimpin eksekutif dan legislatifnya sebelumnya karena hal itu? Pemimpin yang bijak pasti tidak marah. Pasti juga tidak tersinggung. Kenyataannya memang demikian. Tiga tahun setelah slogan itu didengungkan, keadaan NTT bahkan tak kunjung berubah. Kita, NTT, juara ketiga dari belakang dalam hal kemiskinan.
Persentase angka kemiskinan kita 20,44%; Papua 27,38%; dan, Papua Barat 21,82% (Data BPS, Maret-September 2021). Angka 20,44% itu kurang lebih sama dengan 1,17 juta orang miskin yang menyebar merata di Flores, Sumba, Timor dan Alor, serta pulau – pulau sekitarnya. Bayangkan 1,17 juta orang! Sekitar empat kali penduduk Kota Kupang. Banyak sekali!
Kemiskinan itu merata di NTT, tetapi ada lima kabupaten dengan status kemiskinan ekstrem, yaitu Sumba Timur (17,30% atau 45.550 orang), TTS (17,30% atau 81.180 orang), Rote Ndao (16,21% atau 28.720 orang), Sumba Tengah (21,51% atau 15.820 orang) dan Manggarai Timur (15,43% atau 44.630 orang). Di lima kabupaten itu, ada 89.410 rumah tangga miskin dengan jumlah penduduk miskin ekstrim 212.672 orang (CNN Indonesia, 18 Oktober 2021).
Data tersebut secara jelas menunjukkan, bahwa kita belum bangkit dan belum sejahtera sama sekali. Bangkit dan sejahtera bagaimana pada saat di sekitar kita jutaan orang kelaparan/kekurangan gizi, kekurangan air, hidup dengan sanitasi jelek, biaya kesehatan yang tidak terjangkau, kekurangan sandang dan papan, serta berbagai kebutuhan dasar lainnya yang serba minim? Pertanyaannya, jika begitu banyak orang miskin di NTT, kapan dia bangkit dan sejahtera?
Menurut Pemerintah Pusat, seperti yang disampaikan Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, pada tahun 2024, tidak boleh lagi ada orang miskin di Indonesia, termasuk NTT (Antara, 18/10/2021). Itu berarti, dua tahun lagi, 1,17 juta orang miskin di NTT bersama 25,33 juta orang miskin di provinsi lainnya di Indonesia (Data BPS per September 2021), harus sudah keluar dari jeratan kemiskinan. Harus!
Untuk menggapai mimpi itu, Pemerintah Pusat menjalankan program seperti: peningkatan jumlah alokasi anggaran untuk mengatasi kemiskinan di setiap provinsi yang terkait; pengadaan dan perluasan perlindungan sosial dengan target 30 juta orang dari keluarga kurang mampu; peningkatan bantuan program keluarga harapan; perluasan cakupan program Sembako; peningkatan bantuan dana desa, bantuan pemerintah dan penyaluran bantuan sosial tunai untuk 20 juta keluarga miskin (Siaran Pers Menteri Sosial, 22/10/2020); dan pemberdayaan badan usaha milik desa (Bumdes).
Sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi NTT dan semua Pemerintah Kabupaten/Kota se – NTT, kita tahu, mendukung dengan sepenuh hati pelaksanaan setiap program itu di bumi Flobamora. Dari ujung ke ujung NTT, saban hari kita pun biasa menyaksikan betapa gencarnya. Misalnya, upaya pemerintah untuk:
1. meningkatkan akses keluarga miskin dalam melakukan usaha dengan skala kecil;
2. meningkatkan jumlah serta mutu sarana dan prasarna/infrastruktur, termasuk pembangunan bendungan yang relatif banyak di NTT, yang pada gilirannya diharapkan ikut serta menghapus kemiskinan sampai ke akar – akarnya di provinsi ini.
Dalam konteks itu, Wapres Ma’ruf Amin menyarankan kepada gubernur dan para bupati se-NTT, agar semua penduduk miskin di NTT terlibat dalam semua program pemerintah itu. Selain itu, dia juga berharap supaya upaya mengatasi kemiskinan ekstrem di lima kabupaten yang disebutkan di atas, ditingkatkan secara nyata dan semua keluarga miskin diberi bantuan dana langsung (Sekretariat Kabinet RI, 17/10/2021, setkab.go.id).
Secara umum, NTT sebenarnya sedang melaksanakan secara sungguh-sungguh apa yang disarankan oleh Wapres. Program keluarga harapan bagi rumah tangga prasejahtera misalnya, dijalankan secara masif. Selain itu, per tahun dibangun 40.000 unit rumah layak tinggal, bersih dan berakses air bersih. Ini sesuai dengan nota kesepahaman antara gubernur dan para bupati se – NTT di Labuan Bajo pada tahun 2019 lalu.
Dalam nota tersebut disepakati bahwa di setiap desa dari 3.026 desa yang ada di NTT dibangun 10 unit rumah per tahun yang memenuhi persyaratan tersebut. Juga disepakati bahwa di setiap kabupaten dibangun 250 unit rumah yang 4.000 di antaranya merupakan bantuan provinsi dan 10.000 unit bantuan pemerintah pusat (BAPPELITBANGDA NTT: 24 Juli, 2019).
Dengan demikian, usaha pengentasan kemiskinan, baik di Indonesia secara umum, maupun di NTT secara khusus, paling lambat 2024, sejatinya, mudah. Gampang. Bahkan gampang sekali. Tidak sulit. Bukan mimpi di siang bolong. Apalagi pemerintah, kita tahu, sudah punya data lengkap keluarga miskin. Mereka tinggal dihubungi, diberi bantuan, didorong dan dipermudah untuk berusaha dan melakukan berbagai upaya kreatif – produktif, sehingga mereka bebas merdeka dari belenggu kemiskinan.
Ditambah dengan era keterbukaan dan kerja ekstra keras Pemerintah Pusat di bawah komando Presiden Jokowi yang luar biasa itu, menghapus kemiskinan pun sangat bisa dilakukan secara segera. Cepat. Efektif. Walaupun demikian, selain bantuan pemerintah seperti yang diuraikan di atas, kita, rakyat, harus juga mengatasi persoalan kemiskinan itu dengan berusaha sendiri secara total. All out. Sungguh – sungguh.
Pantang menyerah. Mengerahkan segala energi, waktu, relasi, dan uang yang dimiliki – berapapun banyaknya – untuk bangkit dan sejahtera. Bukan untuk bermalas – malasan, mabuk – mabukan, dan harap gampang. Kita harus proaktif, tidak pasif, dan hanya menunggu upaya kreatif pemerintah. Dengan bekerja secara ekstra keras dalam bidang yang mampu kita lakukan, misalnya, dalam usaha pertanian, peternakan, perdagangan, transportasi, industri kerajinan/kreatif, dan/atau dalam usaha apapun, kita pasti bisa keluar dari predikat kemiskinan itu dan, kemudian, secara kolektif segera menjadi (provinsi) yang terkaya di Indonesia. Kita bisa kalau kita mau.
Jadi, NTT bangkit dan sejahtera, sejatinya, tidak harus tunggu hingga tahun 2024. Sekarang, hari ini, minggu ini, bulan ini, tahun ini juga bisa. (*)
Komentar