Oleh Petrus Selestinus
Koordinator TPDI
PERNYATAAN SBY bahwa dirinya turun gunung karena dengar kabar konon Pilpres nanti telah diatur hanya 2 (dua) pasangan calon, sebagai pernyataan yang tidak memiliki landasan hukum, tidak logis, bahkan asal bunyi dari seorang mantan Presiden yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Alasannya, karena soal Capres mau dua atau tiga Paslon itu bukan sesuatu yang dilarang atau menjadi sesuatu yang bertentangan dengan hukum. Bahkan itu sangat tergantung pada konsensus para pimpinan Parpol yang karena terdapat kesamaan visi, misi, ideologi dan kepentingan serta komunikasi politik yang baik di antara pimpinan Parpol, maka koalisi Parpol akan terbentuk, meski beresiko ada Parpol dan Capres yang terlempar ke luar gelanggang koalisi.
Jika pimpinan Parpolnya baper, arogan, elitis bahkan feodal karena merasa diri sebagai lebih hebat dari yang lain, maka meskipun UU sudah mengatur bagaimana seharusnya berkoalisi, namun sebuah Partai Politik bahkan Capresnya yang dijagokan berpotensi terlempar dari Koalisi Partai Politik pengusung alias tidak mendapat kawan koalisi.
Partai Demokrat seharusnya segera mengoreksi dan berbenah diri, agar tidak terulang kembali peristiwa dimana oada Pilpres 2019, sebagian Kader dan struktur PD, tidak mendukung Capres yang diusung PD, malahan mereka secara terbuka mendukung Capres Jokowi dan itu sah-sah saja sesuai dengan semangat UU Partai Politik dan UU Pemilu, jadi dalam soal koalisi bukan salah bunda mengandung.
Kalau saja ada Partai Politik yang oleh karena ideologi, sikap politik dan alat kelaminnya tidak jelas, apalagi rawan konflik internal demi memperkuat dinasti politik, sehingga tidak layak untuk teman berkoalisi, maka itu adalah konsekuensi dari UU Pemilu dan resiko dalam berpolitik. Karena UU Pemilu sudah mengatur rumus-rumus dan cara bagaimana berkoalisi.
Dengan demikian maka pernyataan SBY bahwa dirinya “turun gunung”, menjadi aneh dan tidak masuk akal, karena bagaimanapun SBY adalah Ketua Dewan Pembina dan pemangku jabatan strategis lainnya yang selalu aktif mengendalikan PD, sehingga istilah “turun gunung” itu adalah suatu kebohongan dan tipu muslihat untuk menipu diri sendiri, publik dan bagi kader-kader PD sendiri.
PD seharusnya belajar dari berbagai kegagalan dalam berpartai polirik, gagal menjadikan AHY gubernur DKI Jakarta, gagal dalam mempertahankan posisi sebagai Parpol peraih suara terbanyak, gagal dalan koalisi Pilpres 2014 dan 2019 dll. malah banyak kader PD justru tidak mendukung Koalisi PD dan Capresnya, malah dukung Capres lain, sehingga dengan sejumlah kegagalan itu mestinya PD menjadi lebih dewasa, berpikir logis dan tidak bicara asal bunyi sekelas SBY.
Begitu pula dengan pernyataan Wakil Ketua Umum PD Benny Kabur Harman (BKH) yang mengekor pernyataan SBY soal turun gunung dengan narasi adanya Genderuwo, semakin membuat PD dan BKH tidak bisa berpikir logis dan realistis terutama tidak mampu melihat ketidak sukaan mayoritas masyarakat terhadap PD dan Anies Baswedan, tanpa harus ada suara Genderowo-pun soal ketidaksukaan publik terhadap Anies dan PD pada 2024, sudah menjadi sesuatu yang notoire feiten.
Ini adalah pernyataan SBY dan BKH yang menjerumuskan PD, karena apa yang dikatakan itu, tidak memiliki landasan logika dan yuridis, karena mengusung Capres-Cawapres adalah kita berbicara tentang bagaimana memilih sosok terbaik dari Partai Politik terbaik untuk memimpin bangsa ini, bukan soal Anies Baswedan atau soal PD.
Jika Anies Baswedan dalam pandangan publik dan kebanyakan Pimpinan Parpol, sebagai tidak layak untuk diusung sebagai Capres atau Cawapres 2024, sehingga tidak mendapat tempat dalam koalisi Partai Pengusung, maka jangankan seorang Anies Baswedan yang terlempar dari koalisi Parpol, Partai Demokratpun bisa bernasib sama dengan Anies akibat rekam jejak buruk PD dan sosok Anies Baswedan di mata publik. (*)
Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com