Oleh Feliks Tans
Dosen FKIP/PPs, Undana
PASKAH, kita tahu, adalah peristiwa kebangkitan Yesus Kristus dari alam maut. Dengan kebangkitan-Nya, maut, menurut orang beriman seperti saya, dikalahkan secara total dan, karena itu, manusiapun diselamatkan. Itu pula sebabnya Yesus Kristus yang, sekali lagi, menurut orang beriman seperti saya, 100% Tuhan, 100% manusia, disebut sebagai Juru Selamat.
Tidak semua orang, kita tahu, berkeyakinan demikian. Orang Yahudi, misalnya, melihat Yesus Kristus sebagai Mesias palsu yang layak dihukum mati di kayu salib; yang lain memandang-Nya “hanya” sebagai nabi; dan, yang lainnya lagi menganggap-Nya, tidak lebih tidak kurang, cuma sebagai seorang manusia luar biasa yang baik yang telah berhasil mengubah dunia, seperti sekarang ini, melalui para pengikut-Nya dalam dua milenium terakhir. Walaupun demikian, Paskah atau, lebih tepat, Hari Raya Peringatannya, yang tahun ini jatuh pada tanggal 9 April, sejatinya, memberikan banyak pelajaran berharga bagai kemanusiaan, entah Anda percaya pada Yesus Kristus sebagai Tuhan atau tidak.
Dari Paskah, misalnya, kita tahu bahwa hal-hal yang indah-mulia-agung, tidak mungkin tercapai tanpa kerja keras. Tanpa keringat. Tanpa derita. Tanpa salib. Artinya, keindahan, kemuliaan, keagungan, dan keberhasilan, apapun bentuknya, tidak mungkin tercapai hanya dengan bermalas-malasan, tanpa kerja keras, tanpa penderitaan. Tidak! Tidak mungkin. Itulah yang orang Inggris sebut sebagai “no pain, no gain.” Kita, orang Indonesia, menyebutnya sebagai, “Susah-susah dahulu, senang-senang kemudian.” Dengan demikian, satu-satunya jalan yang benar kepada sukses itu adalah melalui perjuangan yang, dalam banyak hal, berdarah-berdarah. Itulah kita. Kehidupan kita. Manusia. Yang mortal. Dengan kemampuannya yang begitu berbatas dan terbatas, bahkan di tengah kecanggihan teknologi informasi dan bioteknologi serta kecerdasan buatan yang serba canggih dewasa ini – Kita masih belum tahu, misalnya, ayam atau telur yang lebih dahulu ada di muka bumi ini.
Namun, bagi Tuhan yang Mahakuasa, berlaku jugakah hukum alam itu? Jika berlaku, itu, bagi manusia yang fana, jadi soal. Jadi masalah besar, terutama bagi mereka yang berpikir kritis yang, pada gilirannya, diharapkan melahirkan kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi untuk membuatnya keluar dari masalahnya secara pribadi dan kolektif, pada jamannya dan pada jaman yang akan datang – Orang-orang seperti Cathy N. Davidson (2017), Bernie Trilling (2009) dan Charles Kivunja (2015) serta organisasi pendidikan seperti National Education Association (2018) menyebutnya sebagai empat kompetensi (4Cs) utama abad ini, yaitu critical thinking, communication, collaboration, dan communication (Dalam Yuval Noah Harari: 21 Lessons for the 21st Century. New York: Random House, 2019, hlm. 268).
Masalahnya apa? Persoalannya apa? Ini: mengapa Tuhan tidak menggunakan kekuasaan-Nya untuk menyelamatkan manusia? Mengapa, gerangan, Tuhan tidak bersabda saja supaya, misalnya, dosa manusia diampuni sehingga bisa diselamatkan? Atau mengapa, gerangan, Tuhan tidak memberikan kekuatan super, yang tak terkalahkan oleh kekuatan kegelapan, Setan, sehingga dia, kita, manusia, tidak akan pernah jatuh ke dalam dosa? Mengapa harus lewat jalan salib itu penyelamatan? Mengapa harus lewat penderitaan yang tiada tara untuk menyelamatkan manusia, jika dengan bersabda saja penyelamatan itu terjadi?
Gereja sebagai kumpulan orang beriman, kita tahu, telah memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan itu. Juga pengalaman hidup kita, manusia, memberi jawabannya sendiri. Inti jawabannya, saya kira, sama sepanjang sejarah kehidupan ini, yaitu ini: no pain, no gain. Seperti yang saya sebut di atas. Hanya melalui penderitaanlah, kita bisa menggapai kebahagiaan. Hanya melalui kematianlah ada kebangkitan. Dengan demikian, pada titik ini, pertanyaan mengapa Tuhan tidak menggunakan kekuasaan-Nya untuk menggapai kemenangan tanpa memikul salib, tanpa penderitaan yang tak terperikan, saya pikir, masih belum terjawab. Masih jadi sebuah misteri. Misteri kehidupan kita yang fana ini.
Dalam naungan misteri itu, kita, manusia, beriman kepada Yesus Kristus sebagai 100% Tuhan dan 100% manusia, Juru Selamat atau tidak, saya kira, tidak punya jalan lain selain ini: kemenangan hanya bisa diperoleh melalui kerja keras, melalui penderitaan, melalui salib. Pengalaman kehidupan, seperti saya bilang di atas tadi, mengajarkan itu kepada kita.
Itu juga, saya percaya, yang tidak hanya diajarkan oleh Jesus Kristus, tetapi juga ditunjukkan-Nya secara nyata – Sebab itu, Dia disebut sebagai seorang pemimpin eksemplaris. Hanya melalui salib, penderitaan, dan kematian ada kebangkitan yang, pada gilirannya, ada keselamatan. Ada kehidupan. Itu, tentu, karena kasih-Nya bagi orang-orang yang dicintai-nya yang, kemudian, kita, manusia, sepanjang masa melihatnya sebagai kasih adiluhur: Tak ada kasih yang paling agung selain kasih seseorang yang menyerahkan nyawa-Nya bagi orang yang dikasih-Nya.
Selamat merayakan Hari Raya Pesta Paskah, 9 April! Semoga dalam misteri keilahian peristiwa itu, kita mampu memetik pelajaran yang berharga untuk tetap bertekun dalam jalan salib kita masing-masing menuju kemuliaan kebangkitan kita, apapun bentuknya. Kapanpun. Di manapun. Tentu, dengan bantuan-Nya, entah Anda percaya kepada-Nya atau tidak, karena Dia baik. (*)
Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com