Pengubahan Nama Wilayah, Langkah yang Tidak Peka dengan Kepentingan Masyarakat

Jerikowaydibaca 888 kali

Oleh Hadi Paulinus Dampung SH, M.Si

Pemerhati Masalah Sosial

MENGUBAH nomenklatur nama sebuah kecamatan menjadi polemik. Akhir – akhir ini, masyarakat Manggarai Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur dikejutkan dengan pengubahan nama Kecamatan Poco Ranaka, menjadi Kecamatan Lamba Leda Selatan, dan Kecamatan Poco Ranaka Timur, menjadi Kecamatan Lamba Leda Timur.

Memberi nama sebuah kecamatan bukan hanya sekedar nama, akan tetapi nama Kecamatan Poco Ranaka saat ini tidak terlepas dari sejarah Kedaluan/Suku, yang mendiami wilayah ini sejak jaman Kerajaan Swapraja Manggarai, yang terdiri dari Kedaluan Lamba Leda, Kedaluan Riwu dan Kedaluan Congkar.

Leluhur dari 3 (tiga) Kedaluan/Suku ini, telah membentang wilayah kekuasaan Kedaluan dengan batas – batas sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum melalui kesepakatan bersama ketika itu. Saat ini, identitas suku – suku yang menetap di wilayah ini, masih tetap dipertahankan dan sangat kuat, dimana terdapat beberapa kampung tua masih memegang tradisi adat dan prosesi ritual adat yang menyertainya.

Pada saat pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, maka terjadi pengubahan nama wilayah dan sistem pemerintahannya. Ketika itu Pemerintah Kabupaten Manggarai membentuk kecamatan – kecamatan dengan tetap memegang teguh kearifan lokal suku-suku yang mendiami wilayah dimaksud, seperti identitas suku, batas wilayah suku dan sejarah.

Tokoh adat dan masyarakat dari ke-3 Kedaluan tersebut telah menyepakati, agar nama kecamatan yang diberikan tidak menyinggung sentimen kesukuan dan ego Kedaluan/Suku, sehingga terhindar dari unsur SARA. Oleh karena itu disepakati bersama bahwa nama Kecamatan Poco Ranaka sebagai pilihan yang tepat dan netral dengan membawahi tiga Kedaluan/Suku, yaitu Kedaluan Lambaleda, Kedaluan Riwu dan Kedaluan Congkar.

Sehingga, latar belakang argumentasi penetapan Perda (Peraturan Daerah) yang mengubah nama Kecamatan Poco Ranaka menjadi Lambaleda Selatan, dan Poco Ranaka Timur menjadi Lambaleda Timur, bertentangan dengan semangat dan cita-cita awal para leluhur dari ke-3 Kedaluan tersebut.

Oleh karena itu, sebuah peraturan daerah yang dibentuk, harus mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita – cita hukum masyarakat yang rumusan, atau normanya mendapatkan pembenaran (recht vaardiging). Ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum masyarakat, yakni fakta empiris perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Baca Juga:  GASSS adalah Mimpi Anak Muda Kota Kupang

Peraturan daerah juga dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum, atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan aturan yang telah ada, yang akan dicabut dan diubah guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengatur daerahnya melalui instrumen hukum, dimana pembentukan sebuah Perda juga harus memperhatikan aspek ideal, kontekstual, historis dan aspek teleologis. Untuk itu, dibutuhkan Perda yang bersifat responsif – aspiratif, sebagai upaya untuk mewujudkan Perda yang implementatif dengan mengedepankan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, menggali nilai-nilai luhur yang hidup dan ditaati oleh masyarakat setempat dan juga harus didasarkan suatu penilaian akademis yang bersumber dari penelitian ilmiah (aspek moralitas).

Bahwa semangat pembentukan Peraturan Perundang – undangan, harus mempertimbangkan efektivitas dilaksanakan sebuah Peraturan Daerah dengan mengedepankan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.

Di dalam penjelasan pasal 250 ayat (2) Undang – undang Nomor : 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Perda dan Perkada (Peraturan Kepala Daerah) yang bertentangan dengan kepentingan umum, bilamana terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, akses terhadap pelayanan publik, ketentraman dan ketertiban umum, kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan/atau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras antar golongan dan gender.

Berdasarkan Undang – undang Nomor : 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, mengatur secara tegas mengenai tahapan proses pembentukan sebuah produk hukum mencakup tahapan Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan, Pengesahan atau Penetapan dan Pengundangan. Selanjutnya di dalam penjelasan pasal 96 ayat (2) undang – undang tersebut, secara tegas menjamin partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Daerah. Peran masyarakat itu ditandai dengan memberi masukan secara lisan dan/atau tertulis melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar maupun diskusi.

Sekarang marilah kita cermati lebih jauh, beberapa fakta lapangan yang ditemui pada Kabupaten Manggarai Timur, berkaitan dengan penyesuaian nama Kecamatan Poco Ranaka menjadi Kecamatan Lamba Leda Selatan (Perda No. 1 Tahun 2021), dan Kecamatan Poco Ranaka Timur menjadi Kecamatan Lamba Leda Timur (Perda No. 2 Tahun 2021).

Ditetapkannya kedua Peraturan Daerah tersebut, terkesan terburu – buru, tidak aspiratif, tidak terbuka, dan juga mengabaikan kajian akademik, kajian historis, dan tidak memberi ruang bagi tokoh-tokoh adat/tokoh masyarakat selaku pemangku kepentingan, untuk memberikan pendapat baik lisan, tulisan, ataupun sosialisasi yang dilaksanakan pemerintah bersama dengan DPRD Kabupaten Manggarai Timur.

Baca Juga:  GASSS adalah Mimpi Anak Muda Kota Kupang

Mengubah nama kecamatan bukan hanya terjadi di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, akan tetapi juga terdapat pengubahan nama kecamatan di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, yakni dari Kecamatan Pelabai menjadi Kecamatan Tubei. Dasar pengubahannya karena pemekaran wilayah. Kondisi Kecamatan Tubei, Kabupaten Lebong, saat itu tidak berjalan mulus sebab terdapat kendala administrasi kependudukan, perubahan kode dan data wilayah administrasi mengalami perubahan, demikian pula berakibat pada terhambatnya urusan administrasi perbankan.

Alasan mengubah nama kecamatan di Kabupaten Lebong sangat logis, dimana mengubah nama sebuah kecamatan untuk tujuan pemekaran wilayah, karena kebutuhan dan tidak ada pilihan lain. Berbeda dengan mengubah nama kecamatan yang terjadi di Kabupaten Manggarai Timur, hanya sekedar penyesuaian nama dan pengubahan nama kecamatan disinyalir tanpa alasan yang prinsip/urgen dan atau tanpa manfaat yang logis.

Selain itu, pengubahan nama kecamatan di Kabupaten Manggarai Timur, tidak dilengkapi dengan tatanan administrasi yang baik dan benar, berupa penyempurnaan sistem digital kependudukan, kode, data wilayah dan lain sebagainya. Masyarakat menganggap, pengubahan nama kedua kecamatan tersebut menganggu aktivitas rutinitas, karena harus mengurus perubahan administrasi kependudukan dan menambah biaya yang tidak perlu.

Bayangkan saja, betapa besarnya pemborosan dana yang ditimbulkan dari adanya pengubahan nama kecamatan, sebagai berikut : dari data tahun 2018, jumlah penduduk berusia 17 tahun ke atas di wilayah Kecamatan Poco Ranaka, sebanyak 23.767 jiwa, dan Kecamatan Poco Ranaka Timur sebanyak 20.125 jiwa, tersebar di 42 desa dan kelurahan.

Katakan saja akibat dari tidak didistribusikan KTP ke kecamatan, bahkan ke desa dan kelurahan bagi masyarakat yang sangat membutuhkan KTP atau dokumen kependudukan lainnya dengan tujuan, misalkan saja untuk pencairan dana BLT/bantuan lainnya ataupun urusan lain, sehingga terpaksa harus mengurus sendiri ke ibu kota kabupaten yang transportasinya mahal, akibat jarak tempuh yang jauh, jalan rusak dan harus menggunakan ojek pergi pulang, sehingga menghabiskan biaya transportasi perorang minimal Rp 250.000,-

Jumlah penduduk usia 17 tahun ke atas pada dua kecamatan, seluruhnya 43.892 orang. Diperkirakan, setidaknya 12.000 orang melakukan perjalanan pulang pergi ke ibu kota kabupaten untuk melakukan pengurusan dokumen kependudukan, sehingga apabila ditotalkan secara keseluruhan, bisa mencapai miliaran rupiah, belum termasuk biaya lain (makan/minum/fotocopy, dll) yang harus dikeluarkan oleh masyarakat.

Baca Juga:  GASSS adalah Mimpi Anak Muda Kota Kupang

Biaya – biaya tersebut belum dikalkulasikan untuk pengurusan administrasi berkaitan sektor pendidikan (seperti pengurusan ijazah, raport, dll). Sektor kesehatan (seperti kartu BPJS), sektor ketenagakerjaan (seperti BPJS Tenaga Kerja). Sektor keuangan (seperti data wajib pajak, wajib retribusi, dll), dihitung secara materil maupun non materil.

Di sisi lain, apabila kita tinjau besaran biaya yang menjadi beban Pemkab Manggarai Timur, katakan saja pengadaan blangko KTP untuk 43.892 orang (kendatipun sumber dana untuk blangko KTP berasal dari dana Tugas Pembantuan). Selain untuk pengadaan blangko KTP, mari kita kalkulasi lebih lanjut terhadap belanja lainnya, yakni untuk pengadaan papan nama sebanyak 42 desa/kelurahan, masing – masing membutuhkan dana kurang lebih Rp 300.000.

Untuk papan nama sekolah SD/SMP/SMA/SMK katakan saja 75 sekolah. Papan nama Puskesmas/Pustu kurang lebih 50 buah. Belum termasuk papan nama Bumdes, Koperasi dan lembaga lainnya, termasuk mengubah stempel dan masih banyak atribut ikutan lainnya yang harus diganti, sebagai dampak pengubahan nama kecamatan.

Mencermati data lapangan yang sudah diuraikan sebelumnya, alangkah lebih bijak jika Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur melakukan pekerjaan penting lainnya, seperti memperbaiki transportasi jalan dan jembatan, guna membuka akses penjualan hasil bumi yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat daerah, ataupun memperbaiki infrastruktur seperti sekolah, Puskesmas dan sarana dasar masyarakat lainnya, maupun bantuan sarana produksi pertanian/peternakan/perikanan dan pekerjaan produktif lain yang lebih urgent.

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa sesungguhnya pengubahan nama kecamatan tanpa alasan yang logis, tidak ada hal yang prinsip dan urgen, bahkan bertentangan dengan semangat dan cita – cita bersama yang telah disepakati masyarakat dan tokoh adat setempat. Sehingga tidak perlu dilakukan pengubahan nama kecamatan, apalagi hanya sekedar penyesuaian nama. Karena dampaknya, selain menambah pekerjaan baru dan menambah biaya baru yang tidak perlu, juga sangat merugikan masyarakat baik itu materil maupun non materil. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *