Kupang, RNC – Perkara perdata antara Mariantji Manafe melawan Direktur BPR Christa Jaya Kupang, Lanny Tadu masuk babak lanjutan di tingkat Mahkamah Agung.
Sebelumnya di Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang dan Pengadilan Tinggi Kupang, perkara ini telah dimenangkan oleh Mariantji Manafe. Vonis yang diberikan kepada Direktur BPR Christa Jaya Kupang adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Hal ini ditegaskan Herry F. F Battileo, SH,.MH sebagai kuasa hukum Mariantji Manafe bersama timnya saat konferensi pers di kantor LBH Surya NTT, Senin (27/04/2020) kemarin.
Herry kembali mengulas dinamika dalam persidangan terhadap pokok perkara di PN Klas 1A Kupang. Ia mengatakan BPR Christa Jaya telah mendroping dana sebanyak dua kali, masing-masing 110 juta pada 8 April 2017 dan 200 juta pada 27 Mei 2017 kepada debitur Welem Dethan (alm) semasa hidup.
Namun dalam perjalanannya, debitur Welem Dethan meninggal dunia pada 10 Desember 2018. Selanjunya, pada 20 Februari 2019, BPR Christa Jaya Kupang memberikan Surat Pemberitahuan sekaligus Surat Peringatan I secara bersamaan kepada Mariantji Manafe selaku istri dari Welem Dethan, terkait droping dana tersebut. Disusul SP II pada 25 Mei 2019 dan SP III pada 11 Juni 2019.
Mariantji Manafe ketika itu merasa kaget karena sepengetahuan dia hutang mereka pada BPR Christa Jaya Kupang telah lunas pada 3 Januari 2017. Ini disertai bukti print out rekening koran.
Mariantji Manafe pun mempertanyakan akad kredit atas droping dana baru tersebut. Menurutnya, dia tidak pernah menandatangani akad kredit/perjanjian kredit terhadap transaksi baru sebesar Rp 110 juta dan Rp 200 juta itu.
Namun, alasan yang diberikan BPR Christa Jaya lewat Direkturnya Lanny Tadu bahwa droping dana baru tersebut mengacu pada akad kredit/perjanjian kredit sebelumnya yang telah lunas dengan sebutan kredit “longgar tarik”.
Dalam fakta persidangan lainnya di PN Klas 1A Kupang dengan agenda keterangan saksi, Mariantji Manafe menghadirkan tiga orang saksi fakta dan satu orang saksi ahli (empat orang saksi). Sedangkan BPR Christa Jaya hanya menghadirkan satu orang saksi fakta, namun saksi tersebut tidak dapat menerangkan fakta terkait droping dana tersebut.
Sementara dalam keterangan yang diberikan oleh saksi ahli Mariantji Manafe menyatakan bahwa produk jasa perbankan harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan hukum standar nasional perbankan.
Kriteria atau syarat hukum standard nasional perbankan adalah setiap transaksi kredit harus didasari pada akad kredit. Apabila debitur telah melunasi kreditnya maka perjanjian dalam akad kreditnya pun otomatis berakhir.
Menurutnya, dalam fakta persidangan jelas BPR Christa Jaya Kupang tidak dapat menunjukkan akad kredit terkait droping dana Rp 110 juta dan Rp 200 juta. Sedangkan kredit Welem Dethan (alm) sebelumnya sudah lunas. Artinya akad kredit terdahulu telah berakhir.
Masa akad kreditnya tidak berlaku lagi tapi mau dipakai sebagai dasar hukum dalam mendroping dana baru dengan nama “longgar tarik”. “Itu jelas bertentangan dengan hukum standard nasional perbankan,” tegas Herry.
Ditambahkan Herry, apa yang dilakukan Direktur BPR Christa Jaya Kupang sesuai fakta persidangan adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap kliennya Mariantji Manafe yang tidak pernah terlibat dalam penandatangan sebuah akad kredit terkait droping dana baru itu. Namun justru kliennya diminta untuk mempertanggungjawabkannya.
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang memenangkan Mariantji Manafe, Direktur BPR Christa Jaya melalui kuasa hukumnya telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Herry mengatakan pihaknya menghormati dan menghargai hak setiap warga negara dalam upaya untuk memperoleh keadilan hingga pada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkcraht). (*/rnc)