Jakarta, RNC – Mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) Petrus Selestinus mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib memberikan perlindungan kepada setiap saksi yang dipanggil atau selama seseorang menjadi saksi dalam penyidikan dan penuntutan perkara yang sedang ditangani oleh KPK.
Kewajiban tersebut, kata Petrus, merupakan konsekuensi dari asas menjunjung tinggi HAM sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK juntho Pasal 5 ayat (1) huruf j KUHAP juntho Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentag Perlindungan Saksi dan Korban.
“Dalam praktek peradilan pidana kita, seorang saksi sering mendapat ancaman, terutama ancaman terhadap rasa aman. Ancaman terhadap saksi tidak hanya dilakukan oleh pihak luar tetapi juga kadang-kadang dilakukan oleh KPK sendiri, melalui narasi atau statemen pimpinan KPK di media yang secara langsung atau tidak langsung menempatkan saksi seolah-olah identik dengan tersangka dan akan dijemput paksa dan lain-lain sebagaimana dilakukan oleh KPK terhadap Saksi James Riyadi,” ujar Petrus di Jakarta, Sabtu (14/12/2019).
Dalam kasus dugaan korupsi, kata Petrus, beberapa saksi sering mendapat perlakuan tidak layak dan tidak patut dari KPK, sehingga membuat Saksi kehilangan kenyamanan. Beberapa pimpinan KPK termasuk Kadiv Humas KPK Febri Diansyah, tutur dia sering membuat narasi yang seram dan sangat mengganggu kenyamanan saksi.
“Di sini KPK beritikad tidak baik, sehingga patut diduga KPK sedang menciptakan posisi offside bagi saksi untuk tujuan tertentu,” tandas dia.
Petrus menilai, dalam kasus dugaan korupsi proyek Meikarta, KPK bersikap ambivalen. Pasalnya, KPK menerima adanya laporan seorang Saksi Edi Dwi Soesianto selaku mantan Kepala Departement Land Acquisition Permit PT Lippo Cikarang Tbk dalam kasus dugaan suap pengurusan izin proyek pembangunan Meikarta.
Edi merasa terancam karena dilaporkan oleh tersangka mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Tbk., Bartholomeus Toto (BTO) kepada pihak kepolisian. Akibatnya saksi BTO mengajukan permohonan perlindungan saksi kepada KPK karena merasa terancam dilaporkan ke kepolisian oleh tersangka.
“Anehnya permohonan perlindungan saksi tersebut direspons KPK dengan mengakomodir permohonan perlindungan saksi tersebut, dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menjamin bahwa saksi tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata. Bayangkan laporan masyarakat kepada Polri oleh KPK diakomodir sebagai sebuah ancaman yang menghalangi kewajiban menjadi saksi,” ungkap Petrus.
Sedangkan untuk saksi James Riyadi yang absen pada panggilan sebagai saksi pada pemeriksaan tahap berikutnya, kata dia, KPK langsung mengancam akan menggunakan upaya paksa atau menjemput paksa James Riyadi, karena ketidakhadirannya menjadi saksi bagi Tersangka BTO.
“Ini juga tindakan yang melanggar hukum karena sikap KPK telah menakut-nakuti James Riyadi, meskipun James Riyadi bisa saja tidak takut,” tandas dia.
Dalam konteks ini, lanjut Petrus, KPK menerapkan standar ganda, di mana terkait kedudukan Saksi Edi Soes, KPK memberikan perlindungan dengan narasi yang sejuk di media, bahwa Saksi Edi Soes tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana akibat kesaksiannya. Sementara Saksi James Riyadi baru mangkir sekali langsung diancam KPK akan dilakukan upaya jemput paksa.
“Posisi seorang saksi di hadapan KPK ia dijamin oleh UU KPK, KUHAP dan UU PSK untuk dilindungi, karena itu apapun hambatan KPK ketika hendak memeriksa saksi, maka sikap melindungi saksi harus dikedepankan, KPK tidak boleh arogan apalagi mengintimidasi saksi dengan narasi mengancam jemput paksa atau mentersangkakan saksi sebagaimana sikap KPK hendak menjemput paksa James Riyadi,” pungkas Advokat Peradi ini. (*/rnc)