oleh

Pilkada di NTT: Nasdem dalam Pusaran Politik Dinasti

Kupang, RNC – Praktik politik dinasti bakal kembali mewarnai pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Lagi-lagi, Partai Nasdem jadi kreatornya setelah berhasil memenangkan Paulina Haning Bulu dalam Pilkada Rote Ndao tahun 2018 lalu.

Paulina berhasil menjadi orang nomor satu di kabupaten terselatan di Indonesia itu menggantikan Leonard Haning yang memimpin Rote Ndao selama dua periode. Lens, begitu Leonard Haning disapa tidak lain adalah suami Paulina Haning Bulu.

BACA JUGA: Arah Dukungan tak Menentu, Paket Hoki Tutup Buku dengan Nasdem untuk Pilkada Ngada

Pada Pilkada serentak kali ini, di NTT ada sembilan kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada. Yakni, Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah Utara (TTU), Sabu Raijua, Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, Sumba Barat dan Sumba Timur. Khusus untuk Pilkada TTU, Nasdem diprediksi bakal mengusung Kristina Muki, istri bupati TTU dua periode, Raymundus Fernandes, sebagai calon bupati.

Pasalnya, dalam survei di internal Nasdem yang dilakukan baru-baru ini, elektabilitas anggota DPR RI itu unggul atas Dolvianus Kolo, Prof. Yohanes Usfunan dan bakal calon lainnya. Bahkan, elektabilitas Kristina Muki disebut-sebut unggul atas Gabriel Manek, politisi senior Golkar yang juga mantan bupati TTU.

Terkait praktik politik dinasti yang mulai menjamur di NTT, Pengamat Politik Dr. Ahmad Atang berpendapat politik dinasti sebetulnya tidak dikenal dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Praktik politik semacam ini hanya muncul di negara-negara yang menganut sistem monarki absolut. Sebab sirkulasi kepemimpinan di negara-negara monarki selalu berbasis dinasti, dimana kekuasaan hanya diteruskan dari orangtua raja turun kepada anak dan seterusnya.

“Menjadi kontraproduktif ketika kita di negara demokrasi malah mempraktikkan politik berbasis dinasti. Jadi sebetulnya kita telah salah mempraktikkan politik demokrasi,” ujar Ahmad saat diwawancara RakyatNTT.com, Selasa (16/6/2020).

Akademisi Universitas Muhammadiyah Kupang itu mengatakan, format politik demokrasi yang keluar dari rel mesti diluruskan. Dan yang meluruskan itu adalah masyarakat. Jadi ketika melihat ada pola politik yang lebih mengedepankan orang-orang di sekitar kekuasaan, maka masyarakat mesti dibangun kesadarannya untuk tidak memberikan dukungan sehingga kelanggengan politik dinasti tidak kuat.

“Partai politik itu hanya menyediakan orang untuk diseleksi publik. Jadi advokasi publik mesti kuat. Kita mesti membangun kesadaran masyarakat sipil untuk melihat dan mengantisipasi format politik yang dibangun berdasarkan kekuatan politik dinasti. Cara melawannya yakni dengan tidak dengan memilih,” jelasnya.

Ahmad juga membeberkan bahaya atau efek buruk dari praktik politik dinasti. Menurut dia, politik dinasti hanya mewariskan kekuasaan kepada orang-orang sekitar. Itu artinya semua sumber daya kekuasaan, sumber daya ekonomi dan sumber daya politik hanya akan dinikmati oleh sebagian kecil orang, sehingga tidak membuka ruang untuk terjadinya politik egaliter.

“Politik egaliter itu artinya semua orang diperlakukan secara proporsional dan diberi ruang untuk mengambil peran yang sama. Bukan mempersempit ruang dan meminimalisir orang untuk terlibat dalam politik,” sebut Ahmad.

Kembali pada konteks Pilkada TTU, Ahmad mengatakan, secara kualifikasi individual, Kristina Muki memang punya modal politik. Sebab istri Bupati TTU itu sudah mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk menjadi anggota DPR RI. “Soal pengalaman memimpin, ini yang kita belum tahu. Jadi seperti yang saya katakan di atas, ketika ruang politik dipersempit, maka yang muncul hanya orang-orang yang dirasa perlu,” kata Ahmad.

BACA JUGA: Nasdem NTT Rekomendasi 6 Balon ke DPP, Konsolidasi di 3 Kabupaten Belum Final

Nasdem, diakui Ahmad, tentu punya instrumen untuk menentukan siapa yang terbaik di antara kader partai untuk selanjutnya diusung menjadi calon kepala daerah. Hanya saja dia berharap, pilihan ini nantinya tidak merugikan masyarakat TTU.

“Ketika ibu Kristina Muki itu dari sisi penerimaan publik dia lebih besar, ya bisa saja. Kalaupun dipaksakan hanya karena terjadi perebutan kekuasaan di dalam, ini juga bagian dari cara orang Nasdem untuk membagi kekuasaan. Tapi mudah-mudahan pilihan ini tidak merugikan masyarakat,” ungkap Ahmad Atang. (rnc09)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar

  1. Jual isu politik dinasti untuk jatuhkan lawan, isunya murahan sekali. Kalau mau mempengaruhi publik cari isu yang lebih baik dong pak.
    Ngomong dinasti dan demokrasi, coba lihat dari pusat, kenapa tidak sekalian gonggong ke pusat.
    Atau jangan-jangan takut terpental?
    Hehehe
    Salam kopi sore

  2. Menurut saya keliru bila dikatakan NasDem pilitik Dianasti. Sistem politik negara kita ini adalah Demoktasi, bukan Sistem Dinasti. Ketika salah satu leadership suatu daerah itu mendapatkan 2 periode artinya dia bekerja bukan sekedar mendapatkan jabatan. Tapi Civil society melihat dari leadershipnya, pertanyaannya : apakah visi dan misinya dalam 5 tahun kedepan sejak dia terpilih terwujud atau tidak? apakah akrap dengan masyarakat?, apakah dia memperhatikan masyarakat? Apa janji-janjinya terpenuhi? Terus apakah ada progres dalam 5 lima tahun dalam leadeshipnya? Memenuhi kriteria tersebut diatas Menurut sy inilah yg perlu dimiliki seorang leadeship. Sehingga adapun opini yang mengatakan NasDem politik Dinasti menurut saya itu tidak benar. Konstituensi itu cerdas bisa memilah mana yang baik dan mana yang tidak, bupati itu jabatan politik sehingga pilihan masyarakat tidak salah. Salam hormat …