Labuan Bajo, RNC – Alasan pemerintah NTT menaikkan tarif Taman National Komodo (TNK) tidak bisa sepenuhnya diterima. Pasalnya, dapat mematikan bisnis komunitas lainnya. Adalah Gabungan Pengusaha Wisata Bahari dan Tirta (Gahawisri) dan Dive Operators Community Komodo (DOCK) yang mengaku terancam dengan regulasi terbaru itu.
Kepada sejumlah media saat menggelar konferensi pers di Labuan Bajo, Jumat (15/7/2022), Gahawisri dan DOCK menegaskan, rencana kenaikan tarif TNK Labuan Bajo, Manggarai Barat menjadi Rp 3.750.000, sangat merugikan serta dapat membunuh bisnis pariwisata lokal. “Alasan untuk mengimplementasikan program konservasi dan sosial masa depan di dalam TNK, mungkin terlihat sebagai suatu pembenaran yang masuk akal. Tapi kami percaya, alasan kenaikan tarif ini tidak dapat menjamin konservasi yang tepat, dan yang dapat hidup berdampingan dengan lanskap sosial yang sehat/berkelanjutan dan ekonomi lokal,” ujar Ketua Gahawisri, Budi Widjaja.
Dikatakannya, pengelolaan dan konservasi taman nasional yang sangat baik, merupakan prioritas bagi para operator pariwisata. Demikian pula kelangsungan ekonomi dan kesejahteraan sosial dari bisnis dan masyarakat lokal, baik di dalam dan sekitar Labuan Bajo, atau di pulau – pulau TNK seperti Rinca, Komodo, Padar yang sangat bergantung pada pendapatan pariwisata domestik dan internasional.
“Kami berpandangan, kenaikan biaya yang dramatis seperti yang diusulkan, sangat merugikan banyak bisnis pariwisata lokal yang beroperasi di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo. Operator lokal hanya akan menyaksikan penurunan besar dalam penerimaan pelanggan. Sementara tidak mengalami keuntungan bisnis agunan apa pun yang dapat mengimbangi kerugian, atau jaminan apa pun untuk pengelolaan dan konservasi taman nasional yang lebih baik yang secara otomatis dapat diperoleh dari kenaikan biaya tersebut,” tuturnya.
Ia melanjutkan, sebagai asosiasi aktif dari operator wisata bahari yang berdedikasi, Gahawisri dan Dock berkomitmen untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut Taman Nasional Komodo. Di saat yang bersamaan juga mempromosikan pariwisata yang berkelanjutan, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Karena itu setiap anggota ingin memahami program konservasi apa yang telah diberlakukan otoritas taman nasional selama 25 tahun terakhir, dan dengan alasan apa kegiatan konservasi di masa depan akan membutuhkan peningkatan biaya taman yang dramatis.
Menurut Budi, praktik pariwisata yang bertanggung jawab, seperti tidak melepas jangkar di lokasi terumbu karang atau di perairan yang lebih dangkal dari 30 meter, tidak menangkap ikan di zona larangan tangkap, interaksi laut yang terkendali, dan lainnya merupakan aspek mendasar untuk pengelolaan Taman Nasional Komodo yang tepat. Namun, praktik-praktik tersebut seringkali dilanggar oknum – oknum yang tidak bermoral.
Beberapa anggota asosiasi kata dia, secara konsisten melaporkan peningkatan kerusakan yang signifikan pada berbagai lokasi penyelaman dan snorkelling di dalam taman nasional. Terbukti, dengan sendirinya kerusakan disebabkan penangkapan ikan ilegal dan praktik yang tidak ramah lingkungan, seperti penahan karang dan dampak manusia lainnya. Misalnya, sampah dan polusi yang disebabkan peristiwa alam (badai) atau kecelakaan (tenggelamnya kapal). Selama semester pertama 2022 anggota asosiasi telah menyaksikan dan melaporkan peningkatan kerusakan baru dan aktivitas ilegal. Namun mereka juga memperhatikan tidak adanya patroli dan kegiatan penegakan hukum dari Otoritas Taman National.
“Sebagai operator wisata bahari yang bertanggung jawab, kami percaya pengurangan jumlah wisatawan secara drastis yang disebabkan pengenaan biaya yang terlalu tinggi, bukanlah kondisi yang diperlukan atau cukup untuk menjamin konservasi taman yang tepat yang akan lebih baik dicapai melalui pengelolaan taman yang efektif dan penegakan praktik perikanan dan pariwisata yang bertanggung jawab secara konsisten di antara semua pemangku kepentingan. Kami percaya, kenaikan biaya yang luar biasa dan tidak beralasan itu, hanya akan berdampak negatif pada komunitas dan bisnis lokal dengan secara drastis mengurangi sumber pendapatan mereka dan karenanya kelangsungan hidup mereka,” pungkas Budi. (rnc23)