oleh

Terungkap di SS GMIT XXXIV, Media Sosial Kini jadi Tempat Perdagangan Manusia

Kupang, RNC – Perdagangan manusia (human trafficking) menjadi salah satu kasus yang trend di NTT. Berbagai pihak pun menyatakan perang terhadap kasus ini. Namun, kini modusnya berubah, para pelaku menggunakan media sosial untuk melancarkan aksinya.

Hal ini terungkap dalam lokakarya bertajuk “KDRT, KBJ, Perdagangan Orang dan Kesehatan” dalam rangka Sidang Sinode GMIT XXXIV yang berlangsung di GMIT Alfa Omega, Labat, Kupang, Rabu (16/10/2019) lalu.

Dalam pemaparan materinya, Ferderika Tadu Hungu, S.Th.,MA menjelaskan laki-laki dan perempuan berpotensi menjadi korban perdagangan. Namun perempuan lebih berpotensi. Secara sosial banyak perempuan yang tidak ikut dalam pengambilan keputusan dan akibatnya tidak terakomodir.

Dijelaskan, perdagangan orang berkaitan dengan tindakan perekrutan dengan menculik, penipuan, dan memberi bayaran. Akibatnya orang itu dieksploitasi. Korban adalah orang mengalami tindakan tersebut, dan pelaku adalah orang yang melakukan penculikan serta penindasan tersebut untuk mendapat keuntungan. Ancaman hukuman untuk pelaku yakni hukuman penjara 13-14 tahun sesuai UU No. 21 Tahun 2007.

Disebutkan, media sosial juga salah satu tempat perdagangan manusia melalui modus lowongan kerja, dan lain sebagainya. Bahayanya bersifat umum, yakni orang bisa telantar dan tersiksa dan disekap. Dijadikan babu dan tidak dibayar. Selain itu, tempat tinggal tidak jelas. Dan bila di luar negeri, tidak mendapat perlindungan negara dan kebanyakan tidak dapat pulang jika keluarga tidak mengirimkan uang.

Menurut Ferderika, banyak warga negara yang tidak diketahui keberadaannya. Realitanya Sinode GMIT Periode 2015-2019 membentuk Rumah Harapan Sinode UPP Bencana dan Perempuan untuk mengatasi masalah perdagangan tersebut. Juga melakukan pendampingan dengan korban dan rehabilitasi kesehatan bagi korban.

Selain itu, memberi pelayanan rohani bagi korban. Banyak usaha yang dilakukan yakni pendekatan dengan keluarga korban untuk memastikan kondisi korban baik-baik saja dan usaha lainnya. GMIT untuk memberi penghargaan kepada korban yang kembali meskipun tidak bernyawa dan kembali sebagai ciptaan Allah. “Program pelayanan berbasis jemaat yang dilakukan Rumah Harapan untuk melihat jemaatnya yang ada dan tidak ada. Berdasarkan kerja satu tahun, Rumah Harapan mengambil kesimpulan bahwa korban yang mengalami trauma berat dan sebagainya mesti diberi perlindungan,” katanya.

Selain itu, menurutnya, hukuman kepada pelaku terkadang tergolong sangat ringan dan tidak seimbang dengan yang dialami korban. Masih kurang kesadaran gereja terhadap jemaatnya. “Berita baiknya, kita punya gerakan pendeta, penatua, dan jemaat-jemaat petani agar jemaat kita tidak perlu bekerja ke luar dan masuk ke dalam dana desa. Dan semunya bekerja sama untuk mendapat pelatihan dan lainnya dari dana desa,” jelas Ferderika.

Ia pun menegaskan gereja harus menjadi champion. Menjadi terang di tengah dunia yang makin jahat. Mencegah kematian-kematian yang harusnya tidak terjadi. “Di sini kita harus diskusi bagaimana kita sebagai gereja organisasi dan pribadi berperan,” pungkas Ferderika. (rnc07)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 komentar