Sidang Praperadilan, Hakim Diminta Batalkan Status Tersangka Maksi Ngkeros

Ruteng, RNC – Tim hukum meminta hakim tunggal Pengadilan Negeri Ruteng memutuskan tidak sah penetapan tersangka Calon Bupati Manggarai periode 2024–2029, Ir. Maksi Ngkeros dalam tuduhan melakukan kampanye hitam di Rampasasa, pada 7 Oktober 2024.

Sehubungan dengan itu, hakim diminta memutuskan agar memerintahkan pihak Sentra Penegakan Hukum (Gakkumdu) Manggarai dan atau Polres Manggarai untuk menghentikan penyidikan terhadap Ir. Maksi Ngkeros.

Demikian permintaan tim kuasa hukum Maksi Ngkeros dalam permohonan praperadilan terhadap Polres Manggarai di Pengadilan Negeri Ruteng, Senin (11/11/2024).

Tim kuasa hukum terdiri dari Dr. Siprianus Edi Hardum, SH, MH, Melkhior Judiwan, S.H. M.H; Wilhelmus Ngaruk, SH, Robertus Antara, SH dan Roderik Imran, SH, MH. Tim kuasa hukum dalam permohonannya mengatakan, penetapan tersangka terhadap calon Bupati Manggarai itu tidak memenuhi syarat formil.

Penetapan tersangka untuk Maksi Ngkeros hanya berdasarkan video di akun facebook yang meng-upload sepotong pidato Maksi Ngkeros di Rampasasa. Tindakan Polres Manggarai dan atau Gakkumdu Manggarai jelas bertentangan dengan Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016.

Dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE ini, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 (“Putusan MK 20/2016”) menyatakan bahwa frasa “Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE (hal. 97 – 98).

Sedangkan Pasal 31 ayat (3) UU 19/2016 sendiri berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Apabila dilihat dari pertimbangan hukumnya, pada dasarnya tujuan Putusan MK 20/2016 di atas adalah untuk menegaskan bahwa setiap intersepsi dan atau merekam termasuk memvideo harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum (hal. 96). Bagaimana agar informasi dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi.

Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Selain itu, informasi dan/atau dokumen tersebut harus diperoleh dengan cara yang sah.

Selanjutnya, ketika alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah, maka alat bukti tersebut dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.

Bahwa dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan, sehingga jika merujuk pada pasal 184 KUHAP penetapan terhadap tersangka harus memenuhi syarat formil sebagaimana tersebut di atas. Bahwa berdasarkan uraian di atas, penetapan tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon tidak sah karena tidak berdasarkan hukum dan tidak memenuhi syarat formil.

Selain itu, menurut tim kuasa hukum penetapan klien mereka sebagai tersangka tidak cukup bukti. Dalam perkara pidana, termasuk dalam penetapan seseorang menjadi tersangka, berlaku asas hukum “in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores”. Artinya, dalam perkara pidana bukti-bukti itu harus lebih terang daripada cahaya.

Edi Hardum mengatakan, dalam penetapan klien mereka sebagai tersangka dalam tindak pidana “Pemilihan Umum/Pilkada”, kleinnya sama sekali tidak memiliki bukti-bukti, apalagi bukti-bukti yang lebih terang daripada cahaya, sebab fakta-fakta hukumnya adalah: tanpa ada bukti-bukti yang lebih terang daripada cahaya.

Edi mengatakan, berdasarkan prinsip hukum universal yang dikemukakan oleh Filsuf Thomas Aquinas, “Bonum ex integra causa, malum ex quocunque defectu” yang berarti suatu tindakan itu baik hanya jika setiap elemen dalam tindakan itu baik. Tindakan itu buruk jika satu dari elemen apa pun dari tindakan itu buruk. Maka tindakan penetapan tersangka atas klien mereka adalah melanggar hukum, melanggar HAM, karena salah satu elemen pentingnya yakni Laporan Polisi-nya tidak benar dan atau melanggar hukum.

Bahwa karena itu, tegas Melkhior Judiwan, penetapan tersangka klien mereka tidak sah menurut hukum, bertentangan dengan hukum, dan void ab initio dan batal mutlak (absolute nietigheid).

Selain itu, tegas Melkhior, laporan polisi yang dibuat pada tanggal 23 Oktober 2024, terkait dengan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana pemilihan yaitu Black Campaign yang terjadi pada tanggal 7 Oktober 2024, yang dilakukan pada saat klien mereka melakukan kampanye tatap muka di Rampasasa, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai.

Menurut tim kuasa hukum, dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 mewajibkan penetapan tersangka harus didasarkan atau didahului adanya “bukti permulaan” yakni minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP disertai dengan pemeriksaan terhadap calon tersangka. Ini menunjukkan bahwa sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka dalam suatu perkara pidana, harus ada bukti yang cukup mengindikasikan keterlibatan mereka dalam tindak pidana yang disangkakan. Dengan adanya minimal dua alat bukti, proses penetapan tersangka diharapkan lebih objektif dan tidak sewenang-wenang.

Prosedur untuk memperoleh “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, atau “bukti yang cukup” berupa minimum dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP tersebut, penyidik seharusnya berpedoman pada Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang menetapkan: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, maka prosedur penyidikan yang benar adalah harus melalui dua tahapan, yaitu pertama, mencari dan menemukan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah dan relevan dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 dan kedua, menemukan dan menetapkan tersangkanya.

Menurut Melkhior, penyidik dalam menetapkan Maksi sebagai tersangka tanpa didukung oleh bukti-bukti yang dari sisi kualitas dan/atau kuantitas alat bukti suatu tindakan Pidana Pemilihan yaitu Black Campaign tidak terpenuhi. Bahwa penyidik dalam menetapkan calon Bupati Manggarai Nomor 1 sebagai tersangka juga bertentangan dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014.

Bahwa berkaitan dengan kualitas atau relevansi bukti permulaan sebagai dasar penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan, tim kuasa hukum mengutip pakar pidana, Dr. Chairul Huda, SH.,MH mengatakan “…….dalam tataran penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan jika secara substansial hasil penyidikan menunjukan adanya korelasi antara bukti dan bukti permulaan yang ada dengan tindak pidana yang dipersangkakan atau keadaan dimana seseorang diduga keras melakukan tindak pidana”. (rnc23)

Ikuti berita terkini dan terlengkap di WhatsApp Channel RakyatNTT.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *