Kupang, RNC – Keluarga Banobe akhirnya angkat bicara terkait polemik kepemilikan tanah ulayat di Kisbaki, Kelurahan Manutapen dan di Nunbaun Delha (NBD), Kecamatan Alak, Kota Kupang, NTT. Obyek tanah yang jadi polemik itu terletak di sekitar kawasan hutan.
Kepada wartawan, Bildad Thonak, SH selaku kuasa hukum Keluarga Banobe mengatakan, kliennya bukan mafia tanah, sebagaimana disebutkan oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab di media sosial. Sebaliknya, Keluarga Banobe adalah pemilik sah atas tanah ulayat tersebut.
Menurut Bildad Thonak, secara turun temurun, keluarga Banobe menguasai obyek tanah yang kini jadi polemik. Obyek tanah itu semula dijadikan kawasan hutan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan). Namun, keluarga Banobe berjuang untuk mendapatkan kembali hak mereka atas tanah tersebut.
“Perjuangan keluarga Banobe cukup panjang. Selama puluhan tahun mereka berjuang untuk dapatkan kembali tanah itu,” ujar Bildad Thonak dalam jumpa pers, Sabtu (3/5/2025).
Bildad menyebutkan, lewat berbagai proses perjuangan yang cukup panjang, pada 23 Desember 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XIV Kupang mengeluarkan surat hasil telaah kawasan hutan di Manutapen.
“Berdasarkan hasil telaah, ada 20-an hektar tanah yang berada di luar titik koordinat kawasan hutan,” terang Bildad.
Setelah dikeluarkan dari titik koordinat sebagai hutan lindung, lanjut Bildad Thonak, keluarga Banobe memfasilitasi ribuan KK yang tinggal sudah sekian lama tinggal di atas obyek tanah tersebut untuk mendapatkan legalitas kepemilikan tanah.
“Nilai uang sirih pinangnya tidak seberapa. Pada intinya keluarga Banobe beritikad baik agar masyarakat mendapat kepastian hak atas tanah yang mereka tempati,” jelas Bildad.
“Tapi beberapa individu malah mengganggap keluarga Banobe sebagai mafia tanah. Ini yang sangat disayangkan. Mereka lupa perjuangan keluarga Banobe sehingga dengan digesernya titik koordinat, lokasi yang dulunya kawasan hutan berubah jadi kawasan pemukiman. Untuk oknum-oknum ini, kami minta setop berpolemik. Jika tidak, kami akan ambil langkah hukum,” ungkap Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) NTT itu.
Obet Djami, SH yang juga kuasa hukum keluarga Banobe, mengatakan klien mereka masih menggunakan pendekatan humanis menyikapi polemik yang terjadi.
“Yang diutamakan adalah kepentingan banyak orang. Keluarga Banobe ingin ada kepastian hukum bagi semua warga yang tinggal di atas obyek itu,” katanya.
Sementara ahli waris keluarga Banobe, Filmon Kai mengaku sangat terpukul dengan adanya tudingan bahwa keluarga Banobe adalah mafia tanah.
“Kami punya sejumlah dokumen yang membuktikan kami sebagai pemilik yang sah atas tanah ulayat itu. Dulu Departemen Kehutanan menjadikan lokasi itu sebagai kawasan hutan. Tapi dari Kehutanan sudah mengembalikan tanah ulayat itu setelah melakukan telaah,” terangnya.
“Kami dapat dua telaah, masing-masing seluas 16 hektar dan 5,6 hektar. Sisa 7 hektar masih masuk dalam TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) dan dikembalikan kepada keluarga,” sambung Filmon.
Senada dengan kuasa hukum, Filmon Kai mengaku mereka punya niat baik untuk memediasi warga di lokasi agar mendapat legalitas kepemilikan.
“Kami punya niat baik tapi kami dianggap mafia. Orang yang berkoar-koar di medsos itu sebenarnya adalah pelaku (mafia tanah, red). Mereka bahkan sudah melakukan penjualan tanah, sebelum ada Kementerian Kehutanan mengembalikan hak ulayat,” pungkas Filmon Kai. (rnc)