Pulang Tak Bernyawa, Potret Buram “Pahlawan Devisa” NTT

Kota Kupangdibaca 80 kali

oleh: Robert Kadang

Wajah buram potret pekerja migran asal NTT, kembali mencuat. Entah sampai kapan, masalah klasik tahunan ini punya solusi? Sehingga, para “pahlawan devisa” kita tidak sering dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia. Seperti dilansir RakyatNTT.com, belum lama ini Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT, Suratmi Hamida, menyebutkan, per April 2025, sudah 49 pekerja migran NTT dikembalikan dalam konsidi tak bernyawa. Korban terbanyak berasal dari Kabupaten Ende, yakni 11 orang, disusul Kabupaten Malaka sembilan orang, dan Kabupaten Flores Timur sebanyak delapan orang. Tragis dan Menyedihkan..!

Ironisnya, mayoritas pekerja migran yang meninggal itu, merupakan pekerja non-prosedural atau ilegal. Mereka nekat berangkat tanpa dokumen resmi. Terkait fenomena ini, pemerhati masalah ketenagakerjaan, Ir. Fransiscus Go, SH, angkat bicara. Dihubungi melalui telepon selulernya, Sabtu (3/5), pengusaha filantropi ini menegaskan, perlu aksi nyata! “Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TTPO, harus ditumpas hingga akar-akarnya,” tandas Frans Go, panggilannya.

Kasus meninggalnya 49 PMI asal NTT yang pulang tak bernyawa per April 2025, lanjut CEO GMT Institute itu, adalah bukti kegagalan sistem dalam melindungi warga Indonesia dari sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang. Frans Go lalu membeberkan sejumlah fakta yang tak boleh diabaikan.

Diantaranya: modus kejam dimana korban dijebak dengan iming-iming kerja legal, tapi nyatanya disiksa, dipaksa jadi budak scamming, atau mati mengenaskan di negeri orang. Selain itu, lemahnya lubang pengawasan. Mayoritas korban berangkat ilegal, dan kurangnya penindakan terhadap calo dan agen nakal. “Harapan kita pemerintah bergerak lebih cepat! Hukum pelaku hingga kesindikat internasionalnya. Bukan hanya “penyelidikan berjalan”. Gencarkan sosialisasi bahaya TPPO hingga ke desa-desa, khususnya daerah rawan seperti NTT, serta perketat kerja sama dengan negara tujuan guna pemantauan PMI real-time.

“Ini darurat kemanusiaan! Setiap korban adalah ayah, ibu, atau anak yang menjadi bukti kelalaian kita. Jangan ada lagi nyawa melayang karena pembiaran!” ujar Frans Go yang menginisiasi terbentuknya Komunitas “BAJAGA” atau “Baku Jaga”. Komunitas ini fokus pada kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur, dan berkantor pusat di Jakarta. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *