WAKTU di smartphone menunjukan tepat pukul 16.40 WITA. Sosok yang bakalan diwawancarai sore itu, Minggu (2/3/2025) sudah tiba lebih awal di Resto Kahang Jaya, tempat yang dijanjikan untuk bertemu.
Dia duduk sendirian sembari menikmati sebatang rokok. Sebagai seorang wakil bupati, lazimnya ada ajudan atau pengawal pribadi. Tapi pemandangan demikian tidak terlihat.
Sosok berperawakan tegap itu mengenakan celana pendek dipadu baju kaos berkerak. Fashion style-nya masih sama seperti kami bersua pada Oktober 2019. Juga di resto yang sama, di bilangan Liliba, Jln. Piet A. Tallo, Kota Kupang.
Kata orang, jabatan tinggi dapat merubah sifat, perilaku dan penampilan seseorang. Kata-kata ini sepertinya tidak berlaku bagi Thobias Uly, sosok yang saya temui hari itu.
Sebelum jadi orang nomor dua di Sabu Raijua, beliau adalah birokrat sukses kala masih aktif sebagai ASN di lingkup Pemprov NTT. Pernah jadi Kadis Pendidikan dan Kebudayaan, Kadis Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal, Kadis Peternakan serta Kadis Pertambangan dan Energi. Juga pernah jadi Penjabat Bupati Sabu Raijua ketika daerah itu menjadi daerah otonomi pada 2008 silam. Kendati demikian, kesederhanaannya tidak lekang oleh waktu, tidak pudar karena jabatan.
“Ama datang tepat waktu. Terima kasih Ama. Perjuangan kita tidak sia-sia!” Sapaan pembuka darinya sudah cukup membuat saya lega, setelah beberapa detik tersipu malu lantaran datang dengan busana yang lebih wow dari seorang wakil bupati. Juga malu karena terlambat 10 menit dari waktu yang dijanjikan.
Sembari menunggu rekan-rekan jurnalis yang juga mau wawancara, kami mengenang kembali perjuangan semasa Pilkada Sabu Raijua 2020. Bapa Tobi -demikian saya menyapanya- rupanya masih ingat dengan jelas saat saya ikut mendampinginya ke Raijua untuk kampanye.
Sesekali kami tertawa kecil mengenang hal-hal menegangkan dan lucu selama di pulau terpencil nan gersang itu. Ada cerita tentang ketakutan di tengah gelombang dahsyat, mandi air asin, dan cerita lainnya.
Sayangnya, cerita perjuangan yang berlanjut pada kemenangan di 9 Desember 2020, pupus di tengah jalan. 15 April 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi Paket IE RAI lantaran masalah kewarganegaraan ganda Orient Riwu Kore. Thobias Uly ketiban sial. Dia harus menerima garis takdir urung dilantik.
Pasca putusan MK, kami tak lagi bersua. Komunikasi cuma lewat WhatsApp. Kadang-kadang say hello via messenger Facebook. Intinya, komunikasi tetap jalan hingga beliau kembali ke pentas Pilkada Sabu Raijua 2024 mendampingi Krisman Riwu Kore, adik kandung Orient Riwu Kore.
Cerita seseorang maju Pilkada berkali-kali itu biasa. Tapi perjuangan Thobias Uly sebelum sampai ke tangga kesuksesan, punya alur cerita berbeda. Tiga kali bertarung. 2015, gagal lantik jadi bupati. 2020, nyaris lantik jadi wabup. 2024, lantik benaran jadi wabup. Cerita ‘Nyaris Lantik Jadi Wabup’ bahkan sampai menyita perhatian publik se-Tanah Air. Hakim MK pun kerja keras membuat penafsiran konstitusional terhadap norma tertentu dalam UU Kewarganegaraan.
“Saya kalau merenung proses itu, kadang merasa lucu. Saya kira hanya satu dua orang yang bisa bertahan seperti saya. Ada yang putus asa dan tidak bangkit lagi,” ujar Thobias Uly menjawab pertanyaan saya sekaligus mengawali diskusi panjang sore itu dengan beberapa awak media.
Sebagai anak kampung, Thobias Uly bersyukur sudah sejak kecil dilatih ‘bertarung’ di sawah oleh sang ayah. Dalam pertarungan itu, ada tugas dengan target yang harus dituntaskan. Selain pertarungan di sawah, Peiu Manu atau Taji Ayam yang merupakan budaya masyarakat Sarai, turut membentuknya jadi petarung.
“Tidak ada kata putus asa. Kalau kalah, kita ikat ayam baru dan masuk arena lagi. Itu filosofi yang saya pegang,” tandas pria kelahiran Sabu, 7 Juli 1960.
Bagi Thobias Uly, kemenangan tertunda di Pilkada 2020, sungguh membuatnya penasaran. Meski sempat kecewa, dia malah merindukan agar Pilkada edisi berikut, cepat digelar.
“Terkait sengketa di MK, saya tidak bersalah. Tapi saya pertimbangkan banyak hal agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Budaya Sabu juga terikat dengan hal semacam itu. Jadi apapun yang diputuskan MK, haruslah diterima. Mumpung masih kuat dan masih bisa bertarung lagi,” ungkapnya.
Kerinduan untuk secepatnya kembali ke pentas Pilkada, diakui Thobias Uly bukan karena ia serakah. Tapi ada sesuatu yang terus memotivasinya untuk bangkit. Sesuatu yang sekalipun cuma benda mati, tapi di dalamnya ada simbol profesionalisme, dedikasi, kesucian, ketulusan, dan pelayanan yang tulus kepada masyarakat. Sesuatu yang dimaksudkan yakni pakaian dinas upacara (PDU) yang sudah dia terima, tapi batal dipakai lantaran didiskualifikasi MK.
Thobias Uly tak menampik. Batal dilantik itu memang sakit. Tapi menatap seragam putih-putih yang terdiri dari topi, jas hingga celana yang tersimpan rapi di rumah, menghidupkan asa, memberinya energi positif untuk melupakan rasa sakit. Saban hari menatap seragam itu, dia tak lupa menyelipkan doa.
“Saya bilang seragam ini tidak bisa gantung begini saja di rumah. Seragam ini harus saya pakai. Ini pergumulan saya tiap hari,” ungkap suami dari Felmy R. Manafe itu dengan mata berkaca-kaca.
Kesempatan memang selalu ada bagi mereka yang tidak pernah berhenti berusaha. Doa yang dilafalkan tanpa putus kala menatap seragam pelantikan, akhirnya terjawab. Pada Pilkada 27 November 2024 lalu, Krisman Riwu Kore-Thobias Uly (Paket Kristo) meraup 21.153 suara, 46,56 persen dari total suara sah.
Aral tak lagi melintang. Gugatan sengketa Pilkada Sarai yang sempat didaftarkan, berguguran di sidang ‘Dismissal’ MK. Dengan seragam putih, Madowo -nama Sabu Thobias Uly- tampil gagah mendampingi Maratu (Krisman Riwu Kore) saat dilantik Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, 20 Februari 2025.
“Saya yakin Tuhan jawab pergumulan saya. Andaikan Pemda tidak ada anggaran untuk pengadaan seragam pelantikan, saya pakai yang lama saja. Ternyata disiapkan, jadi saya menyesuaikan. Semoga seragam putih ini selalu mengingatkan saya akan tugas pelayanan kepada masyarakat Sabu Raijua,” ungkap Thobias Uly seraya mengingatkan orang muda, khususnya anak muda Sabu Raijua untuk tidak menyerah dalam menggapai cita-cita. (Tommy Aquino)