Terkait Aksi Cabul Vikaris GMIT di Alor, LBH APIK NTT Keluarkan 10 Pernyataan Sikap

Headline, Hukrimdibaca 691 kali

Kupang, RNC – Lembaga Bantuan Hukum Assosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Nusa Tenggara Timur (LBH APIK NTT) mengeluarkan 10 pernyataan sikap terkait kasus pencabulan di Kabupaten Alor yang menyeret vikaris GMIT atas nama Yanto Snae.

Kasus ini saat ini sudah ditangani aparat kepolisian. Dalam pernyataan sikap yang diterima redaksi RakyatNTT.com, Kamis (8/9/2022), LBH APIK menyatakan kasus perkosaan, percabulan, ITE dan pornografi yang dilakukan oleh Vikaris GMIT atas nama Yanto Snae sebagai entri point bagi LBH APIK NTT untuk menyatakan sikap LBH APIK terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae dan para pelaku lainnya, serta harapan perubahan bagi lembaga/instansi untuk lebih memperhatikan mekanisme perlindungan bagi perempuan dan anak dari para perdator seksual yang bersembunyi di balik label rohaniawaan atau “penjaga moral”.

Adapun pernyataan sikap LBH APIK NTT sebagai berikut:

1. Mengutuk keras segala tindakan kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae.

2. Mengingat kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae terjadi pada saat pelaku sedang menjalani vikariat, maka lembaga bersangkutan memiliki kewajiban moril untuk melakukan tindakan pendisiplinan sesusai dengan ketentuan yang berlaku pada lembaga, tanpa mengesampingkan upaya penegakan hukum. Berharap lembaga tempat Yanto Snae bernaung menjadi garda terdepan untuk melaporkan kasus ini kepada aparat hukum, sebagaimana amanat UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

3. Meminta Aparat Kepolisian untuk segera menahan dan memproses secara hukum pelaku kekerasan seksual dengan tidak melakukan upaya restorative justice, sebagaimana diatur dalam pasal 23 pasal 19 UU TPKS yang berbunyi: “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang“.

4. Memberikan sanksi pidana bagi orang perorangan atau korporasi, baik itu Lembaga maupun Aparat Penegak Hukum (APH) itu sendiri yang berniat mengalihkan kasus kekerasan seksual ini ke arah ranah non litigasi (restorative justice), sebagaimana diatur dalam pasal 19 UU TPKS.

5. APH wajib menggunakan hukum acara yang diatur dalam UU TPKS, walaupun kasus perkosaan tidak diatur normanya dalam UU TPKS. Ini artinya APH perlu melihat syarat penetapan keterangan Saksi dan/atau Korban sebagai cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya, serta perluasan alat bukti sebagaimana di atur dalam pasal 23 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU TPKS

6. Semua pihak perlu mengawal kasus ini termasuk kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, agar hak-hak korban seperti hak didampingi oleh pendamping, hak restitusi, dan layanan pemulihan dengan melibatkan LPSK. Termasuk juga hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan hak perlindungan hukumnya

7. Mengimbau kepada wartawan dan/atau masyarakat yang turut mempublikasikan kasus kekerasan seksual termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae agar tidak menyampaikan identitas anak korban, karena tindakan tersebebut bisa diancam hukuman penjara maksimal 5 (lima) Tahun (pasal 97 Jo. Pasal 19 ayat (1) UU nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Adapun identitas yang tidak boleh disebarluaskan melalui media cetak maupun eletronik adalah: nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri anak (pasal 19 ayat (2) UU SPPA

8. Lembaga/ korporasi harus membuat kebijakan perlindungan perempuan dan anak dan menciptakan ruang aman dari kekerasan seksual, sehingga perempuan dan anak yang selama ini rentan sebagai korban kekerasan seksual bisa terselamatkan dari para predator seksual termasuk predator berjubah rohaniawan

9. Lembaga/korporasi perlu membuat pakta komitmen untuk zero tolerance terhadap kekerasan seksual, mengingat kekerasan seksual terus meningkat dan pelakunya merupakan orang dekat, tokoh panutan maupun kelompok dalam korporasi/lembaga tersebut.

10. Mengharapkan peran serta selurun masyarakat untuk terus bersuara dan melaporkan semua kasus kekerasan seksual yang dialami maupun dilihat, serta tidak boleh mendiamkan atau membiarkan kekerasan itu terjadi.

“Demikian pernyataan sikap LBH APIK NTT. Kami berharap keterlibatan semua pihak untuk mengawal semua kasus-kasus kekerasan seksual, bukan saja pada kasus yang viral, namun pada semua kasus. Harapan kami, ke depan NTT menjadi provinsi yang ramah perempuan dan anak,” tulis Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara, SH. (*rnc)

Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *