Komisi XIII DPR RI Konsen Tuntaskan Masalah TPPO di NTT

Headlinedibaca 94 kali

Kupang, RNC – Anggota DPR RI dari Komisi XIII, Andreas Hugo Parera dan Dr. Umbu Kabunang Rudi YH., S.H.,M.H., melakukan kunjungan kerja ke Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum Provinsi NTT, Kanwil Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi NTT, Kanwil Ditjen Pemasyarakatan (Ditjenpas) NTT, dan Kanwil Kementerian Hak Asasi Manusia NTT di Kupang, Senin (24/3/2025).

Dalam reses masa sidang II Tahun 2025, Andreas Hugo Parera dan Umbu Rudi Kabunang berdialog langsung dengan pimpinan empat Kanwil tersebut serta para pejabat struktural, fungsional dan kepala UPT Imigrasi dan Pemasyarakatan se-Kota Kupang.

Turut hadir pada kesempatan itu pengurus DPD I Golkar NTT Frans Sarong dan Laurens Leba Tukan selalu tenaga ahli dari Umbu Rudi Kabuang.

Salah satu persoalan didiskusikan pada kesempatan itu yakni mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang pada kenyataannya masih jadi masalah serius di NTT.

Menurut Dr Umbu Rudi Kabunang, masalah TPPO di NTT jadi perhatian serius Komisi XIII DPR RI. Sebab, NTT peringkat pertama terkait dengan TPPO.

“Sesuai hasil survei, peringkat pertama Kalimantan Barat. Tapi yang di Kalbar itu, sumbernya atau masyarakatnya dari NTT. Ini yang perlu dipecahkan bersama,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Umbu Rudi Kabunang menyebutkan, persoalan TPPO disebabkan beberapa faktor. Antara lain, kemiskinan, kebodohan, kurangnya lapangan kerja, bertambahnya jumlah masyarakat yang memasuki usia kerja.

“Ketika orang terdesak untuk dapat pekerjaan, maka segala cara bisa ditempuh. Sayangnya sekelompok orang yang bertujuan meraup keuntungan, memanfaatkan kesempatan ini dengan menabrak semua prosedur. Akhirnya masyarakat jadi korban,” jelas legislator asal Sumba itu.

Keberhasilan pembangunan NTT, lanjut Umbu Rudi, bukan sekadar pada aspek infrastruktur dan lainnya. Tapi bagiamana membangun manusia seutuhnya agar tidak ada lagi korban perdagangan orang.

“Sudah ada 120 peti mati sampai dengan bulan ini yang masuk ke NTT. Ini persoalan serius, jadi kita perlu sharing. Mohon masukan, kira-kira apa yang harus dibenahi,” ungkap Umbu Rudi Kabunang.

Sementara Andreas Hugo Parera yang juga Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI mengatakan, zero TPPO di NTT harus menjadi tekad bersama.

“Di abad ke-21 yang sudah modern, masih juga ada perdagangan orang. Ini kan perbudakan di zaman modern. Jadi kita harus tuntaskan bersama. Jadi penting sekali kami mendapat masukan, sehingga bisa melakukan apa yang seharusnya untuk mencegah persoalan TPPO,” terang politisi PDI Perjuangan itu.

Dilematis Penerbitan Paspor: Antara Penegakan Hukum dan Melanggar HAM

Kepala Kanwil Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi NTT, Arvin Gumilang pada kesempatan itu keterbatasan SDM di lingkup instansi yang dipimpinnya. Faktanya wilayah kerja dan pelayanan Imigrasi cukup luas. Apalagi di tempat wisata seperti di Labuan Bajo.

Arvin juga menyampaikan ada banyak pintu masuk khususnya di Atambua, Kabupaten Belu dimana ada Pos Tempat Pemeriksaan Imigrasi yang dibangun berdasarkan perjanjian antara RI dan RDTL sejak tahun 2003.

“Namun dalam pelaksanaanya, kita lebih banyak mentaati kesepakatan dengan membuat banyak pos. Tapi RDTL sendiri belum ada. Ke depan perlu kita juga mengusulkan kembali agar RDTL dapat memenuhi apa yang telah disepakati,” terangnya.

Terkait penerbitan paspor di NTT, Arvin Gumilang menyebutkan, tahun 2024 ada 26.920 yang mereka terbitkan. Sedangkan di tahun 2025 sampai dengan Minggu kemarin ada 3.405 penerbitan paspor.

“Kebijakan penerbitan bersifat nasional artinya pemohon bisa mohon penerbitan paspor di mana saja. Jadi kalau banyak korban TPPO di daerah lain tapi asalnya dari NTT, itu karena penerbitan paspor lebih banyak di luar,” jelas Arvin Gumilang.

Arvin menambahkan, pada tahun 2024 ada 141 permohonan penerbitan paspor yang ditolak dimana dasarnya adalah penegakan TPPO. Sementara pada 2025 sampai dengan saat ini ada 16 permohonan paspor yang ditolak.

Menurut Arvin Gumilang, menjadi suatu kondisi yang sangat dilematis karena dalam pelayanan permohonan paspor, di satu sisi mereka harus benar-benar menegakan hukum, namun sisi lain ada HAM.

“Antara penegakan hukum dan HAM, tidak bisa berjalan bersamaan pasti bertolak belakang. Petugas kami di lapangan ketika melayani permohonan paspor tentu melakukan profiling secara kasat mata. Mohon maaf kadang kita lihat orang itu sebenarnya tidak mampu, orang itu pasti mau kerja di luar negeri, dan lain-lain. Muncul subyektivitas yang terkesan diskriminatif. Kalau ini tidak diterima dengan baik, dianggap kita melanggar HAM. Tidak sedikit pula kami komplain dari pemohon paspor,” jelas Arvin Gumilang.

Menurut Arvin, persoalan TPPO pasti ada yang menggerakkan sebab tidak mungkin pekerja migran jalan sendiri. Yang pasti, Imigrasi tidak melakukan perekrutan pekerja migran.

“Perekrut pekerja migran legal harus dimintai pertanggungjawaban untuk mengurangi perekrutan ilegal,” katanya.

“Tapi karena kesulitan mencegah perekrutan ilegal, akhirnya langsung membebankan pada penerbitan paspor. Ini menjadi dilematis buat kami walaupun kami tetap mendukung program pemerintah untuk pencegahan TPPO. Terbukti ada penolakan penerbitan paspor,” ungkapnya.

Pembentukan Perda Data Presisi Kelurahan/Desa

Kakanwil Hukum NTT, Silvester Sili Laba kepada Andre Hugo Parera dan Umbu Rudi Kabunang menjelaskan bahwa sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, Kanwil Hukum memiliki beberapa peran strategis salah satunya terkait pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Silvester mengaku ada beberapa kendala dalam penyusunan Ranperda dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah yakni ketersediaan data sekunder yang belum tertata dan belum up to data sehingga berakibat tidak ada data akurat dan tersedia secara real time dan membutuhkan waktu lama untuk mengolah data yang ada.

“Di sini kami membutuhkan perlu adanya data presisi di desa/kelurahan se-NTT yang saat ini sedang diupayakan advokasi bersama seluruh Pemda di NTT untuk membentuk Perda tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Berbasis elektronik Berdasarkan Data Presisi Desa/Kelurahan,” kata Silvester Sili Laban.

Dia yakin, dengan adanya pembentukan Perda data presisi dapat meringkas berbagai permasalahan sampai ke kelurahan/desa, termasuk soal TPPO.

“Kebijakan itu berasal dari pusat namun implementasinya berawal dari lapisan masyarakat, karena itu diperlukan penanganan permasalahan berupa data yang diambil dari lapisan masyarakat agar dapat segera ditangani dengan tepat dan akurat”, pungkasnya. (rnc)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *