SANG fajar sudah menampakkan wajahnya beberapa jam yang lalu. Warga pun sudah sibuk dengan aktivitas mereka. Hari ini, masih tak berbeda jauh dari kemarin. Para abdi negara tetap berangkat ke kantor pagi hari. Para penjual sayur pun masih berkeliling menjajakan jualannya dari rumah ke rumah. Anak-anak sekolah masih tetap belajar, meski pandemi covid-19 tak ada tanda-tanda akan berlalu.
Hawa dingin masih menusuk tulang, meski waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 Wita. Hawa dingin itu terasa di Kota SoE, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan beberapa wilayah di pinggiran kota. Tak jauh dari ibukota kabupaten, pada halaman sebuah sekolah, terlihat siswa-siswi berdiri dengan teratur. Mereka tampak serius mendengarkan arahan dari kepala sekolah.
Tak lama kemudian, mereka lalu keluar meninggalkan halaman sekolah itu dengan selembar kertas HVS di tangan. Pada sebuah papan, tertulis nama sekolah tersebut. ‘SMA Kristen Kesetnana’. Begitulah tulisan yang sempat saya baca.
Pagar tembok setinggi orang dewa mengelilingi sekolah itu. Daun-daun hijau pepohonan yang ditanam di lingkungan sekolah tampak sangat asri. Dari depan pintu gerbang, saya melihat dua tempat cuci tangan diletakkan beberapa meter dari pintu masuk itu.
Saya menengok jam di handphone yang menunjukkan pukul 08.57 Wita. Siswa-siswi tampak berjalan meninggalkan tempat mereka menuntut ilmu itu. Saya bergegas menghampiri beberapa siswa yang baru keluar. Saya pun memperkenalkan nama lalu mengajak mereka untuk berbagi cerita. Mereka pun tak menolak tawaran itu. Kami menuju sebuah papan yang ditaruh di bawah pohon sebagai tempat duduk.
Tak banyak yang kami bicarakan. Kami bercerita soal pengalaman mereka belajar selama masa pandemi covid-19. Mereka bertujuh adalah siswa kelas XII dari jurusan yang berbeda. Saat pandemi merebak ke tanah air, mereka pun mulai belajar dari rumah (BDR) sejak Maret 2020 lalu. Sudah setahun lebih mereka harus bertahan dengan kondisi ini.
Mereka mengaku, tak semua materi yang diberikan oleh guru bisa mereka pahami. Mereka harus berusaha lebih untuk bisa memahami materi itu. “Saya lebih memilih belajar tatap muka karena bisa langsung berinteraksi dengan guru. Kalau ada materi yang kita tidak paham, kita bisa langsung tanya guru dan bisa dapat penjelasan,” kata Erni Fallo siswa Kelas XII MIA.
Apa yang dikatakan Erni dibenarkan oleh teman-temannya. Untuk mengatasi kondisi itu, mereka sering memanfaatkan google untuk mencari penjelasan terkait materi yang tidak dipahami. Namun, mereka juga mengakui, adakalanya mereka terpancing untuk membuka media sosial ketika memegang handphone.
Selama BDR, setiap minggu mereka datang ke sekolah untuk mengumpulkan tugas yang diberikan minggu sebelumnya, sekaligus mengambil tugas baru. Tugas itu, nantinya dikerjakan lalu dikumpulkan pada minggu berikutnya. “Guru sudah kasih modul yang isinya materi untuk dipelajari sekaligus ada tugas yang harus dikerjakan,” kata Ferlin Dida, siswa lainnya.
Terkadang tugas yang sudah dikerjakan dikirim lewat WhatsApp, namun lebih banyak tugas diantar langsung ke Sekolah. Kondisi itu tak mematahkan semangat belajar mereka. Meski ada yang tak punya HP Android, namun dengan berbagai cara mereka berusaha untuk bisa belajar dengan baik, terutama mencari materi yang tak mereka pahami.
Kondisi belajar dari rumah terkadang salah dipahami oleh orang tua. Beberapa orang mengaku, orang tua beranggapan itu adalah libur. Aris Bajide mengatakan, ia harus bersabar menjelaskan kondisi itu pada orang tuanya. Meski demikian, Ia tetap menyempatkan diri membantu orang tuanya bekerja. Bagaimanapun juga, yang dikerjakan oleh orang tuanya adalah usaha memnuhi kebutuhan hidup mereka.
“Orang tua pikir kita libur. Tapi saya tetap bantu orang tua bekerja di sawah, mulai dari bajak, tanam hingga panen dan rontok padi,” kata Aris.
Pengalaman yang sama dialami Irma Benu, siswa kelas XII lainnya. Selama BDR, waktu luang yang ada, Ia manfaatkan untuk menanam sayur. Menyiram sayuran adalah pekerjaan rutinnya setiap pagi dan sore. Terkadang dirinya pun turut membantu orang tuanya menyiapkan sayuran yang dipesan pelanggan.
Pekerjaan itu ia lakukan dengan senang hati. Ia menyadari benar, dari hasil penjualan sayur mayur itu bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya.
“Satu bedeng sayur itu bisa dapat sampai Rp 250 ribu. Hasil penjualan bisa saya pakai untuk bayar uang Sekolah juga bisa isi pulsa untuk belajar. Saya senang bisa bantu orang tua,” kata Irma.
Apa yang dikerjakan Irma dan Aris, rupanya tidak dilakukan oleh beberapa orang lainnya. Mereka mengaku hanya membantu mengerjakan pekerjaan rumah lainnya seperti memasak juga mencuci pakaian. Keseharian itu menghadirkan rasa jenuh. Tak jarang, waktu luang digunakan untuk berkabar dengan teman-teman lewat media sosial. Aktivitas itu dilakukan untuk mengobati rasa rindu mereka karena tidak bisa bersua dan berbagi cerita.
Ternyata selain mendapatkan modul dari guru, sekolah pun mengizinkan mereka untuk meminjam buku di perpustakaan. Dengan adanya buku dari Perpustakaan, bisa menambah bahan referensi siswa dalam belajar. Hal itu diakui sangat membantu dalam proses belajar. “Kita bersyukur diizinkan meminjam buku dari Sekolah, jadi teman-teman yang tidak punya hp android tetap punya referensi untuk belajar,” kata Yori Leobisa.
Kendati demikian, ada beberapa pelajaran yang sulit mereka pahami dan membutuhkan penjelasan dari guru. Pelajaran itu misalnya matematika, fisiki dan juga Kimia. Ada beberapa bagian yang mereka akui sulit untuk dipelajari.
Mereka menyadari pentingnya belajar saat ini. Karena itu, mereka berusaha lebih keras untuk bisa belajar maksimal. “Harus tetap belajar, karena yang kita pelajari sekarang akan bermanfaat saat kita ingin melanjutkan kuliah. Ini untuk masa depan kita,” ujar Aris.
Kami tak bercerita lama sebab mereka pun tidak diizinkan berlama-lama di sekolah. Kami mengakhiri pertemuan itu dengan gurauan. Sekitar pukul 09.50 Wita, kami berpisah. Mereka lalu menyusuri jalan aspal itu kembali ke rumah masing-masing.
Saya memasuki halaman sekolah, bertemu beberapa guru. Lalu saya diantar menemui kepala sekolah. Tak banyak basa-basi karena saya melihat beliau sedang sibuk membaca beberapa berkas. Ia lalu melepas kacamata yang dikenakan dan menjelaskan perihal pelaksanaan pembelajaran di sekolah yang dipimpinnya.
Namanya Eodia Oematan, S.Pd.SD. Wanita paruh baya yang cekatan melaksanakan semua tugas sekolah itu. Ia mengakui, pandemi covid-19 menjadi tantangan bagi Sekolah. Sekolah sempat kewalahan diawal pemberlakuan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Ada beberapa pilihan metode untuk diterapkan dalam BDR.
Sekolah kemudian membuat surat kepada orang tua untuk meminta persetujuan orang tua terkait dengan metode apa yang akan diterapkan untuk belajar.
“Untuk tahun pelajaran baru ini kita belum melakukan kegiatan belajar, karena minggu kita bagi surat pernyataan kepada orang tua siswa untuk bisa memilih metode apa yang akan dipakai,” kata Oematan.
Setelah semua surat pernyataan dari total 288 siswa itu terkumpul, pihak sekolah akan mendata metode mana yang paling banyak dipilih oleh orang tua. Dari hasil tersebut, sekolah akan menentukan metode apa yang harus diterapkan.
Diakuinya, selama ini pihak sekolah tak bisa menerapkan sistem belajar online, lantaran sebagian siswa tidak memiliki fasilitas pendukung untuk belajar. Karena itu, metode yang digunakan selama ini adalah belajar offline, yang mana siswa mengambil modul dan tugas di sekolah.
Siswa juga diizinkan meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Pembagian buku itupun diatur jadwalnya, sehingga semua siswa bisa mendapatkan buku teks untuk belajar. “Yang kita terapkan selama ini, siswa datang dan mengambil modul serta tugas di sekolah. Pada minggu berikutnya, siswa harus datang mengantar tugas, sekaligus guru memberikan penjelasan kurang lebih satu jam terkait materi yang belum dipahami siswa,” ujarnya.
Selaku pemimpin, Oematan tak memungkiri adanya penurunan mutu belajar. Jam tatap muka yang sudah sangat terbatas, berakibat pada sebagian besar materi tidak bisa dijelaskan secara terperinci oleh guru. Sekolah dituntut untuk terus berinovasi, mencari metode belajar yang sesuai, agar pembelajaran tetap maksimal sekaligus tetap menjaga agar siswa dan guru tidak terpapar virus Corona.
Dalam surat pernyataan kesediaan orang tua yang sementara dibagikan, ada beberapa metode belajar yang ditawarkan. Oematan berharap, tidak terjadi lonjakan kasus covid-19, sehingga kegiatan belajar di sekolah bisa diizinkan untuk tatap muka, meski harus terbatas.
Pihak sekolah sendiri, telah menyiapkan semua fasilitas yang dibutuhkan, apabila mayoritas orang tua memilih metode belajar tatap muka terbatas. Fasilitas cuci tangan, cairan desinfektan telah disiapkan untuk menunjang pembelajaran tatap muka terbatas itu. Selain itu, proses belajar pun akan dibagi dalam shift, sehingga semua ruangan yang ada bisa digunakan dengan membatasi jumlah siswa dalam setiap ruangan.
“Kita mengikuti anjuran dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi untuk membatasi jumlah siswa dalam satu ruangan maksimal 18 orang apabila ingin melakukan pembelajaran tatap muka terbatas. Kita juga akan mensterilkan ruangan dengan cairang desinfektan. Jadi setiap hari itu, ruangan disemprotkan cairan desinfektan,” jelasnya.
Pihak sekolah sendiri menawarkan tiga metode belajar untuk tahun ini, yakni belajar tatap muka terbatas dengan pemberlakuan shift, belajar secara online dan juga offline. Untuk metode kedua, orang tua diharapkan menyiapkan fasilitas pendukung berupa hp android serta menyediakan pulsa data bagi anak. Dan yang terakhir adalah metode belajar dari rumah seperti yang diterapkan tahun pelajaran sebelumnya. Diharapkan dalam mingu depan sudah bisa menjalankan proses belajar dengan metode yang dipilih oleh orang tua. (rnc21)