Mbay, RNC – Ratusan warga yang terdiri dari tiga anak kampung yakni Kampung Karo, Mogo dan Wolo Senga di Desa Bidoa, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Senin (11/07/2022) memasang plang di perbatasan ulayat milik ketiga anak kampung itu.
Pemasangan plang oleh tiga anak kampung yang bertuliskan “Tanah ini Di Bawah Penguasaan Ulayat Mogo, Karo dan Wolo Senga, tidak boleh memanfaatkan atau ada kegiatan apapun di area tanah ini tanpa izin pemegang ulayat” berlokasi di Wolo Ute dalam batas wilayah administrasi Desa Bidoa.
Kepala Suku Tiga Anak Kampung, Pius Mare saat ditemui RakyatNTT.com, Senin (11/07) siang di lokasi menjelaskan Kampung Karo, Mogo dan Wolo Senga itu sendiri memiliki beberapa suku.
“Kalau Mogo itu suku Nakanunga, sedangkan Karo terdiri dari Suku Wio, Naka Tie dan Kire Eba. Alasan kenapa hari ini semua warga dari tiga anak kampung memasang plang, disebabkan tanah tersebut mau dijual oleh pihak-pihak tertentu yang ingin bertransaksi kepada pihak lain, yang sebenarnya bukan hak mereka. Yang jelas itu masih hak Ulayat Mogo, Karo dan Wolo Senga,” kata Pius.
Ketika akan melakukan transaksi, kata Pius, pihak-pihak tersebut mengklaim bahwa tanah tersebut adalah hak milik mereka. Menurutnya, di Ndora pada umumnya tidak ada satu orang pun yang memiliki tanah yang lebih dari 5 hektar sampai 10 hektar. Apalagi tanah milik pribadi.
Pius mengakui bahwa sejak masa nenek moyang ketiga anak kampung yakni Mogo, Karo dan Wolo Senga diwariskan sebidang tanah untuk dimanfaatkan dan dijaga untuk kelangsungan hidup dengan amanah bahwa tanah yang diwariskan tidak diperjualbelikan. Yang diperjualbelikan itu bagi masyarakat yang sudah memiliki sertifikat tanah atau legalitas hukum yang jelas. Kalau tanah yang belum diatur atau masih hal milik ulayat tidak ada satu pun yang boleh menjualnya.
Untuk luas lahan yang direncanakan dipindahtangankan oleh pihak lain, Pius menyebutkan kurang lebih seluas 12 hektar. “Setelah kami memasang plang, jika masih ada pihak-pihak yang masih melakukan aktivitas atau mau dipindahtangankan, maka kami siap akan menempuh jalur hukum. Dan kami melarang keras jika ada pihak lain yang berani dan ingin melakukan transaksi jual beli di atas tanah yang bukan Tanah miliknya. Dengan tegas kami melarang keras,” kata Pius.
Sementara itu, Sekretaris Desa Bidoa, Oswaldus Taka saat dikonfirmasi media ini membenarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nagekeo bersama notaris sempat melakukan pengukuran di lokasi yang masih milik ulayat Mogo, Karo dan Wolo Senga.
“Saat mau melakukan pengukuran di lokasi, sempat ada penghadangan oleh warga dua anak kampung untuk menghentikan aktivitas atau kegiatan pengukuran. Setelah aktivitas dihentikan pihak pemerintah Desa Bidoa melayangkan surat ke BPN Nagekeo,” kata Oswaldus.
Perwakilan Kampung Mogo, Karo dan Wolo Senga, Arnoldus Yansen juga menyatakan pihak yang ingin menjual tanah sepertinya enggan berdialog dengan masyarakat tiga anak kampung. Pihak-pihak tersebut ingin menguasai tanah ulayat tersebut. Padahal ketiga anak kampung tersebut ingin penyelesaikan persoalan lahan ini secara elegan dan terhormat.
Terhadap tanah seluas kurang lebih 12 hektar itu, Yansen menegaskan anak Kampung Mogo, Karo dan Wolo Senga sama sekali tidak setuju untuk dijual. “Oleh sebab itu, kami akan tetap berdiri dan bertahan di atas tanah ulayat kami sendiri. Secara tiba-tiba mereka mau melakukan transaksi dan pengukuran di lokasi yang sebenarnya bukan tanah atau hak ulayat mereka,” kata Yansen.
Yansen mengatakan pihaknya telah membuat laporan sehubungan dengan persoalan tanah ulayat mereka kepada BPN, Bupati Nagekeo Kapolres Nagekeo dan Camat Nangaroro. “Kami juga sudah siapkan tim penasehat hukum,” kata Yansen. (rnc15)
Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com