Maumere, RNC – Total Fertility Rate (TFR) atau angka kelahiran di suatu daerah seharusnya bisa terkontrol. Namun masih ada sejumlah daerah yang terbilang gagal menekan angka kelahiran.
Salah satu contohnya terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan data hasil SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) tahun 2017 yang dilakukan oleh BPS, jumlah penduduk Provinsi NTT mengalami peningkatan dari 4.683.827 (Supas 2010) menjadi 5.112.760 (Supas 2015). Angka kelahiran anak terus meningkat dari tahun ke tahun.
Angka TFR di provinsi ini bisa dikatakan masih begitu tinggi yakni 3,4 ditambah dengan rendahnya angka CPR (contrasepsi prevalance rate) atau total pemakaian kontrasepsi baru mencapai 38,3 persen, serta angka kasus stunting yang masih tinggi sekitar 40,3 persen.
Diungkapkan oleh Marianus Mau Kuru selaku Kepala BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) Provinsi NTT. Ada sederet faktor non-teknis yang memberikan kontribusi tingginya angka kelahiran di daerah ini. “Angka 3,4 memang masih tinggi ya, artinya satu perempuan di NTT masih memiliki anak berjumlah antara tiga sampai empat orang anak. Ada beberapa faktor penyebab, mulai dari pola pikir hingga kultur keyakinan yang ada di masyarakat,” ungkap Marianus, saat ditemui Okezone, Kamis (26/9/2019) di RSUD TC Hillers, Maumere, Sikka.
Dijelaskan Marianus, yang dimaksud dengan pola pikir atau mindset di kalangan masyarakat NTT soal anak. Marianus tidak menutup mata, di NTT masih begitu banyak pasangan suami-istri yang punya pandangan dan keyakinan bahwa ‘banyak anak banyak rezeki’.
“Keyakinan lama akan banyak anak banyak rezeki, tapi kami di sini terus berupaya mengubah mindset ini, sekarang sudah waktunya berubah. Saya kerjasama dengan para dokter, supaya bantu kasih penjelasan ke masyarakat. Misalnya perempuan punya hormon XX pria hormon XY xy, kalo x pria dominan keturunan perempuan pasti anaknya nanti perempuan, kalau Y dominan jadi anak laki-laki. Mau anak laki-laki atau anak perempuan itu seimbang, ini mindset yang harus disampaikan ke masyarakat,” tambahnya.
Sementara di sisi lain, ada juga soal kultur budaya yang sudah melekat di kalangan masyarakat NTT, yakni perihal mengutamakan untuk bisa mendapatkan anak perempuan. Dengan kata lain, jika belum mendapatkan anak perempuan maka biasanya kebanyakan pasangan suami-istri di NTT akan mencoba terus hingga bisa mendapatkan anak berjenis kelamin perempuan. Meskipun faktanya, anak yang sudah dimiliki jumlahnya sudah cukup atau bahkan lebih dari cukup. (dno/okz/rnc)