Jakarta, RNC – Sumpah Pemuda diperingati setiap 28 Oktober, mengacu pada Kongres Pemuda II pada 1928. Namun sebenarnya, istilah ‘Sumpah Pemuda’ tidak ada pada 28 Oktober 1928.
Lalu peristiwa apa yang kita peringati tiap 28 Oktober selama ini? Kapan peristiwa itu disebut sebagai Sumpah Pemuda? Sebutan Sumpah Pemuda untuk 28 Oktober 1928 baru muncul pada tiga dekade setelahnya.
Topik ini dijelaskan oleh ilmuwan Keith Foulcher dalam ‘Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of A Symbol of Indonesian Nationhood’ dimuat di Asian Studies Review.
“Catatan sejarah menunjukkan bahwa Sumpah Pemuda sebagaimana yang kita ketahui hari ini lebih sebagai konstruksi dari generasi-generasi dan ideolog-ideolog yang muncul setelahnya,” tulis Foulcher, sekarang menjadi Honorary Associate dari Departemen Studi Indonesia di Universitas Sydney, Australia.
Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 menghasilkan keputusan, saat itu namanya bukan ‘Sumpah Pemuda’, tapi ‘Putusan Kongres’. Begini bunyi petikan utamanya:
POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA
Pertama: KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH-DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.
Kedua: KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.
Ketiga: KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.
Kongres mengamanatkan, keputusan itu wajib dipakai di semua perkumpulan kebangsaan Indonesia untuk memperkuat persatuan dan kesatuan. Selanjutnya, tiga poin putusan dari Kongres itu dibawa ke pelbagai forum dan mengalami modifikasi, meski esensinya sama.
Saat pembentukan Indonesia Moeda tahun 1930, putusan itu disebut sebagai ‘Tiga Semboyan’. Isinya lebih ringkas:
Tiga Semboyan
Berbangsa satu = Bangsa Indonesia
Berbahasa satu = Bahasa Indonesia
Bertanah Air satu ialah Tanah Air Indonesia
Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 juga membawa putusan Kongres Pemuda II tahun 1928 itu. Saat Kongres Bahasa Indonesia itu, putusan Kongres disebut sebagai ‘Sumpah Kita’:
Sumpah Kita
Kita bertoempah tanah satoe, jaitoe bangsa Indonesia.
Kita berbangsa satoe, jaitoe bangsa Indonesia.
Kita berbahasa satoe, jaitoe bahasa Indonesia.
Pada Kongres Pemuda 1949, alias era pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia, putusan Kongres Pemuda II itu dibawa lagi, namun disebut sebagai ‘Sembojan Perdjuangan’:
Sembojan Perdjuangan
Satu Bangsa-Bangsa Indonesia
Satu bahasa-Bahasa Indonesia
Satu Tanah Air-Tanah Air Indonesia
Satu Negara-Negara Indonesia
Pada 1950, berarti sudah ada beragam bentuk ‘sumpah’ yang terilhami putusan Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928. Namun pada masa Presiden Sukarno saat itu, poin ketiga dipertegas. Aslinya, Bahasa Indonesia ditempatkan sebagai bahasa yang dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan. Namun pada era 1950, Bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa, bukan sekadar dijunjung tinggi.
Pada 1955, Bung Karno mengunjungi Solo, Jawa Tengah, selama dua hari. Dia menyebut tiga poin yang terilhami dari putusan Kongres Pemuda II 1928 itu sebagai ‘Sumpah Pemuda’.
“Sumpah Pemuda, jang berisikan djandji berbahasa satu, bertanah air satu, dan berbangsa satu!” kata Bung Karno.
“Maka sejak pertengahan 1950-an, nampaknya mulai muncul istilah “kelahiran Sumpah Pemuda”, belum sebagai istilah resmi namun sebagai istilah untuk menyebut peristiwa sejarah yang telah direkonfigurasi menjadi momen yang mendasari kebangsaan dan identitas nasional,” tulis Foulcher dikutip dari detikcom.
Setahun kemudian saat momen peringatan 28 Oktober tahun itu, Bung Karno berbicara soal ‘penyimpangan dari Sumpah 1928’. Dia menyampaikan kalimat itu untuk menyindir para separatis pemberontak yang marak saat itu, mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada 1957, Indonesia mengalami krisis. Sukarno mengganti demokrasi parlementer dengan demokrasi terpimpin. Pemberontakan di berbagai daerah pecah, di Sumatera dan Indonesia timur. Indonesia dalam kondisi darurat militer.
Pada kondisi seperti itulah negara memerlukan ide pengikat. Narasi istilah ‘Sumpah Pemuda’ dimunculkan, kali ini dengan besar-besaran. 28 Oktober 1957 dirayakan dalam skala besar untuk pertama kalinya. Sekolah-sekolah di Jakarta menggelar upacara bendera dan mengucapkan kembali Sumpah Pemuda. Malam harinya, para pemuda menggelar prosesi. Setahun sesudahnya, Sumpah Pemuda dirayakan lebih meriah lagi.
Sukarno menggunakan momen ini untuk menyerang simpatisan pemberontak daerah. Sukarno berpidato pada 28 Oktober 1958.
“Hanya penyeleweng-penyeleweng dan pengkhianat-pengkhianat bangsa yang tidak hadir dan tidak bisa hadir memperingati Sumpah Pemuda ini. Semua kita yang hadir ini, bahkan seluruh lapisan rakyat, merasa bergembira dengan peringatan hari Sumpah Pemuda yang ke-30 ini,” kata Sukarno saat itu.
Pada 1959, Bung Karno menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur. Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober menjadi salah satu dari enam hari bersejarah nasional yang bukan hari libur.
Sumpah Pemuda = Mitos Peneguh
Sejarawan JJ Rizal menyatakan istilah Sumpah Pemuda memang baru muncul belakangan pada era 1950-an. Aslinya, tiga poin yang selama ini disebut sebagai Sumpah Pemuda itu adalah Putusan Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928.
“Istilah Sumpah Pemuda muncul melalui proses penciptaan simbol keindonesiaan, sudah menjadi produk politik,” kata alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) ini, kepada detikcom, Rabu (28/10/2020).
Istilah Sumpah Pemuda dibawa sampai zaman ini. Dia menilai sejarah memang punya dua kepentingan, untuk kepentingan politik dan untuk kepentingan akademis. Sejarah untuk kepentingan politik akan bergerak sesuai tuntutan-tuntutan politik pada setiap masa.
“Sumpah Pemuda hadir tidak lagi sebagai sejarah, tapi sebagai mitos peneguh,” kata Rizal.
Pendiri Komunitas Bambu ini menilai mitos peneguh itu masih sangat relevan di era kini. Dia melihat pemuda zaman sekarang harus meneladani pemuda era 1928 yang punya basis ideologi kuat.
BACA JUGA: Pemuda adalah Penggerak Perubahan, Ini yang Mesti Dilakukan
“Krisis pemuda kita saat ini adalah de-politisasi dan de-ideologi. Tidak ada lagi pemuda yang memiliki perspektif wawasan ideologis. Ketika tidak ada perspektif ideologis maka tidak ada nilai yang mereka perjuangkan. Lahirlah pemuda-pemuda munafik dan hipokrit,” kata Rizal.
Namun demikian, mitos peneguh persatuan berupa Sumpah Pemuda itu harus terus dievaluasi. Tujuan mitos peneguh itu untuk memupuk persatuan dan kesatuan. “Persatuan itu bukan harga mati, tapi harga hidup, kalau hidup tidak sejahtera dan tidak adil apakah mau ngomong persatuan,” kata Rizal.
(*/dtc/rnc)
Komentar