oleh

Ketika Belum Semua Bangkit

ads
ads

Oleh Feliks Tans
Dosen FKIP/Program Pascasarjana Undana

HARI Raya Pesta Paskah, kita tahu, telah berakhir. Dalam perayaan itu, kita, umat beriman, termasuk saya, percaya Yesus Kristus, Sang Juru Selamat Dunia, telah bangkit dari alam maut, dunia kematian, setelah serangkaian penderitaan yang tiada tara yang ditanggung-Nya demi penyelamatan kita, semua umat manusia. Semua bangsa. Dari zaman ke zaman.

iklan paskah 3 e1680955253601
Advertisement
ads
ads

Itu Paskah pertama. Sekitar 2023 tahun yang lalu. Setelah itu, sejarah menunjukkan bahwa Paskah telah mengubah dunia ini: hukum kasih meraja, walaupun, seperti yang kita saksikan di Ukraina yang digembur Rusia secara brutal, kasih itu juga memudar; perbudakan dihapus, walaupun perhambaan manusia dalam bentuk human trafficking tak kunjung berakhir; muncul manusia suci yang dengan taat azas menjalankan hukum kasih dari Sang Juru Selamat itu sendiri seperti, yang masih segar dalam ingatan kita, Santu Yohanes Paulus II dan Ibu Theresa dari Kalkuta, India, walaupun, tentu saja, ada juga orang dalam sejarah dunia atau bahkan, mungkin, di sekeliling kita yang mengabaikan hukum kasih itu dan lebih suka menggunakan hukum rimba serta hukum lainnya yang bertabrakan langsung dengan perintah kasih itu.

Terlepas dari berbagai fakta sejarah yang tidak selamanya tunduk pada hukum kasih dari Sang Juru Selamat itu, seperti yang disampaikan di atas, Paskah, kita paham bukan hanya soal kehidupan setelah hidup di dunia yang mortal ini, tetapi juga tentang kehidupan yang fana itu sendiri. Artinya, penting bagi semua untuk mengarahkan pandangannya pada kehidupan surgawi ketika sedang berziarah di dunia ini supaya kelak dapat hidup berbahagia di surga seperti yang dilakukan oleh Yohanes Paulus II dan Ibu Theresa serta berbagai tokoh agung dunia lainnya setelah Paskah I itu.

Tokoh eksemplaris tersebut menunjukkan bahwa kehidupan di dunia yang fana ini harus dilihat sebagai sebuah perubahan, migrasi, perpindahan individual dan kolektif sekaligus dari sebuah situasi yang negatif kepada yang positif. Dari yang tidak baik kepada yang baik. Dari yang susah-sengsara karena, misalnya, kemiskinan dan lingkungan hidup yang rusak kepada yang membahagiakan berkat sandang, pangan dan papan yang (lebih dari) cukup pada lingkungan hidup yang terawat secara sempurna. Aman. Damai. Makmur-sejahtera. Lahir dan bathin. Itu, tentu, bukan soal surga semata-mata. Namun, itu juga soal dunia ini. Sekarang dan di sini. Bahwa nanti upahnya adalah kehidupan bahagia di surga, itu nanti. Bukan sekarang.

Dengan demikian, saya kira, penting bagi kita untuk lupakan, sejenak, kehidupan setelah kehidupan di dunia ini. Kita abaikan itu; kita fokus saja pada kehidupan yang mortal ini kini, pada saat ini, ketika kita sedang bernafas. Walaupun, keduanya, kita tahu, seperti yang diingatkan oleh Sang Penebus itu sendiri bahwa perbuatan yang kita lakukan terhadap sesama ketika berziarah di dunia, sejatinya, kita lakukan terhadap Dia, entah disadari atau tidak, ketika Dia bersabda, “Masuklah karena ketika Aku lapar, kau memberi Aku makanan” atau ketika Dia berkata, “Maaf, Aku tidak mengenalmu. Sebab saat Aku lapar, kau tidak memberi aku makanan.”

iklan paskah 2 e1680955312758
Advertisement

Pada titik ini, ketika kita tak lagi tengok ke surga, tetapi ke dunia sekitar kita, kita tahu, kita lihat betapa banyak orang, secara individual dan sosial-kolektif, yang belum bangkit. Masih hidup dalam dunia yang terkungkung “maut” seperti dunia kriminal, kemiskinan dan kurang gizi (stunting), perusakan lingkungan secara masif, pembuangan sampah secara sembarangan, korupsi yang tidak kunjung berakhir, human trafficking yang berujung pada kematian, egoisme yang berlebihan, dan berbagai kondisi dan aktivitas lainnya yang membuat hidup dan kehidupan banyak orang menjadi sangat tidak nyaman.

Dalam konteks itu, Yuval Noah Harari (21 Lessons for the 21 st Century. New York: Random House, hlm. Xiv, 2019) menulis, “Seorang ibu tanpa suami yang berjuang untuk membesarkan kedua anaknya di kawasan kumuh di Kota Mumbai bingung di mana ia akan memperoleh makanan untuk kedua anaknya; para pengungsi di tengah Laut Tengah memandang jauh ke cakrawala berharap segera melihat pulau terdekat; seorang pria yang mengalami sakrat maut di rumah sakit di London yang penuh sesak mengumpulkan kekuatannya yang tersisa untuk bisa bernafas sekali lagi.” Harari melanjutkan, bagi mereka yang menderita seperti itu, ada banyak masalah yang jauh lebih urgen daripada persoalan pemanasan global atau demokrasi.
Bagi saya, sederhana saja. Mereka itu adalah bagian dari kawanan kita yang belum bangkit dari penderitaan. Jumlahnya banyak dan terdapat secara literal di seluh muka bumi. Di kampung-kampung dan kota-kota. Termasuk di NTT. Di Indonesia. Negara Pancasila ini, rumah kita bersama.

iklan paskah 1 e1680955357224
Advertisement

Dalam kondisi demikian, saya berharap dan berdoa, pada tubuh pemerintah, pada berbagai level, akan muncul tokoh eksemplaris yang jiwa dan raganya, secara total, diabdikan untuk membebaskan mereka yang kurang beruntung itu dari penderitaannya. Membangkitkan mereka dari “maut”. Orang-orang seperti itu pasti ada, bukan?
Sebagai negeri demokratis terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat, yang akan mengadakan pesta demokrasi akbar tahun depan, kita berdoa dan berharap, Indonesia akan segera menemukan orang-orang hebat yang mampu membangkitkan orang-orang yang terpinggirkan itu dari “maut” yang selama ini mengancam mereka. Bisa, mengapa tidak? (*)

ads
ads

Editor: Semy Rudyard H. Balukh

Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *