SoE, RNC – Cerita pilu itu datang lagi bersama datangnya gelap yang menelan siang. Notifikasi pesan WhatsApp Group muncul di layar handphone. Berisi informasi adanya pertemuan singkat dengan agenda yang belum diketahui semua anggota grup.
Pembahasan santai diselingi cerita-cerita jenaka tetap menjaga suasana diskusi menjadi hangat. Tak banyak yang dibahas dalam pertemuan yang dihadiri oleh Ketua Yayasan Pelita Kehidupan Masyarakat (YPKM) SoE, Sandy Rupidara, Ketua Komunitas SoE Berbagi (Kasogi), Nifron Fallo dan beberapa anggota Kasogi. Yang terpenting adalah kesepakatan jam keberangkatan menuju Desa Fatukopa, Kecamatan Fatukopa, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), keesokannya.
Jumat (16/7/2021) sekitar pukul 09.00 WITA, mobil yang ditumpangi Ketua YPKM dan anggota Kasogi bergerak dari Kota SoE menuju Desa Fatukopa. Gurauan dan cerita-cerita pendek dengan berbagai topik menemani perjalanan. Lantunan lagu-lagu rohani Kristen dari mobil Nissan Terrano yang yang ditumpangi semakin menyejukkan hati. Tak luput pembahasan tentang misi kunjungan hari ini.
Mobil melaju dengan mulus sepanjang jalan negara yang menghubungkan Indonesia dan Timor Leste. Ketika mobil berbelok meninggalkan jalan Negara menuju ke arah destinasi wisata alam Fatukopa, kecepatan mobil harus dikurangi akibat kondisi jalan aspal yang tak semulus jalan Negara.
Tak lama, mobil menyeberangi jembatan kayu pertama. Kondisi jembatan ini masih terlihat normal. Namun tak seperti jembatan kayu kedua yang menjadi batas antara Desa Oeekam dan Desa Oelet di Kecamatan Amanuban Timur. Balok pada jembatan itu banyak yang tidak layak lagi. Kondisi ini membahayakan pengendara. Di ujung jembatan, empat buah baja yang menyerupai rel dipasang sebagai penghubung akibat longsor yang hampir memisahkan jembatan dan aspal. Sambungan itu nyaris ambruk lantaran kikisan air sehingga tersisa sedikit tanah yang menjadi penyangga keempat besi itu. Sayangnya, jembatan yang sudah rusak sejak dua tahun lalu itu tak kunjung diperbaiki.
Perjalanan pun berlanjut menuju Desa Fatukopa. Kondisi jalan yang menjadi poros tengah menuju Kabupaten Malaka itu masih terdapat lubang sana sini. Sekitar pukul 11.30 WITA kami pun tiba di tempat tujuan. Beberapa orang tua telah menunggu kami di sana. Kami beristirahat sejenak di rumah salah satu majelis Jemaat Talitakum Tuapene, sebelum menuju ke rumah Mama Marta Manu.
Perempuan berusia 60 tahun itu sudah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup sendiri. Semenjak ayahnya meninggal, Marta memilih hidup sendiri. Ia tinggal di sebuah rumah bulat yang bila dilihat dari jauh seperti rumah kebun atau gubuk. Tidak banyak orang yang tahu, rumah itu ternyata tempat berlindung seorang perempuan paruh baya dari teriknya matahari dan berteduh bila hujan.
Sungguh menyayat hati, Marta rela tidur di dalam rumah bulat berukuran kira-kira 2×3 meter itu. Rumah itu dulu beratapkan alang-alang. Karena terlalu lama, alang-alang itu perlahan mulai hancur. Untuk tetap berlindung, rumah itu ditambal dengan daun kelapa. Lubang terlihat di sana sini dibalut dengan daun pisang.
Pada bubungan rumah, Marta menaruh sebuah payung yang sudah rusak. Payung itu untuk menutupi lubang pada bubungan rumah tradisional suku Dawan itu. Rumah ini sungguh tak layak untuk dijadikan tempat tinggal.
Tak seperti rumah bulat milik warga lainnya, pintu rumah bulat milik Marta lebih pendek dan sempit. Batang jambu kecil seukuran ibu jari kaki orang dewasa dijadikan sebagai daun pintu. Potongan kayu-kayu itu disusun seperti membuat pagar.
Di dalam rumah itu, beberapa jerigen dan botol air mineral bekas ditaruh di bagian pinggir. Sebuah kasur yang sudah rusak digantung dekat pintu masuk. Loteng di dalam rumah milik Marta tak begitu tinggi. Akibatnya, tidak bisa berdiri saat berada dalam rumah.
Sebuah periuk disimpan di samping tungku. Di sampingnya, satu sisir pisang diletakkan. Bila menengok ke atas, langit akan terlihat dari sela-sela daun kelapa yang menambal rumah itu. Marta bercerita, jika hujan ia berlindung dekat tungku. Rumahnya yang sempit tak dilengkapi tempat tidur. Karung dan tikar bekas menjadi alas baginya menikmati malam di samping tungku api yang tetap menghangatkannya.
“Kalau hujan itu saya duduk di samping tungku karena di situ tidak basah. Kalau air hujan masuk, saya tadah pakai ember. Penuh saya buang di luar,” ujar Marta dalam bahasa Dawan.
Bila malam tiba, Marta biasanya tidur bersama seekor babi miliknya di dalam rumah. Ia takut membiarkan ternak satu-satunya itu di luar rumah. Ia tak ingin ternak itu dicuri orang. Sehari-hari, Mama Martha menekuni kebun kecilnya. Tanaman kacang hijau dan jagung sebagai penopang hidupnya selama ini.
Marta tampak bahagia saat Ketua YPKM dan anggota Kasogi didampingi Ketua Majelis Jemaat Talitakum Tuapene, serta Pendeta Jemaat Filadelfia Fatukopa mengunjunginya. Wajahnya tampak ceria serta dirinya pun tak berhenti bercerita.
Thofilus Talan, Ketua Majelis Jemaat Talitakum Tuapene berterima kasih kepada YPKM dan Kasogi yang mau membangun rumah bagi jemaatnya. “Kita selaku Majelis juga keluarga dari Mama Marta Manu menyampaikan banyak terima kasih. Kita tetap berdoa semoga Tuhan selalu melimpahkan berkatnya sehingga uluran tangan ini boleh berlanjut di tempat lain juga,” ujar Talan.
Jemaat Talitakum dan Jemaat GBI Filadelfia Fatukopa akan bahu membahu menyumbangkan tenaganya untuk membangun rumah permanen berukuran 4×6 meter bagi Mama Marta. Jemaat menyiapkan bahan-bahan lokal yang bisa diperoleh dekat lokasi. Sementara itu, YPKM dan Kasogi berkomitmen mendukung pembangunan rumah layak huni itu sampai selesai.
“Kita akan kembali setelah pekerjaan rumah ini selelsai. Kita percayakan pembangunan rumah ini kepada jemaat di sini. Kita sudah berkomitmen untuk mendukung pembangunan rumah layak huni bagi Mama Marta sampai selesai,” kata Ketua YPKM SoE, Sandy Rupidara usai peletakan batu pertama pembangunan rumah itu.
Sandy sangat tersentuh ketika melihat foto yang dikirimkan oleh rekannya. Tak menunggu waktu lama, Sandy langsung memutuskan untuk membangun rumah yang layak bagi Mama Marta. Dengan segala keterbatasan, Sandy terpanggil bersama beberapa orang baik untuk menghadirkan senyum di wajah Mama Marta.
“Kita merasakan ada jeritan jiwa untuk bisa keluar dari penderitaan, dari kesultanan dan dari tekanan. Hari ini kami melihat kenyataannya seperti ini dan kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Sebagai insan yang ber- Tuhan, kita terpanggil untuk bisa saling memperhatikan dan saling menolong,” ucap Sandy.
Usai peletakan batu pertama, pekerjaan pembangunan rumah itu akan dimulai. Untuk menerangi rumah Mama Marta, ia diberi lampu tenaga surya. Setelah rumah layak huni tersebut rampung dikerjakan, akan dipasangkan listrik. Dan gelap malam tak akan lagi menakutkan. Mama Marta akan menikmati tidur malam tanpa memikirkan atap rumah yang bocor lagi. (rnc21)