Oleh: Fransiscus Go
Pada awal 2020, FAO telah memperingatkan salah satu dampak Pandemi Covid-19 yaitu krisis ketahanan pangan. Perang dunia dan dampak perubahan iklim kemudian turut mempengaruhi ketahanan pangan. Keseimbangan produksi dan permintaan beras mengalami defisit dalam waktu 20 tahun. Bagaimana solusi untuk mengatasi ancaman krisis pangan tersebut?
Krisis Pangan
Dampak Pandemi Covid-19 belum selesai, dunia mengalami ketegangan lagi dengan munculnya perang dunia antara Rusia dan Ukraina. Perang tersebut mengakibatkan lalulintas perdagangan pangan terganggu sehingga inflasi pangan meroket. Harga gandum dan jagung naik menjadi 41% serta 28%. Ada 22 negara yang membuat kebijakan menghentikan ekspor berbagai jenis pangan. Dalam situasi genting, setiap negara memilih menyediakan stok pangan untuk mereka sendiri. Setiap negara dalam kondisi waspada dalam menghadapi ancaman krisis pangan. Setiap negara dituntut untuk menstabilkan persediaan pangan. Presiden Jokowi sebagai pimpinan negara telah mengambil kebijakan penting dalam mengatasi krisis pangan, yaitu food estate. Meski menuai pro-kontra dari seluruh lapisan masyarakat, namun Presiden Jokowi sudah memulai langkah awal membangun ketahanan pangan Indonesia.
Dukungan Stakeholder
Strategi yang diperlukan untuk mengatasi krisis pangan adalah kerja sama dari berbagai stakeholder. Langkah pemerintah dalam membuka lahan baru di beberapa tempat di luar Pulau Jawa tentu memiliki tantangan tersendiri. Struktur tanah, iklim, budaya penduduk, dan infrastruktur lahan pertanian tentu berbeda dengan Pulau Jawa. Presiden Jokowi sudah membuat kolaborasi program food estate antara Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, dan Kementerian Pertahanan. Pemerintah menyediakan bibit, pupuk, alat dan mesin pertanian. Kementerian PUPR membangun sistem irigasi dan perbaikan infrastruktur jalan menuju lahan pertanian.
Adapun Kementerian Pertahanan ditunjuk sebagai leading sector. Kementan dan TNI juga menandatangani nota kesepahaman terkait pelaksanaan program pertanian, kapasitas SDM sampai dengan optimalisasi lahan TNI untuk pertanian. Bintara pembina desa (Babinsa) dilibatkan secara aktif untuk mewujudkan ketahanan pangan. Babinsa dibekali dengan pengetahuan pertanian agar bisa bersinergi dengan PPL (penyuluh pertanian lapangan) dalam mengembangkan lahan pertanian. Dukungan yang diperlukan agar program food estate berhasil tentu tidak bisa hanya mengandalkan Kementerian Pertanian dan Kementerian PUPR saja. Stakeholder terkait lainnya juga perlu bersinergi. Misalnya, BMKG bertugas melakukan prediksi perubahan temperatur dan cuaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika bisa mendukung ketersediaan jaringan internet/wifi murah.
Smart Farming
Tambahan sinergi antara BMKG dan Kementerian Komunikasi dan Informatika bisa memudahkan petani untuk menerapkan smart farming. Smart farming merupakan konsep pertanian yang menggunakan teknologi digital dan informasi. Perpaduan keduanya bisa meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan produksi tanaman serta peternakan.
Petani menggunakan aplikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan di lahan pertaniannya. Aplikasi smart farming memerlukan dukungan cloud server untuk menunjang beberapa unit proses monitor parameter penting, big data, kontrol manajemen, dan aktivasi actuator. Penggunaan aplikasi smart farming bisa diterapkan dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), irigasi, penyiapan lahan, pencahayaan, iklim mikro, panen, dan evaluasi hasil.
Drone juga digunakan dalam konsep smart farming. Petani menggunakan drone untuk memberantas hama, memupuk, dan menabur benih. Penggunaan drone sangat efektif dan bisa menekan biaya produksi pertanian. Keunggulan penggunaan smart farming adalah meningkatkan efisiensi, produktivitas, keberlanjutan, dan kualitas produk.
Smart farming yang sudah diterapkan komunitas petani di Bali adalah penggunaan aplikasi untuk smart irrigation. Para petani tidak lagi menyiram tanaman secara manual. Penyiraman tanaman dikendalikan secara otomatis, termasuk waktu irigasi, durasi irigasi, dan debit irigasi. Proses penyiraman tanaman dikendalikan dari aplikasi smart farming yang dijalankan dari handphone petani masing-masing.
Petani di Buleleng, Bali juga menerapkan smart farming untuk mengolah lahan menggunakan IoT (Internet of Things). Jika biasanya petani mengolah lahan pertanian membutuhkan waktu 4 jam dengan tenaga 2 orang, sebaliknya IoT memudahkan petani. Dengan IoT, petani hanya membutuhkan waktu 15 menit dengan tenaga 1 orang saja. Inilah efisiensi yang dibutuhkan para petani.
Keberpihakan Pemerintah
Pemerintah juga perlu menyiapkan regulasi yang mendukung pelaksanaan smart farming. Adapun tantangan petani dalam penggunaan smart farming adalah keterbatasan akses teknologi, keterbatasan infrastruktur, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, biaya tinggi, dan kurangnya dukungan dari pemerintah. Pemerintah perlu membuat beberapa kebijakan untuk memperluas konsep smart farming di Indonesia.
Pertama, pemerintah menyediakan pupuk murah dan ramah alam. Perlu bantuan dari ahli-ahli riset di bidang pertanian modern. Kementerian Pertanian bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk mengadakan riset pupuk murah dan ramah alam. Dengan demikian, petani tidak lagi kesulitan dalam mendapatkan pupuk.
Kedua, pemerintah perlu membina komunitas-komunitas petani secara serius. Pemerintah bisa memberikan akses informasi terkait perkembangan teknologi terbaru dan pelatihan penerapannya di lapangan. Praktik lapangan konsep smart farming akan menyadarkan petani milenial dan memupus anggapan bahwa petani lekat dengan kemiskinan. Petani juga bisa berdaya dan sejahtera dengan cara yang tepat, yaitu menggunakan smart farming.
Ketiga, pemerintah perlu mengatur regulasi terkait pajak, akses internet, kepastian harga jual, dan pengolahan hasil produksi pertanian. Kementerian terkait dan stakeholder bisa mengadakan penyuluhan terkait pengolahan hasil produksi pertanian yang bisa meningkatkan nilai ekonomi.
Keempat, pemerintah memberikan pelatihan pemasaran digital kepada petani. Petani perlu diberikan pengetahuan tentang penggunaan website, strategi penjualan via marketplace, dan sebagainya. Dengan demikian, petani tidak hanya menjadi mata rantai pertama yang memiliki penghasilan terkecil. Mereka juga bisa berdaya sebagai pengusaha yang melek teknologi dan mampu menjual hasil pertaniannya dengan harga bersaing.
Kelima, pemerintah membangun pabrik-pabrik untuk mencukupi kebutuhan alsintan (alat dan mesin pertanian) dalam negeri. Selama ini, belum banyak petani yang memiliki alsintan dengan teknologi terbaru. Alsintan dengan kualitas terbaik masih perlu impor dan harganya belum terjangkau untuk semua petani.
Upaya dalam menuju ketahanan pangan adalah upaya pemerintah, stakeholder, dan seluruh masyarakat Indonesia. Dukungan berbagai pihak akan memperlancar proses pemerintah dalam menjaga stabilitas produksi pangan dalam negeri. Mari bahu-membahu dalam membantu pemerintah Indonesia. Mari katong baku jaga! (*)