Door Duisternis Tot Licht

Opinidibaca 24 kali

Oleh Tans Feliks
(Dosen Program Pascasarjana/FKIP Undana, Kupang)

ITU, Bahasa Belanda, judul buku yang berisi kumpulan surat Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat atau Raden Ajeng Kartini (21 April 1879 s/d 17 September, 1904) kepada para sahabatnya di Eropa. Dalam bahasa Indonesia, artinya ini: Habis Gelap Terbitlah Terang. Awalnya surat-surat itu diterbitkan di sebuah majalah di Belanda. Kemudian, pada tahun 1911, kumpulan surat itu dibukukan oleh J.H. Abendanon dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Bagindo Dahlan Abdullah, Zainudin Rasad, Sutan Muhammad Zain, dan Djamaloedin Rasad pada tahun 1922. Versi lainnya diterjemahkan oleh Armijn Pane. Terbitan Balai Pustaka. Cetakan I tahun 1938.

Tulisan ini, tentu, bukan kajian analisis wacana kritis terhadap buku itu. Bukan. Sama sekali bukan. Namun saya menyinggungnya dalam tautan dengan peristiwa kehidupan kita dahulu, saat ini, dan, pasti, nanti. Di masa depan. Peristiwa yang penuh dengan duka-nestapa; gelap dan, sering, penuh rahasia. Melibatkan dan menimpa banyak orang dari segala lapisan sosial: tua-muda, besar-kecil, kaya-miskin, terdidik-buta huruf, pejabat-pemulung, guru-murid, mahasiswa-dosen. Berskala besar.

Selain itu, juga ada yang berskala kecil. Sifatnya individual. Personal. Pribadi. Gagal itu. Gagal ini. Utang sana. Utang sini. Hingga tak bisa dibayar. Daftarnya, tentu, bisa sangat penjang bila disebutkan satu per satu. Apapun masalahnya. Akibatnya sama. Timbul kekecewaan yang, bila tidak bisa diatasi dengan bijak, mendatangkan bencana yang lebih besar. Maut, bahkan, entah disengaja atau tidak.

Juga melibatkan negara sehingga negara sering, dalam hal itu, disebut teroris terhadap warganya sendiri seperti yang Indonesia hadapi pada tahun 1960-an dan 1990-an. Akibatnya, seperti yang saya sebut di atas, orang susah. Sengsara. Menderita. Putus asa. Hidup dalam kepahitan. Gelap. Tanpa terang. Seolah tanpa harapan. Banyak orang menyebutnya salib yang (maha) berat. Tak terpikulkan.

Walaupun pada sisi yang lain kita menemukan juga peristiwa yang 100% berbanding terbalik, yaitu peristiwa mulia. Yang menimbulkan decak kagum dan kebahagiaan. Pada level individu. Pribadi. Per orang. Juga pada ruang lingkup yang lebih luas: keluarga, masyarakat, dan, bahkan, bangsa dan negara. Contohnya banyak. Ada 1001. Pada level negara, misalnya, siapa yang tidak senang dengan kemajuan Indonesia saat ini? Kita masuk upper-middle income country; ada ribuan kilometer jalan tol; juga, ada kereta api super cepat Bandung-Jakarta. Woosh.

Namun, fokus tulisan ini bukan di situ. Fokusnya pada tragedi atau, lebih tepat, pada cara bagaimana seharusnya kita mencegah terjadinya tragedi kemanusiaan, baik pada level pribadi maupun pada level bangsa dan global. Iya, caranya. Bagaimana caranya supaya masalah – pribadi, sosial, dan bangsa, global – bisa diatasi secara elegan. Secara bermartabat. Bukan dengan menempuh jalan pintas yang malah menimbulkan masalah. Bagi diri sendiri. Bagi orang lain. Bagi bangsa dan negara sendiri. Bagi bangsa dan negara lain – Saat ini, ketika tulisan ini dibuat, Palestina (Hamas) sedang bertempur melawan Israel. Sudah ribuan orang menjadi korban. Belum lagi sarana dan prasarana yang hancur berantakkan dari kedua belah pihak.

Ada, tentu, beragam cara yang bisa ditempuh. Pada level pribadi. Hadapi saja masalah itu dengan tenang, tetapi tetap tegar. Tetap kuat sembari mencari jalan keluarnya, mungkin dengan berpikir kritis, berkreasi, berkolaborasi dan berkomunikasi dengan orang atau pihak lain (baca, misalnya, Yuval Noah Harari, 2018. “21 Lessons for the 21st Century”. New York: Random House, hlm. 268). Secara intens. Total. Jangan menyendiri. All out hingga menang. Hingga masalah teratasi. Atau dalam bahasa yang lain, tetapi intinya tetap sama: memikul salib hingga akhir. Tanpa keluh-kesa. Hingga ada kebangkitan. Hingga malam kelam terlewati dan terangpun menyongsong. Itulah spirit dari buku R. A. Kartini, Habis Gelap Terbit Terang, yang saya singgung di atas.

Soal totalitas dalam berjuang, kita bersyukur, kita punya banyak contoh. Dunia internet yang begitu terbuka, murah, dan meriah saat ini memberi kita banyak pelajaran berharga. Beberapa bulan yang lalu, misalnya, viral kisah seorang ibu di sebuah dusun terpencil yang menyadari bahwa dia sudah tidak punya apa-apa untuk menolong anaknya yang sakit mahaparah. Dalam ketidakberdayaan itu, dia ingat Tuhan. Dia yakin Tuhan akan menolongnya. Karena itu, dia berdoa siang dan malam agar Tuhan menolongnya sehingga dia berkesempatan membawakan anaknya yang sakit itu ke sebuah kota yang jauh untuk dioperasi oleh satu-satunya dokter spesialis yang, Ibu itu tahu, mampu memimpin operasi penyembuhan anaknya.

Pada suatu hari, ketika dia sedang berdoa, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Si ibu itu membukakan pintu dan mempersilakan orang asing itu masuk. Si ibu kemudian meminta orang asing itu duduk dan dia melanjutkan doanya. Setelah berdoa, orang asing itu berkata bahwa dia tidak percaya Tuhan. Dia hanya percaya kerja keras, tekad yang kuat, dan disiplin untuk maju dan sukses. Walaupun demikian, dia menanyakan ibu itu apa yang didoakannya. Sang ibu mengatakan bahwa dia meminta Tuhan untuk menolongnya mempertemukan dia dan anaknya dengan seorang dokter yang, karena keahliannya, menjadi satu-satunya orang yang bisa menyembuhkan anaknya. Karena dia tidak punya uang dan biaya untuk itu, diapun meminta Tuhan untuk menolongnya.

Ketika orang asing itu menanyakan siapa nama dokter spesialis itu, si ibu itu memberi tahunya bahwa namanya dr. Markus. Orang asing itu amat sangat terkejut dan berkata bahwa dialah dr. Markus yang dicari ibu itu. Diapun menyadari bahwa peristiwa yang dialaminya bukan sebuah kebetulan. Dia yakin Tuhan ada di balik itu semua: pesawatnya yang membawanya ke sebuah kota tempat ia harus berbicara sebagai seorang ahli dalam sebuah seminar yang sangat bergengsi harus kembali ke bandara karena cuaca buruk; ketika dia naik taksi menuju kota yang ditujunya kemudian tersesat karena cuaca begitu buruknya sehingga jaringan internet tidak berfungsi; dan ketika dia terus saja mengemudi dalam kesesatan dan terpaksa harus singgah di rumah ibu itu, dia tahu Tuhan ada dan menjadi Sutradara Agung atas peristiwa yang dialaminya. Sejak saat itu dia percaya Tuhan itu ada dan memperhatikan setiap orang yang berserah kepada-Nya.

Diapun mengajak si ibu ke tempatnya dan anaknya disembuhkan. Itulah kekuatan perjuangan tanpa lelah. Doa tanpa henti. Saya tidak bisa bayangkan kalau ibu itu menyerah. Anaknya pasti sudah mangkat. Ibu itu mengajarkan kepada kita kekuatan doa. Iman yang menyelamatkan. Dengan demikian, ketika kita mengalami masalah, doa, sejatinya, sudah cukup untuk mengatasi masalah itu. Bukan malah ambil jalan pintas yang malah menimbulkan malasah demi masalah.

Sayangnya ada (banyak?) orang yang mengambil jalan pintas itu. Perang Hamas vs Israel dan Perang Rusia vs Ukraina pada tataran global adalah contohnya. Pada tataran individual kita bisa melihatnya di sekitar kita. Di FB. Di banyak tempat dan sarana. Padahal pada saat genting seperti itu, Yesus yang saya imani sebagai Tuhan dan Juru Selamat sudah mengingatkan, “Jangan takut. Aku ini.” Burung-burung saja bisa hidup! Kita, manusia apalagi karena cinta Tuhan.

Memang hidup tidak pernah sepi dari masalah. Masalah itu, memang, sebagiannya, lahir karena kesalahan kita juga. Kita, manusia, tahu, misalnya, bahwa korupsi tidak boleh, tetapi kita malah melakukannya. Akibatnya ditangkap KPK. Atau kita tahu bahwa untuk sukses, harus kerja keras, belajar rajin, bertekad kuat, dan berdisiplin tinggi, tetapi kita malas. Kita lemah secara mental, dan tidak punya disiplin. Akibatnya gagal. Kitapun hidup dalam kegelapan.

Jika itu terjadi, sejatinya, kita tinggal ubah haluan. Berubah. Jangan lagi berkorupsi sekeluar dari penjara, misalnya. Menjadi orang baik dengan membantu sesama yang berkekurangan dan kemudian menjadi pahlawan kemanusiaan. Atau kalau persoalannya terkait karakter seperti malas, bermental lemah, dan tidak punya disiplin, ya ubah diri saja: Dari malas ke rajin, dari tekad lemah ke tekad kuat, dari disiplin yang lemah ke disiplin yang tinggi.

Jika kita sudah punya karakter itu dan tetap gagal, mungkin masalahnya pada kesalahan kita untuk memilih jurusan/program studi, pekerjaan yang tidak sesuai. Dengan demikian, dalam konteks itu drop out tidak jadi masalah. Tinggal disampaikan kepada orang tua Anda bahwa Anda gagal di situ, tetapi yakinlah di tempat lain pasti sukses karena Anda tahu apa yang Anda lakukan. Bukan malah terus ngotot untuk melakukan sesuatu yang di dalamnya kita, mungkin, tidak punya bakat, minat dan kebutuhan sehingga yang terjadi berikutnya adalah tragedi. Ini yang harus dicegah. Diatasi dengan bijak. Pasti bisa. Mengapa tidak?

Jadi, pasti ada terang setelah gelap; ada kebangkitan setelah penyaliban seperti yang dikatakan oleh RA Kartini dalam salah satu suratnya di bukunya itu: “Kembali ke lingkunganku yang lama tiada aku dapat, maju lagi, masuk dunia baru itu tiada pula dapat, ribuan tali mengikat aku erat-erat kepada duniaku yang lama,” tulis Kartini kepada Nona Zeehandelaar, tanggal 6 November, 1899. Door Duisternis Tot Licht, bila kita berusaha secara total dan anti jalan pintas. (*)

Ikuti berita terkini dan terlengkap di WhatsApp Group RakyatNTT.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *