Oleh Tans Feliks
Guru Besar TEFL; Direktur Program Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT
DALAM mengelola dunia pendidikan, Indonesia sering terjebak tradisi “Ganti Menteri, Ganti Kebijakan.” Dalam beberapa bulan terakhir, jebakan tradisi itu terlihat lagi. Yang tidak menyukai Program Merdeka Belajar (PMB), yang dicetuskan oleh Menteri Nadiem Anwar Makarim sebelumnya, seperti penghapusan ujian nasional (UN), bersuara secara lantang di berbagai media untuk menghidupkannya lagi.
Demikian juga program turunannya, seperti “kurikulum merdeka” dan “guru penggerak,” diusulkan untuk dihentikan. Persoalannya adalah apakah, kali ini, kita masih harus terjebak lagi oleh tradisi itu? Menjawab persoalan itu dalam tulisan ini, tesis saya ini: kebijakan PMB sudah pas secara teoritis dan, karena itu, tidak perlu diganti. Kalau ada yang harus diganti, yang diganti itu adalah implementasinya yang, selama ini, memang jauh panggang dari api.
Mengapa PMB Dipertahankan
Ada dua alasan mendasar mengapa PMB, sebaiknya, dipertahanakan. Pertama, dia setali tiga uang dengan paradigma pendidikan humanis. Menurut teori itu, manusia memiliki bukan hanya kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan psikomotorik dan afektif. Oleh karena itu, sebuah lembaga pendidikan, dari level sekolah dasar (SD) hingga perguturan tinggi (PT), mendambakan kehadiran dalam lembaganya anak-anak dengan kecerdasan yang sempurna: otak (kognisi), otot (keterampilan), dan hati (sikap) yang top. Sempurna.
Namun, jika tidak, yaitu mereka tidak sesempurna itu karena, misalnya, kemampuan kognitifnya kurang bagus, mereka, dalam pandangan pendidikan humanis, tetap dianggap hebat, jika punya kemampuan psikomotorik yang baik – Syukur, kalau sangat sempurna.
Walaupun demikian, jika mereka, misalnya, tidak punya kemampuan kognitif dan psikomotorik yang baik sekalipun, mereka tetap dilihat/dinilai sebagi anak yang baik, jika sifatnya, kemampuan afektifnya, baik. Misalnya, mereka tidak suka berkelahi dan kalau ada yang berkelahi, mereka orang pertama yang melerainya; mereka tidak mencuri, walaupun lapar; mereka memilih untuk tidak lulus ujian, jika untuk lulus mereka harus menyontek pekerjaan temannya; mereka rajin; dan, disiplinnya bagus.
Dalam terang kebijakan pendidikan humanis, anak seperti itu layak lulus dari lembaga pendidikannya. Sebaliknya, anak-anak yang sangat cerdas secara kognitif dan psikomotorik bisa saja tidak lulus, jika sifat atau karakternya jelek atau dalam bahasa Permendikbud itu dinilai hanya pada level “cukup” atau “C”. Ini, tentu, penting karena Indonesia tidak membutuhkan orang yang sangat cerdas atau terampil, tetapi kemudian menggunakan kecerdasan atau keterampilan itu untuk hal-hal yang berisfat merusak. Teror dan aktivitas kriminal lainnya.
Itu sebabnya kebijakan penentuan kelulusan oleh sekolah (baca Permendikbud No. 43 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian oleh Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional), yaitu oleh guru dan kepala sekolah, sudah sangat tepat dan tidak perlu diganti. Para guru dan kepala sekolah yang mengenal secara baik anak didiknya diberi hak penuh, total, untuk memutuskan apakah mereka lulus atau tidak.
Hak itu telah dicopot dari UN karena UN tidak fair. UN dinilai telah menginjak-injak martabat peserta UN karena UN hanya melihat kemampuan kognitifnya. Kemampuan psikomotorik dan afektifnya tidak dinilai padahal kedua kemampuan itu juga telah ikut serta membuat dunia menjadi lebih baik seperti sekarang ini.
Lalu, apa itu UN sehingga kemampuan psikomotorik dan afektif seorang murid yang sangat diperlukan dalam hidup ini diabaikan? Pengalaman kita sebagai sebuah bangsa menunjukkan bahwa para koruptor kita adalah orang cerdas: 75% dari antara mereka tamatan PT; teroris kita juga sangat cerdas, tetapi mereka hampir tidak punya hati sehingga orang tak berdosa sering jadi sasaran brutalnya.
Indonesia sudah menyadari kesalahan itu. Karena itu UN dihapus. Penentuan kelulusan diserahkan ke sekolah: guru dan kepala sekolah. Sebab mereka tahu kemampuan muridnya secara lengkap; bukan hanya soal kognitif saja. Mengambil kembali wewenang itu, tentu, salah. Tidak boleh.
Kedua, secara substansial PMB sudah mengingatkan kita bahwa selama ini anak-anak sekolah kita tidak merdeka sama sekali dalam kegiatan belajarnya. Mereka diharuskan untuk mempelajari berbagai mata pelajaran yang, dalam banyak hal, tidak ada hubungannya dengan bakat, minat, dan apsirasi atau kebutuhan belajar mereka – Tiga hal penting untuk memungkinkan seseorang belajar secara total.
Demikian juga para guru; mereka tidak merdeka sama sekali dalam mengajar. Sebab mereka harus juga mengajarkan mata pelajaran yang muridnya tidak butuh atau tidak sesuai dengan bakat/potensi dan minatnya. Akibatnya, para guru mungkin bisa mengajar secara total karena mereka guru profesional, tetapi muridnya tidak bisa belajar secara total karena apa yang diajarkan gurunya, menurut mereka, tidak pas dengan bakat dan minat serta kebutuhan belajarnya.
Seperti halnya UN, Indonesia juga sudah menyadari kesalahan ini. Karena itu, dalam PMB, anak-anak kita didorong untuk belajar dan diajari sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya. Dengan demikian, kembali ke dunia pendidikan tanpa kemerdekaan dalam belajar seperti itu salah secara substansial. Jangan lagilah kita kembali ke sana; jangan lagilah kita paksakan anak didik kita menekuni mata pelajaran yang tidak pas dengan bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya.
Artinya, kita membutuhkan PMB. Namun supaya lebih efektif, PMB itu jangan dihapus. Sempurnakan saja implementasinya seperti yang diuraikan berikut ini.
Apanya yang Perlu Disempurnakan
PMB, seperti yang diuraikan di atas, sudah pas secara teoritis, tetapi implementasinya lemah dan, karena itu, perlu disempurnakan untuk membuatnya lebih sesuai dengan filosofi pendidikan humanisme, yaitu membiarkan anak murid kita belajar sesuai dengan bakat, minat, aspirasi atau kebutuhan belajarnya.
Untuk mengetahui bakat, minat, dan aspirasinya, yang perlu dilakukan para guru adalah dialog dengan anak didik, orang tua, dan temannya (baca, misalnya, Pedagogy of the Oppressed. London; Penguin Books, oleh Paulo Freire, 1972). Juga dengan observasi. Guru dan orang tua mengamati anak-anak setiap saat. Via pengamatan itu, sejatinya, bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya diketahui.
Jika bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya diketahui, biarkan mereka belajar sesuai dengan bakat, minat dan lebutuhan belajarnya itu. Itulah esensi dari PMB. Dalam konteks itu, pemerintah tidak perlu lagi sibuk menyusun kurikulum. Biarkan kurikulum itu disusun oleh sekolah, guru dan kepala sekolah, pada setiap lembaga pendidikan yang ada sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan belajar atau aspirasi setiap anak didik pada setiap lembaga pendidikan itu (baca, misalnya, Tans Feliks, Kompas, 28 Desember, 2011, hlm. 7).
Apabila disusun sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan belajar atau aspirasi setiap anak didik, tidak ada alasan bagi setiap anak didik untuk tidak tergerak untuk belajar. Pengalaman kita menunjukkan bahwa setiap orang yang melakukan sesuatu sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhannya selalu melakukan kegiatan itu secara total.
Dengan demikian, dalam konteks itu, setiap murid adalah penggerak dirinya sendiri untuk belajar dan setiap guru adalah guru penggerak untuk menjamin bahwa setiap murid belajar secara total karena yang dipelajarinya sesuai dengan bakat, minat, dan aspirasinya.
Ketika kurikulum disusun dalam konteks seperti itu, tugas pemerintah, tentu, adalah untuk mengawasi secara sedemikian rupa sehingga setiap lembaga pendidikan itu melakukan kegiatan belajar dan mengajarnya sesuai dengan bakat, minat, dan aspirasi setiap muridnya. Juga, tentu, tetap dalam koridor nilai-nilai humanis yang berterima secara global dan seiring sejalan dengan kepentingan bangsa.
Selain itu, pengawasan juga dilakukan pemerintah dalam kaitan dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas yang memadai. Namun, sekali lagi, ketersediaan SDM dan fasilitas itu perlu terus digalang untuk menjamin bahwa setiap murid belajar sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya. Ini penting sebab selama ini, sepertinya, banyak orang kurang paham tetntang hal ini. Masih banyak orang yang mengira bahwa jika guru teknik kita, misalnya, sejenius BJ Habibie dan fasilitas sekolah kita sesempurna seperti fasilitas hotel bintang lima, kegiatan belajar dan mengajar akan total dan sukses.
Itu, jelas, salah karena yang menggerakkan seseorang untuk belajar secara total itu tidak bersifat eksternal, yaitu datang dari luar dirinya seperti guru dan fasilitas, tetapi internal, datang dari dalam dirinya sendiri, seperti bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya. Munculnya tokoh besar seperti Thomas Alpha Edison karena kemandiriannya yang luar biasa dalam belajar menunjukkan bahwa tesis itu benar. Dalam keterbatasan SDM sebagai pembimbing dan absennya berbagai fasilitas sebagai penunjang aktivitas belajar, Thomas Alpha Edison tetap sukses dan suksesnya sangat fenomenal.
Semoga para pengambil kebijakan pendidikan kita paham tentang hal ini secara baik sehingga Indonesia tidak lagi terjebak dalam tradisi “Ganti Menteri, Ganti Kebijakan Pendidikan.” Dengan bebas dari jebakan itu, hasil pendidikannya, kiranya, akan menjadi lebih dahsyat ke depan. (*)
Ikuti berita terkini dan terlengkap di WhatsApp Group RakyatNTT.com