Soal Status Eks Napi Bacabup Mabar Edi Endi, Simak Penjelasan Pakar Hukum

Politik, Mabar, PEMILU 2024dibaca 3,928 kali

Kupang, RNC – Bakal Calon Bupati Manggarai Barat (Mabar) Edistadius Endi pernah tersandung kasus perjudian pada pertengahan April 2016 lalu. Saat itu, pria yang akrab disapa Edi Endi masih menjabat sebagai anggota DPRD Mabar dari Fraksi Golkar.  Dalam putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo, Edi dijatuhi hukuman penjara selama 4 bulan 15 hari.

Kini, status Endi sebagai eks narapidana (napi) kasus perjudian kembali dipersoalkan oleh beberapa pihak. Bahkan sehari setelah masa pendaftaran berakhir, ada pihak-pihak tertentu yang mendatangi Kantor KPU Mabar dan menyampaikan keberatan atas pencalonan Edi Endi lantaran memiliki catatan kriminal.

Paket Edi-Weng melalui Tim Penasihat Hukum menanggapi semua bentuk keberatan atas pencalonan Edi Endi dengan santai. Menurut mereka, isu-isu tersebut dihembuskan oleh sekumpulan orang yang gagal paham akan peraturan perundang-undangan. Sebab pencalonan Edi Endi sudah sesuai dengan mekanisme dan yang bersangkutan sudah mengumumkan ke publik terkait statusnya sebagai eks napi.

Terkait persoalan ini, Pakar Hukum dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikael Feka yang diwawancarai RakyatNTT.com, Senin (14/09/2020), secara tegas mengatakan, Undang-Undang Pilkada melarang mantan napi tindak pidana yang termasuk dalam perbuatan tercela untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Menurut Mikael, terkait dengan status eks napi, ada tiga hal yang diatur dalam UU. Pertama, mantan napi dapat mencalonkan diri pada pilkada, lima tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidana penjara. Asalkan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Kedua, mantan napi tindak pidana yang dikategori sebagai perbuatan tercela seperti judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkoba, zinah, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, tidak bisa mencalonkan diri. Ketiga, mantan napi yang masa bebasnya belum sampai lima tahun, terhitung sejak yang bersangkutan keluar dari bui, tidak bisa mencalonkan diri.

Mantan Tim Asistensi Bawaslu NTT itu menjelaskan, pada pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud harus memenuhi persyaratan. Dari sekian banyak persyaratan, salah satunya yakni tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian. “Ini diatur pada pasal 7 ayat (2) huruf i undang-undang nomor 10 tahun 2016,” sebut Mikael.

Menurut Mikael, tindak pidana yang masuk dalam kategorisasi perbuatan tercela itu adalah judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkoba, zinah, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Dengan demikian, bakal calon yang jelas-jelas terbukti melakukan tindak pidana perjudian, tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta Pilkada. “Khusus untuk perbuatan tercela, undang-undang tidak bicara tentang berapa lama jeda waktu bagi eks napi untuk bisa calon. Untuk perbuatan tercela itu absolut. Jadi siapa yang melakukan perbuatan tercela, dia dilarang oleh undang-undang untuk ikut pencalonan karena memang tidak memenuhi syarat calon. Kecuali tindak pidana lain yang bukan masuk dalam kategorisasi perbuatan tercela,” jelas Mikael yang kini juga termasuk dalam Tim Pemeriksa Daerah DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).

Mikael menambahkan, apabila ada perbedaan atau pertentangan antara peraturan perundang-undangan, maka yang digunakan adalah hukum yang lebih tinggi. “Dalam kasus ini, jika ada yang membandingkan antara PKPU dan UU maka yang dipakai adalah UU. Ingat asas lex superior derogat legi inferior,” pungkas Mikael. (rnc09)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *