Oleh Aulora Agrava Modok
PANGAN, urusan hajat hidup orang banyak. Tidak sebatas menyelamatkan umat manusia, tetapi berkontribusi bagi perekonomian negara. Soal pangan selalu jadi bayang‐bayang menakutkan bagi tiap rezim penguasa.
Salah urus pangan berakibat bencana paling memalukan dan mengerikan dalam sejarah peradaban umat manusia yaitu kelaparan. Bukannya sejak awal penciptaan, kita (manusia) telah diberi tugas mengurus pangan, dengan bertani dan beternak misalnya. Pun, ribuan tahun lalu hanya dengan modal biji‐bijian, kita (manusia) mampu beregenerasi.
Meski demikian, peradaban modern tak lantas menjamin bebasnya kita dari ancaman kelaparan. Cina, pada konteks tahun 1959‐1962, puluhan juta orang meninggal akibat kelaparan. Mayat bergelimpangan seantero negeri. Jasad makhluk mulia bernama manusia dilahap burung pemakan bangkai.
Akibat kelaparan panjang nan mengerikan itu, dahulu bilamana bertemu, rakyat cina akan saling bertanya “apakah anda sudah makan?”. Gagasan besar Mao Zedong tentang Lompatan Jauh ke Depan (Great Leap Forward) gagal. Dimana sistem pertanian kacau balau, hanya boleh menanam komoditi yang ditentukan negara, sumber daya manusia pertanian rendah plus minim teknologi.
Baru di bawah kepemimpinan Presiden Cina, Deng Xiaoping, urusan pangan direvitalisasi. Sejak tahun 1978 pembenahan sistematis dikerjakan berdasarkan Gaige Kaifang (Reformasi dan Keterbukaan). Deng Xiaoping merombak kebijakan modernisasi empat sektor utama: pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan pertahanan. Pertanian ditempatkan sebagai mati hidupnya bangsa. Ikhwal pertanian, pemerintah memperbaiki sistem produksi, sistem harga, dan sistem pasar, melalui pendekatan kontrol pasar, efisiensi pertanian, pembatasan lahan yang berpotensi merugikan serta impor.
Industri rakyat berbasis sektor pertanian. Mekanisasi dan teknologi adalah jurumudi sistem pertanian. Cina membayar lunas pengalaman kelaparan mereka dengan menanam dan menanam. Tiada henti menanam. Rekayasa teknologi bersumber pada temuan‐temuan inovatif dan brilian. Dari alat sederhana skala pertanian keluarga hingga teknologi super canggih diciptakan untuk menyelesaikan tantangan alam dan mengatasi keterbatasan manusia dalam manajemen pangan.
Hasilnya, hanya dalam kurun 40 tahunan, Cina menjadi kekuatan ekonomi dunia dan gemilang menggeser Amerika Serikat. Investasi fantastis Cina dalam memperbaiki sistem pengairan (irigasi), memastikan ketersediaan sumber air, menciptakan benih‐benih berkualitas, memaksimalkan penggunaan robot dan mekanisasi pertanian, melakukan diversifikasi pangan, penggunaan pesawat tak berawak untuk menyemprotkan pupuk dan bahan kimia serta menangkal hama dan penyakit tanaman. Komputerisasi jelas ikut memudahkan kerja petani.
Kita (mungkin) masih linglung mau buka lahan, mau tanam apa. Cina sudah melesat terlalu jauh. Cina telah membeli dan menyewa lahan di berbagai benua termasuk Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Kinerja pertanian Cina sangat tinggi dan paling agresif dalam penguasaan sumber pangan dunia.
Visi 2045
Pangan Republik Indonesia adalah ikhtiar mewujudkan visi 2045. Presiden Joko Widodo tegas menyatakan bahwasannya masa depan bangsa ditentukan oleh 3 (tiga) sektor strategis, yakni Pangan, Energi dan Sumber Daya Air. Dengan demikian, memajukan pangan republik Indonesia adalah pekerjaan super prioritas.
Penataan sektor pertanian Indonesia mengalami pertumbuhan hampir satu dekade, ditandai peningkatan antara 4,9‐5,3% per tahun, sesuai laporan Program Pangan Dunia (WFP). Sekalipun bertumbuh terus, Indonesia masih berada diperingkat ke‐62 dari 113 negara dalam hal Indeks Ketahanan Pangan Global menurut The Economist Intelligence Unit yang mengukur ketahanan pangan global.
Sektor pertanian kita, lagi‐lagi menghadirkan kondisi fatal, diantaranya: (1) Ketergantungan (mayoritas) petani terhadap pupuk kimia. Sejak gaung Revolusi Hijau dibelahan dunia Barat, sistem pertanian seluruh dunia terpaksa‐kondisikan mengaplikasikan pupuk kimia selama puluhan tahun. Akibatnya, wajah muka bumi bersolek material kimia dan tercipta kerusakan ekologis kandungan lahan pertanian; (2) Berkuasanya korporasi raksasa dalam distribusi pupuk kimia. Mafia pupuk yang menguasai mata rantai pasokan pupuk di Indonesia menyebabkan monopoli harga pupuk; (3) Proyek “biji‐bijian” atas benih berkualitas dikuasai pabrik raksasa. Mereka lebih canggih dalam penangkaran dan pemuliaan tanaman. Hilangnya kedaulatan petani dalam akses terhadap benih berkualitas. Ditambah maraknya benih sekali habis pakai alias “hibrida”; (4) Negara belum serius memperbaiki kualitas benih sebagai hulu dalam mata rantai industri pertanian; (5) Rumah tangga petani masuk kategori rawan pangan, sebab nilai tukar petani (NTP) tidak sebanding dengan kemampuan daya beli petani atas barang produksi dan konsumsi rumah tangga; (6) Lemahnya kebijakan dukungan harga komoditas pertanian. Tiadanya jaminan harga minimum komoditas pertanian demi menghindari anjloknya harga saat panen raya.
Kerusakan Ekologis
Cara bertani kita menyumbang kerusakan lingkungan yang maha hebat. Bagaimana pun kita telanjur candu pupuk kimia, walau material organik mudah diperoleh sekitar kita. Apa mau dikata, kita telah bersepakat mengkhianati tanah tempat mencari hidup. Rayuan pupuk kimia begitu sempurna. Atas nama peningkatan produktifitas dan ketahanan terhadap hama‐penyakit. Sedangkan disaat bersamaan kita sedang mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan manusia diatas tanah dan eksistensi mikroorganisme dibawah tanah. Nyata sudah kerusakan ekologis pertanian. Atas mati‐bawah mati, secara perlahan.
Coba tengok karung pupuk kimia di lumbung‐lumbung kita. Dalam kemasan pupuk Urea terdapat kandungan 46% Nitrogen. Sisanya? 52% kandungan Amonia dan 2% kandungan lain. Amonia ada sebagai pengikat Nitrogen. Sebab Nitrogen sifatnya menguap. Amonia sendiri adalah material utama dalam membuat bom (bahan peledak) dan atau bubuk mesiu. Bukankah ini berarti, kita secara sadar dan teratur telah sukses membumi‐hanguskan areal pertanian sejak turun‐temurun.
Indonesia Republik Pangan
Anugerah lahan yang luas selayaknya mampu memposisikan Indonesia sebagai republik pangan dunia. Sektor pertanian mengalami pertumbuhan tertinggi diantara semua sektor lapangan usaha. Kontribusi 14,27% (Rp 596,01 triliun) terhadap PDB nasional pada triwulan II 2021.
Komoditi pangan strategis nasional adalah kunci untuk mengokohkan Kita sebagai republik pangan. Dengan kata lain, fokus komoditi tidak sebatas padi, jagung, kedelai saja tetapi mengarah pada pemenuhan pangan lain seperti daging.
Menilik laporan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, seperti dilansir www.presiden.go.id (14/08/2021), bahwa pada 2021 Indonesia mengekspor 627,4 juta ton produk pertanian ke 61 negara tujuan, senilai Rp 7,29 triliun. Ekspor sebesar 627,4 juta ton, meliputi komoditas perkebunan 564,6 juta ton, tanaman pangan 4,3 juta ton, hortikultura 7,2 juta ton, peternakan 4,0 juta ton, dan beragam komoditas lain. Kekuatan ekspor pertanian didominasi beras, kakao, kopi, kelapa sawit, karet. Produk ekspor tersebut berasal dari 341 kabupaten dan kota seluruh Indonesia.
Potensi sektor pertanian sangat bernilai. Selain angkatan kerja terbesar pada sektor pertanian, dengan 38,23 juta orang tenaga kerja atau sekitar 29,76%. Kekuatan lahan super luas teruntuk budidaya pertanian dan peternakan, lautan maha luas untuk kekuatan perikanan, teknologi dan mekanisasi canggih untuk kemudahan kerja‐kerja manusia pertanian. Kesemuanya harus berorientasi pada produktifitas tinggi (kuantitas), kualitas produk dan kontinuitas produksi.
Visi 2045 (100 tahun Indonesia) adalah menjadi Lumbung Pangan Dunia. Ini baru ambisi negara besar. Kita punya semua syarat menguasai dunia. Kita hanya butuh persatuan. Bersatu untuk saling percaya, saling membangun. Rakyat mesti belajar untuk bersatu. Maka semesta akan mewujudkannya.
Sektor pertanian adalah kekuatan hari ini dan masa depan Indonesia. Pangan Republik yang dibangun dengan visi 2045 mampu mewujudkan Indonesia sebagai Republik Pangan Dunia. Semoga. (*)