Oleh Viktorius P. Feka
Staf Pengajar di Prodi PBI/Universitas Citra Bangsa, Kupang
NAPOLEON Bonaparte pernah mengatakan, “Apabila ingin membereskan negara, maka bahasa perlu ditertibkan terlebih dahulu” (lihat Anshori, 2020:1). Rasanya pernyataan Napoleon tentang bahasa ini masih sangat relevan dibahas berkaca pada fakta kesemrawutan bahasa saat ini. Di jagat nyata, bahasa mungkin tidak sedemikian parah digunakan. Namun, di jagat maya bahasa kerap tidak digunakan sesuai dengan fungsi moral-etisnya. Bahasa malah digunakan sebagai tombak penikam kesantunan dan kemanusiaan. Bahasa digunakan secara serampangan untuk menyebar berita bohong, fitnah, dengki, cacian, hinaan, dan serupanya. Seolah-olah bahasa lahir dari rahim kekacauan, sehingga bahasa sebegitu kacau digunakan.
BACA JUGA: Merefleksikan NTT dari Perspektif Keterbukaan Informasi
Menjelang dan pada saat perhelatan pemilu, entah pilpres, pileg, ataupun pilkada, misalnya, media massa (media sosial) acap kali disesaki seabrek kata-kata durguna. Aturan kebahasaan tak dihiraukan. Intinya, hasrat meraih sasar lewat penggunaan bahasa menyasar telak. Tak pusing kata-kata yang digunakan itu saling memuliakan atau tidak. Yang penting nafsu mengulik fokus publik mencapai orgasme. Bahasa dibengkokkan dari fungsi hakikinya sebagai pengembang akal budi dan pemelihara kerja sama. Jagat, baik jagat nyata maupun jagat maya, yang semestinya dihadirkan dalam berbahasa secara baik dan benar, sebaliknya dihadirkan dengan penggunaan bahasa nan tunamakna.
Bahasa yang seyogyanya dihadirkan sebagai pelaksana fungsi pengembang akal budi malah dihadirkan sebagai pelaksana akal bulus dan akal busuk. Bahasa yang seharusnya dihadirkan sebagai pemelihara kerja sama malah dihadirkan sebagai pemicu konflik. Semestinya bahasa dapat dipakai sebagai sistem yang dimanfaatkan akal budi untuk menangkap, mengolah, membentuk, menafsirkan, menerjemahkan, mengungkapkan, membeberkan apa yang dapat diacu manusia (Sudaryanto, 2017:36).
Sesungguhnya yang diacu itu adalah bahasa keadaban, bukan bahasa kebiadaban. Sampai di sini, bahasa semacam telah hilang kesuciannya. Bahasa seolah meminta belas kasihan agar dipulangkan pada habitatnya setelah sekian lama terpental. Tapi, sebagian besar pengguna bahasa tak menghiraukan teriakannya minta tolong. Malah, media massa turut serta menyalur daki pada tubuh molek bahasa. Sungguh memprihatinkan. Inilah penyakit media saat ini, tak terkecuali media arus utama (mainstream media).
Banyak upaya dilakukan untuk memelintir, bahkan untuk menghilangkan fakta dengan penggunaan bahasa yang semrawut. Sekalipun dilakukan peliputan, terjadi pembiasaan fakta dan data. Media massa seolah turut menyumbang kekacauan berbahasa di Indonesia pada umumnya dan di NTT pada khususnya. Atas nama demokrasi (baca: kebebasan berpendapat), tak sedikit yang mendirikan perusahaan pers, utamanya yang berbasis daring (online).
Di NTT pada khususnya, media massa daring nyaris tak terbilang jumlahnya. Tapi, sedikit saja yang patuh terhadap aturan kebahasaan dan kaidah jurnalistik. Sebagian besar media daring menggunakan bahasa secara morat-marit. Masih jauh dari harapan. Hal sederhana seperti penggunaan tanda baca (punctuation) masih saja bermasalah. Penggunaan imbuhan dan preposisi (kata depan) pun kerap kali dipertukarkan, apalagi tentang kohesi dan koherensi. Belum lagi bila dikaji dari sisi kerja jurnalistik, pasti akan dijumpai banyak masalah di sana.
BACA JUGA: Menyibak Ancangan Pilkada di Hari Antikorupsi
Padahal, salah satu fungsi pers adalah mendidik. Bagaimana mendidik publik bila bahasa yang digunakan dalam tubuh berita amburadul. Apa yang mau diharapkan dari media dalam perannya sebagai pendidik bahasa (publik) bila saja kaidah kebahasaan dikangkangi. Media massa sekiranya tidak menjadi media penyesat kebahasaan. Mestinya media massa tampil sebagai tempat belajar bahasa paling cepat dan tepat. Caranya sederhana: cukup menyajikan berita menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Berita mesti disajikan dengan memperhatikan kaidah kebahasaan. Tapi, bila ada yang hendak menyediakan subrubrik bahasa, misalnya untuk memperkenalkan istilah-istilah baru atau meluruskan kesalahan berbahasa yang kerap terjadi di ruang publik, akan jauh lebih bermanfaat. Dengan begitu, publik bisa belajar bahasa secara mandiri dari media.