Ruteng, RNC – Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Ruteng, St. Agustinus mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, Sanitiar Burhanuddin segera mencopot Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Manggarai, Bayu Sugiri, SH. PMKRI Ruteng menilai, Bayu Sugiri berselingkuh dengan beberapa pihak terkait kasus Pembangunan Terminal Kembur.
Seruan itu disampaikan oleh PMKRI Ruteng, saat melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Kejari Manggarai, Senin (5/6/2023) siang. Puluhan aktivis PMKRI secara bergantian menyampaikan orasi dan melakukan aksi bakar ban.
Berikut 6 tuntutan Aliansi Masyarakat Adat Bersama PMKRI Ruteng dalam Aksi Jilid 2 Terminal Kembur.
Pertama; Bebaskan saudara Gregorius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa. Ke dua; Menyatakan Mosi tidak percaya terhadap Kejaksaan Negeri Manggarai. Ketiga; Mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia (RI) untuk Segera mencopot kepala Kejaksaan Negeri Manggarai. Ke empat; Mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia (RI) untuk mengevaluasi Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Kupang. Ke lima; Mendesak Pengadilan Negeri Kupang untuk mengambil alih proses penyelidikan pembangunan fisik Terminal Kembur. Ke enam; Mengutuk keras Kejaksaan Negeri Manggarai (Kejari) Manggarai yang tebang pilih dalam proses penegakan hukum di Tanah Congka Sae.
Ketua PMKRI Ruteng, Laurensius Lasak, melalui press release yang diterima RakyatNTT.Com menjelaskan bahww pada tahun 2012 dan 2013 Pemerintah Manggarai Timur melalui Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) mengadakan pembangunan untuk Terminal Kembur di Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur dengan luas lahan kurang lebih 7000 meter persegi dengan harga sebesar Rp420 Juta, setelah dipotong pajak menjadi Rp402.245.455 juta.
Untuk pembangunan Terminal Kembur Dishubkominfo melakukan transaksi jual beli dengan Gregorius Jeramu yang merupakan pemilik tanah. Di mana Gregorius Jeramu telah menguasai tanah itu selama kurang lebih 30 (tiga puluh) tahun. Tanah yang dikuasai secara fisik oleh Gregorius Jeramu sejak tahun 1981 dan pada tahun 1982 Gregorius Jeramu menjadikan tanah tersebut untuk mengusahakan, mengelola, dan memanfaatkan tanah hingga pada tahun 2012. Tanah tersebut hanya memiliki SPT PBB. Hingga pada tahun 2012 Dinas Perhubungan membeli tanah milik Gregorius Jeramu dengan harga Rp402.245.455 Juta dengan 2 (dua) kali pembayaran.
Namun, dalam perjalanannya pembangunan fisik terminal kembur tidak kunjung selesai. Sebab, pembangunannya tidak sampai finishing. Sehingga menyebabkan bangunan ini mangkrak. Atas dasar itu Kejari Manggarai melakukan proses penyelidikan terhadap pembangunan terminal kembur. Tetapi dalam prosesnya Kejari Manggarai tidak melakukan penyelidikan fisik melainkan mengalihkan penyelidikan ke proses pengadaan lahan.
“Sehingga pada tanggal 28 Oktober 2022 kejari Manggarai menetapkan dua (2) orang tersangka atas nama Gregorius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa,” jelas Laurensius.
Setelah itu, pada 29 maret 2023, Hakim di pengadilan tidak pidana korupsi (Tipikor) pada PN Kupang memvonis kedua orang tersangka yaitu Gregorius jeramu ( 2 tahun penjara dan membayar denda sebesar harga tanah yang telah ia terima), dan Benediktus Aristo Moa (1,6 tahun penjara serta denda 100 juta ). Penetapan tersangka oleh Kejari Manggarai sampai pada vonis yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Negeri Kupang kepada Gregorius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa (Pegawai biasa Dishub Kabupaten Matim).
“Keputusan ini menjadi presenden buruk dalam praktik penegakan hukum di Indonesia secara umum dan Manggarai khususnya. Selain itu penetapan tersangka ini melahirkan pesimisme masyarakat terhadap penegakan hukum di bumi Nuca Lale ini,” tegas Laurensius.
Ia menjelaskan, Keputusan yang dikeluarkan oleh Aparat Penegak Hukum tentu tidak diterima begitu saja oleh masyarakat adat Manggarai. Selain itu PMKRI sebagai organisasi yang mewakili suara masyarakat Manggarai telah menyampaikan keberatan terhadap keputusan yang di keluarkan Kejari Manggarai melalui aksi demonstrasi jilid satu.
“Namun sampai saat ini kedua orang ini telah divonis hukuman oleh majelis hakim tipikor Kupang. Sementara kalau dipertimbangkan secara jujur dan rasional tanah tersebut diakui secara hukum adat orang manggarai dan pembangunan fisik yang mangkrak merugikan keuangan negara,” kata Laurensius.
Keberatan tersebut lanjut Mahasiswa Program Studi PGSD Unika St.Paulus Ruteng itu, dilandasi oleh beberapa pertimbangan. Pertama, Terminal Kembur sama sekali tidak memberikan kontribusi ekonomi yang langsung terhadap masyarakat Manggarai Timur melalui PAD maupun pajak retribusi. Pilihan mengabaikan penyelidikan terhadap pembangunan fisik, tentu menimbulkan kecurigaan yang besar bagi masyarakat.
“Bahwa kami menduga Kejaksaan Negeri Manggarai telah bermain mata atau berselingkuh dengan beberapa pihak tertentu sehingga kasus pembangunan fisik ditutup rapat oleh kejaksaan negeri Manggarai. Dalam hal ini kuat dugaan kami bahwa Kejari Manggarai telah menjadikan kasus terminal kembur sebagai ajang dalam praktik-praktik pemerasan,” tegasnya lagi.
Kedua, terkait total lose atau kerugian negara sesuai hasil perhitungan yang telah disampaikan oleh Inspektorat NTT sebesar harga tanah. PMKRI menilai keputusan ini sangat tidak logis. Karena Gregorius Jeramu merupakan pemilik sah tanah dan telah diakui secara hukum adat Manggarai. Hal ini dikuatkan oleh UUD 1945 setelah amandemen ke-2 pada tahun 2000, yang termuat dalam pasal 18B yang menerangkan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Namun kenyataannya Kejari Manggarai mentersangkakan Gregorius Jeramu dengan PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah PBB tersebut bukan alas hak/bukti kepemilikan tanah. Sementara berdasarkan hierarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia hukum tertinggi adalah UUD 1945.
“Oleh karena itu kami menilai bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh Kejari Manggarai sangat melawan perintah UUD 1945. Bahwa menurut kami, dikatakan sebagai total los atau kerugian negara apabila Gregorius Jeramu menjual tanah yang bukan miliknya, sementara faktanya dia menjual tanah miliknya sendiri yang diakui secara hukum adat Manggarai,” kata Lorensius.
Artinya kata dia, bahwa dalam proses penegakan hukum yang sedang berjalan telah mengabaikan hukum adat atau mengabaikan hak ulayat masyarakat adat Manggarai.
Ketiga, Proses penegakan hukum yang telah berjalan kami menilai ada upaya kriminalisasi hukum terhadap pemilik lahan. Hal ini dikuatkan bahwa tanah tersebut telah dikuasai oleh Gregorius Jeramu sejak tahun 1980-an dan juga dengan pengakuan dari Tu’a Golo (Tua Adat) Kembur yang menyatakan bahwa tanah tersebut sudah dikuasai oleh Gregorius lebih dari 20 tahun.
Dalam pasal 37 UU Pokok Agraria yang berbunyi bahwa ketika kita menguasi tanah selama 20 tahun atau lebih secara terus menerus, jujur, dan tidak dipersengketakan, memiliki hak untuk memperoleh hak atas tanah tersebut. Artinya negara sudah mengatur sedemikian rupa tentang hukum adat yang kemudian dijadikan sebagai landasan tentang keberadaan tanah yang berada di Indonesia umumnya dan Manggarai pada khususnya.
“Apalagi Manggarai yang masih percaya penuh dengan hukum adat dalam berbagai aspek terlebih khusus tentang tanah,” katanya.
Keempat, PMKRI Ruteng menilai bahwa proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejari Manggarai dan hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Kupang tidak objektif dan tebang pilih. Sebab Fansi Jahang (Saat ini Sekda Manggarai) dan Gaspar Nanggar waktu itu menjabat sebagai kepala dinas dan Kepala Bidang yang menjadi penanggung jawab anggaran tidak ditersangkakan.
Untuk diketahui, aksi demonstrasi PMKRI Ruteng, dikawal ketat oleh aparat Kepolisian Resort (Polres) Manggarai dan sejumlah awak media. (rnc23)