Jakarta, RNC – KPK mengungkap awal mula terbongkarnya kasus suap ekspor benih lobster yang melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo. KPK lalu menyelidiki belanja mewah yang dilakukan Edhy di Hawaii, Amerika Serikat.
KPK memang mengintai kasus ini pada Agustus lalu. Menjelang Akhir November KPK menerima informasi dugaan terjadinya penerimaan uang oleh Penyelenggara Negara. Hal itu terjadi pada tanggal 21 November 2020 sampai dengan 23 November 2020.
“Informasi adanya transaksi pada rekening bank yang diduga sebagai penampung dana dari beberapa pihak yang sedang dipergunakan bagi kepentingan Penyelenggara Negara untuk pembelian sejumlah barang mewah di luar wilayah Indonesia,” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam jumpa pers dari Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (25/11/2020) seperti dilansir dari detikcom.
BACA JUGA: Menteri KKP Edhy Prabowo Ditetapkan Tersangka Suap Ekspor Benih Lobster
Kasus ini bermula pada 14 Mei 2020, Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Pihak yang hendak menjadi eksportir benih lobster harus memenuhi penilaian Tim Uji Tuntas sebagaimana yang tertera dalam Surat Keputusan itu.
Tim Uji Tuntas dipimpin oleh Staf Khusus Edhy bernama Andreau Pribadi Misanta (APS) selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas. Selain itu, Staf Khusus Menteri Edhy bernama Safri (SAF) selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas.
Awal Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) bernama Suharjito (SJT) datang ke kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk bertemu SAF. PT DPP hendak menjadi eksportir benur. Untuk mengekspor benur, maka syaratnya harus melalui PT Aero Citra Kargo (PT ACK). PT ACK ini bertindak sebagai ‘forwarder’ benur dari dalam negeri ke luar negeri.
“Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp 1800/ekor,” kata Nawawi Pomolango.
Supaya diterima sebagai eksportir benur, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp 731.573.564,00.
Pada bagian ini inilah KPK menemukan modus rekening penampung. Uang yang dikirim ke rekening tersebut yang kemudian dibelanjakan di Hawaii.
PT ACK dipegang oleh Amri dan Ahmad Bahtiar. Amri dan Ahmad Bahtiar diduga merupakan calon yang diajukan pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja.
Duit-duit dari perusahaan-perusahaan yang berminat menjadi eksportir benur kemudian masuk ke rekening PT ACK.
“Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar, masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar,” kata Nawawi.
BACA JUGA: Menteri Edhy Prabowo Diduga Terima Suap Rp 3,4 Miliar
Pada 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari PT ACK melalui rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih (staf istri Edhy) sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy Prabowo, istrinya bernama Iis Rosyati Dewi, stafsus Edhy bernama Safri, dan stafsus Edhy bernama Andreau Pribadi Misanta. Duit Rp 3,4 miliar itu dipakai belanja-belanja di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS).
“Penggunaan belanja oleh EP dan IRW di Honolulu AS ditanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sekitar Rp 750 juta berupa Jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy,” kata Nawawi.
“Di samping itu pada sekitar bulan Mei 2020, EP juga diduga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100 ribu dari SJT melalui SAF dan AM. Selain itu SAF dan APM pada sekitar bulan Agustus 2020 menerima uang dengan total Rp 436 juta dari AM,” kata Nawawi.