Menjawab Tantangan Bangsa: Dari Covid-19 hingga Absennya Ahimsa (Bagian 1)

Opinidibaca 246 kali

Oleh Feliks Tans

Dosen FKIP, UNDANA, Kupang

 

INDONESIA, kita insaf, mengalami banyak kemajuan akhir-akhir ini. Dia, misalnya, masuk dalam jajaran negara berpenghasilan menengah atas seiring dengan pendapatan per kapitanya yang semakin membaik. Itu disebabkan, antara lain, oleh sistem pendidikan kita yang mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu: menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) secara relatif mumpuni.

Dengan SDM seperti itu, Indonesia mampu mengelola sumber daya alam (SDA), membuka dan mengelola industrinya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, membangun sarana-prasarana berkelas seperti gedung pencakar langit, jalan, jembatan, bandar udara dan laut yang megah di seluruh Indonesia dengan sistem transportasi dan komunikasi yang canggih, aman, nyaman, dan lancar. Juga mampu membentuk sistem pemerintahan yang demokratis, prorakyat, dan prolingkungan dengan misi membangun Indonesia yang moderen dengansentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih.

BACA JUGA: Meneropong Kualitas Pendidikan di Indonesia

Pada saat yang sama, Indonesia terus membangun dan melestarikan seni-budaya tradisionalnya yang sangat indah mempesona. Walaupun demikian, itu bukan berarti tidak ada lagi tantangan bagi kita dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia pasti akan terus berhadapan dengan berbagai tantangan yang, tentu, harus dijawab secara cepat, tepat, dan benar, demi kejayaannya seperti yang diuraikan berikut ini.

Pertama, Covid-19 dan berbagai penyakit lainnya. Ini, memang, bukan persoalan bangsa kita saja. Ini persoalan global. Ketika menyampaikan pidato pengukuhannya pada tanggal 20 Januari 1960, John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang ke-35, mengingatkan bahwa penyakit adalah salah satu musuh utama umat manusia.
Saat ini, kita tahu, berbagai negara, termasuk Indonesia, berusaha secara sungguh-sungguh untuk menemukan jalan keluar dari Covid-19 dan dari berbagai penyakit yang dideritanya melalui berbagai pusat penelitian, baik milik pemerintah maupun swasta. Kita berharap dan berdoa, mereka akan segera berhasil.

Dalam jangka panjang, pendidikan, tentu, mempunyai makna penting untuk mengatasi masalah penyakit tersebut. Caranya? Anak-anak Indonesia yang brilian dalam bidang akademis perlu diberi perhatian ekstrakhusus pada setiap level pendidikan untuk menjamin bahwa, pada saatnya nanti, mereka mampu menjadi ilmuwan top dunia, termasuk dalam bidang kesehatan, yang bisa menghasilkan obat atas penyakit apapun yang diderita manusia.

Ketiadaan perhatian khusus seperti itu, sejak Indonesia merdeka, saya takut, membuat kita kekurangan ilmuwan top, bukan karena kita tidak punya anak-anak cerdas, berbakat, dan baik hati, tetapi karena, antara lain, dalam perjalanan panjang menuju puncak intelektualitasnya, mereka memilih untuk menyerah. Berhenti sekolah/kuliah. Drop out. Beberapa, bahkan, bunuh diri karena stres, apalagi ketika harus belajar secara online seperti pada masa pandemik Covid-19 ini. Tidak percaya? Buka saja mensin pencari informasi “Google,” ketik anak didik/murid/siswa/siswi bunuh diri karena stres dalam belajar, akan keluar banyak berita tentang itu. Kenyataan, memang, mendukung hal itu: siapapun pasti stres kalau yang dipelajarinya sering tidak sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya.

Padahal, belajar, online atau offline, sejatinya, selalu menyenangkan bagi anak-anak kita, jika mereka merdeka dalam belajar, yaitu memiliki freedom to learn sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya. Dengan kata lain, “merdeka belajar” itu, kita tahu, ada dan dirasakan oleh anak-anak kita, jika mereka belajar sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya. Lalu, mengapa “merdeka belajar” di sekolah kita hanya sebuah “tong kosong yang nyaring bunyinya,” bahkan, ketika Menteri Nadiem Anwar Makarim, penggagasnya di Indonesia, masih menjadi panglima Kemendikbud?

Jawaban atas pertanyaan itu ini: kita salah urus pendidikan kita. Kesalahan itu, tentu, harus diatasi karena dampaknya sangat besar. Ketika Covid-19 muncul, misalnya, kita kelabakan. Kita kurang mampu mengatasinya. Korban pun berjatuhan. Karena itu, sistem pendidikan kita perlu ditata ulang, bukan secara sentralistis, tetapi secara desentralistis (Feliks Tans, “Desentralisasi Pendidikan.” Kompas, 28 Desember, 2011, hlm. 7) untuk membuatnya lebih mampu menjawab tantangan bangsanya secara umum, Covid-19 dan berbagai penyakit lainnya secara khusus, dan, melalui Indonesia, tantangan global.

Dengan kata lain, desentralisasi pendidikan penting agar dari rahim pendidikan kita, dari Sabang sampai Merauke, lahir orang Indonesia yang cerdas–selain terampil dan berkarakter mulia–yang mampu, misalnya, menemukan obat Covid-19yang pas. Orang-orang cerdas seperti itu tidak bisa lahir dari sistem pendidikan yang bersifat sentralistis karena dalam pendidikan yang tersentralisasi, kebijakan pendidikan, termasuk, misalnya, kurikulum sekolah, diatur pemerintah pusat.

Akibatnya, sering terjadi ketidakcocokan: apa yang diajarkan dan dipelajari sering tidak sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan belajar murid. Ini, pada gilirannya, dalam banyak hal, menghalangi lahirnya orang cerdas dari sekolah kita. Bagaimana orang bisa cerdas, jika yang diajarkan dan dipelajari kurang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan belajar murid?

Oleh sebab itu, Indonesia, sejatinya, butuh sistem pendidikan desentralistis. Biarkan setiap lembaga pendidikan mengatur, misalnya, kurikulumnya sendiri. Caranya? Mestinya mudah. Di sekolah, anak-anak kita bertemu gurunya. Dalam pertemuan pertama, para guru, tentu, tidak tahu bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya. Namun, dalam pertemuan selanjutnya, melalui, misalnya, dialog dari hati ke hati dengan si murid atau orang yang mengenal murid itu dengan baik, seorang guru akan tahu secara pasti bakat, minat, dan kebutuhan muridnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *