Oleh Feliks Tans
Guru Besar FKIP, Universitas Nusa Cendana, Kupang
SEJAK Senin, 10 Mei 2021, seperti yang kita lihat via media online dan offline, Israel dan Palestina terlibat perang yang relatif sengit dan mematikan. Dengan ribuan roketnya yang menjadi malaikat maut bagi Israel, Palestina (Hammas) menyerang Israel.
Israel membalasnya dengan serangan udara militer yang lebih mematikan dengan sasaran yang beragam di Gaza. Akibatnya ini: sejak konflik itu pecah, telah berjatuhan korban di kedua belah pihak. Palestina 212 orang, termasuk 61 anak, Israel 12 orang, termasuk 2 anak; di Gaza sekitar 100 rumah/gedung hancur-lebur-berantakkan, termasuk gedung media dan rumah sakit.
Menurut PM Israel, Benjamin Netanyahu, serangan Israel ke Gaza tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Itu berarti korban akan berjatuhan lagi dan lagi dan lagi. Di dalam negeri Israel sendiri, warganya berkelahi secara brutal karena, antara lain, sukunya berbeda: Yahudi melawan Arab.
Apa arti semua ini? Apalagi artinya kalau bukan ini: kasih lagi kandas atau, lebih tepat, sedang sekarat di Galilea (Pars pro toto: Israel). Ini ironis karena di sanalah hukum kasih, hukum paling utama, itu lahir dari mulut Yesus Kristus sendiri, orang Nasaret itu: intailah sesamamu manusia seperti engkau mencintai dirimu sendiri; kejahatan janganlah dibalas dengan kejahatan; tiada kasih yang lebih agung daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi orang yang dikasihinya; ampuni mereka, Tuhan, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka buat. Kata-kata yang dipraktikkan-Nya sendiri sedemikian rupa sehingga dalam sejarah Dia disebut sebagai pemimpin eksemplaris. Menjadi contoh: kata-kata dan perbuatan-Nya satu. Seiring sejalan. Tidak berbeda. Sama. Serupa.
Namun, yang dipertontonkan di sana, saya takut, seperti juga yang terjadi di sebagian besar dunia ini, sebaliknya: kasih diinjak-injak; kebencian antarbangsa dan suku dalam bentuk roket dan serangan militer yang menewaskan dan merusak secara masif. Ini diperparah oleh ulah orang hebat seperti Josep Biden, Presiden AS yang baru terpilih itu. Kata-katanya bahwa “Israel mempunyai hak untuk membela diri”, disadari atau tidak, saya kira, menjadi pemacu dan pemicu semangat Israel untuk terus menyerang Palestina via serangan udara yang bertubi-tubi yang mematikan karena merasa “mempunyai hak untuk membela diri.”
Padahal membela diri bukan begitu, bukan? Dia, sejatinya, menangkis serangan lawan dan, pada saat yang sama, menyerangnya, tetapi lawan yang diserang itu adalah lawan yang menyerang; bukan istrinya kalau yang menyerang seorang suami; bukan anaknya kalau yang menyerang seorang ayah atau ibu; bukan orang tuanya jika yang menyerang seorang anak. Jika yang diserang adalah orang yang tidak menyerang–Betapa pun mereka, yang menyerang dan yang tidak menyerang, punya hubungan darah yang sangat dekat, apalagi dalam jumlah yang besar –itu bukan lagi “hak membela diri”; itu namanya tindakan kriminal; kejahatan melawan kemanusiaan. Josep Biden, Presiden AS, negara “superpower” itu, sejatinya, tahu itu.
Menyerang seorang penyerang secara berlebihan pun, dalam konteks hukum kasih itu, salah. Sebab kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan. Apalagi kalau balasannya lebih mematikan, walaupun “one on one” sifatnya. Artinya, jika seseorang memukul Anda tanpa sebab, secara manusiawi Anda berhak untuk “membela diri” dengan memukul balik, tetapi hanya sampai di situ. Jika Anda pukul orang itu sampai diamati, Anda salah. Anda lebih salah lagi jika Anda tidak hanya memukul orang itu, tetapi juga membunuh dia dan orang lain di sekitarnya hanya karena mereka tinggal bersama.
Dalam keadaan demikian, apa yang seharusnya dilakukan? Kita memukul dahi dan meratapi nasib? Saya kira tidak. Saatnya untuk beraksi supaya hukum kasih itu ditegakkan (kembali): ketika orang pukul pipi kiri, kasih pipi kanan; lemparan batu dibalas dengan lemparan kapas; berkurban untuk kebaikan bersama dibudayakan; jangan pernah menggunakan kekerasan apalagi membunuh siapapun, betapa pun mereka jahat. Jika yang jahat saja tidak boleh dibunuh, apalagi yang inosen, yang tidak bersalah, yang tidak berdosa, janganlah dibunuh! Melakukan sebaliknya seperti yang kini terjadi di Galilea, tempat Pangeran Perdamaian dan Hukum Kasih-Nya lahir ribuan tahun lalu itu, salah besar.
Aksi kasih ini, tentu, penting. Sangat penting bahkan! Sebab sekarang ini kekerasan semakin menjadi-jadi seperti yang kita lihat bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga di mana-mana, termasuk di negeri kita sendiri, Indonesia. Di Papua dan Papua Barat, misalnya, ada kelompok kriminal bersenjata yang sering membuat kerusuhan dan melakukan tindakan kriminal. Pada saat yang sama, ada juga TNI dan Polri yang, saya kira,melakukan “revenge” yang tak kalah “kejam” sifatnya.
Jika ini tidak segera diatasi, saya takut, dia, budaya kekerasan itu, akan meluas dan membuat dunia ini menjadi tidak aman. Jauh dari rasa nyaman di rumah kita sendiri sekalipun. Sebelum itu terjadi, hukum kasih, kiranya, jangan dibiarkan kandas seperti di Galilea, tempat kasih itu lahir dan mengubah dunia.
Bisakah? Pasti bisa.
Yesus Kristus sendiri sudah membuktikannya. Juga ribuan pengikut-Nya yang terkenal karena kebajikannya dalam sejarah. Mereka saksinya bahwa kasih bukan sesuatu yang mustahil di bumi ini. Selain mereka, Mahatma Gandhi, orang India yang luar biasa itu, yang mengajarkan “ahimsa,” perjuangan tanpa kekerasan, telah berhasil meyakinkan dunia fana ini bahwa kasih itu bisa tumbuh secara begitu subur dalam hati setiap insan. Pada setiap zaman, apapun latarbelakang suku, agama, ras, dan golongannya, sehingga dia, kasih itu, tidak akan pernah kandas lagi seperti yang kini kita lihat di Galilea itu. (*)