Kasus Perdata Dibawa ke Ranah Pidana oleh BPR Christa Jaya, Riwu Kore Surati Kapolri

Hukrim, Kota Kupangdibaca 2,099 kali

Kupang, RNC – Albert Wilson Riwu Kore, SH (60), notaris di Kota Kupang, menyurati Kapolres Kupang Kota, Kapolda NTT hingga Kapolri. Surat dilayangkan terkait kasus perdata yang dipidanakan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Christa Jaya Perdana Kupang.

Albert sendiri merupakan pihak terlapor terkait laporan polisi penggelapan nomor LP/B/52/II/2019/SPKT tanggal 14 Februari 2019 dengan pelapor BPR Christa Jaya Perdana.

Dilansir dari digtara.com, dalam suratnya, Albert membeberkan kronologi kasus ini berawal saat BPR Christa jaya Perdana menyalurkan kredit Rp 735.000.000 kepada Rachmat, SE dengan jaminan sertifikat hak milik (SHM) nomor 368/Oebufu.

SHM tersebut diserahkan ke staf Albert untuk diikat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan pemecahan surat order oleh BPR Christa Jaya Perdana.

Belakangan disepakati SHM 368/Oebufu tidak perlu APHT tetapi dilakukan pemecahan. “Untuk pemecahan ini, SHM tersebut diserahkan kembali kepada Rachmat selaku pemilik dengan persetujuan pihak BPR Christa Jaya Perdana karena hanya pemilik yang bisa melakukan pemecahan,” tandasnya.

Rachmat memberi kuasa kepada Yes untuk proses pemecahan disetujui pihak BPR sesuai surat order awal serta dana pemecahan yang diserahkan BPR kepada Albert dan disalurkan kepada Yes.

Setelah dilakukan pemecahan maka SHM 368/Oebufu menjadi 18 SHM yang diserahkan oleh Yes ke staf Albert. “18 SHM diserahkan bukan oleh BPR Christa Jaya Perdana sehingga antara BPR dengan Albert tidak mempunyai hubungan hukum apapun,” ujarnya.

Selanjutnya 3 SHM yang merupakan bagian dari 18 SHM diambil pihak BPR dengan persetujuan Rachmat dan dijual kepada Yosafat Marto Diaz, Ibrahim Abdulah dan Rudianto.

“Hasil penjualan tiga bidang tanah tersebut dipakai untuk pembayaran cicilan hutang kredit Rachmat ke BPR Christa Jaya Perdana sehingga hubungan hukum antara BPR dan Rachmat adalah keperdataan karena ada prestasi berupa pinjaman dan kontraprestasi berupa pengembalian pinjaman dengan cara cicil,” tandas Albert.

Sisa SHM (15 buah) dititipkan Rachmat kepada staf Albert dan kemudian Rachmat datang lagi mengambil 9 SHM dengan alasan meminjam untuk foto copy dan Rachmat mengaku telah melunasi seluruh hutangnya kepada BPR sebesar Rp 3,5 milyar.

Hal ini ditunjukkan dengan satu lembar Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dari OJK soal hutang Rachmat ke BPR sebesar Rp 3,5 milyar.

Ada pula bukti transfer dana Rp 3,5 milyar dari Rachmat ke BPR sebanyak dua kali pada 21 Oktober 2016 masing-masing sebesar Rp 1.781.888.446.

“Dengan pelunasan hutang secara keseluruhan oleh Rachmat maka perjanjian pokok menjadi hapus. Hubungan Rachmat dengan BPR adalah hubungan kontraktuil yang bersifat keperdataan,” tambahnya.

Ia menilai sangat kontradiktif apabila BPR bertindak seolah-olah sebagai pemilik barang jaminan karena bertentangan dengan pasal 12 UU nomor 18/1985.

Disisi lain proses adendum atau perubahan terhadap perjanjian pokok yang dilakukan BPR telah hapus sehingga penyerahan 9 SHM oleh staf Albert, Rinda A Djami tidak bertentangan dengan hukum karena 9 SHM masih tercatat atas nama Rachmat.

“Kami tidak memiliki kewajiban hukum yang mewajibkan kami harus mendapatkan persetujuan dari BPR soal penyerahan 9 SHM kepada Rachmat karena 9 SHM ini bukan kami peroleh dari BPR,” jelasnya.

Penyerahan 9 SHM ini oleh staf Albert ternyata dikomplain pihak BPR sehingga staf Albert melaporkan Rachmat ke Polres Kupang Kota namun Polres Kupang Kota menyatakan pengambilan 9 SHM oleh Rachmat dari Albert dibenarkan oleh hukum karena Rachmat sendiri yang menitipkan dan mengambil serta hutang sudah dilunasi dibuktikan dengan SP2HP tanggal 13 September 2019 yang menyatakan Rachmat berhak atas 9 SHM karena merupakan pemilik.

“Dalil-dalil BPR Christa Jaya Perdana bahwa berhak atas 9 SHM yang dituduh digelapkan oleh kami telah digugat secara perdata oleh BPR selaku penggugat dan kami selalu tergugat pada Pengadilan Negeri Kupang, akan tetapi dalil-dalil tersebut tidak dapat diterima oleh hakim pengadilan negeri Kupang dan berkekuatan hukum tetap,” ujar Albert Riwu Kore.

Albert menyatakan tidak ada unsur kerugian materiil karena hasil pecahan SHM 368 sudah mendatangkan keuntungan bagi BPR karena Rachmat sudah membayar pokok dan bunga hutang dengan bukti transfer Rp 3,5 milyar ke rekening BPR.

“Penyerahan 9 SHM oleh staf kami ke Rachmat bukanlah perbuatan penggelapan seperti laporan BPR ke Polda NTT dan sinkron dengan SP2HP Polres Kupang Kota. Kalaupun kami dianggap lalai telah menyerahkan 9 SHM kepada Rachmat selaku pemilik tanpa sepengetahuan BPR tidak dapat dipidana,” ujarnya.

Albert meminta Kapolri, Kapolda NTT dan Kapolres Kupang Kota agar menghentikan proses penyidikan atas laporan BPR nomor LP/B/52/II/2019/SPKT tanggal 14 Februari 2019 karena kental unsur perdata.

(*/dig/rnc)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *