oleh

Makna Simbolik Banalitas ‘Tubuh Perempuan’ sebagai Letak Kekuasaan

ads
ads

Oleh Oswaldus Mamulak
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira

PADA beberapa tahun belakangan, di Indonesia, secara khusus di NTT dan beberapa provinsi lain, ada sebuah gejala baru yang bergerak pada tujuan yang secara eksklusif untuk memperoleh ‘kekuasaan’ ialah stereotip tubuh perempuan sebagai alat komoditi yang dihasilkan oleh paham kapitalisme.

ads
ads

Tubuh sebagai perlawanan terhadap kekuasaan. Gejala yang tampak digambarkan sebagai perempuan hidup dari kebebasan yang terberikan. ‘Pengeksploitasi’ tubuh perempuan saat ini sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan merupakan pergolakan secara simbolik.

Seperti, dikutip pada Pos Kupang.com pada Rabu 13 Mei 2020, ibu-ibu di Besipae-TTS nekat buka baju dan BH di depan Gubernur NTT sebagai bentuk protes karena adanya klaim pemerintah terhadap kebun dan tanah di mana rumah mereka yang dibangun sebagai tanah pemerintah.

Pluralitas dengan beragam perbedaan bukan berarti harus ada intimidasi dan marginalisai terhadap yang lain. Perbedaan itu justru memiliki makna pemberdayaan yang harmonis. Beriringan pada masa sekarang yang menggencarkan ialah kesetaraan gender, keadaan maskulinitas dan feminitas, berupaya menciptakan situasi otonomi sebagai manusia bermartabat. Upaya gebrakan konstruksi sosial dalam budaya patriarki yang memandang perempuan sebagai yang lain (the others), mesti diupayakan sebagaimana dalam perjuangan emansipasi perempuan dalam landasan konsep feminisme eksistensialis Simone De Beauvoir.

Menurut Simone De Beauvoir (Gede Agus Siswadi 2022: 58-69) feminisme eksistensialis berorientasi keniscayaan kebebasan perempuan sebagai pribadi subjektivitas. Pada berabad-abad sebelumnya perempuan dilepaskan dari subjektivitasnya, segala peran yang dilakukan perempuan berdasarkan kontrol otoritas kaum laki-laki. Kaum perempuan tidak menemukan esensinya dikarenakan eksistensi yang tidak terealisasi. Pada dasarnya eksistensi manusia merupakan pencapaian manusia dalam kebahagiaan. Kaum perempuan yang memperjuangkan kebebasan eksistensinya adalah perjuangan yang asasi dan bersifat yuridis.

Baca Juga:  Bersama Gen-Z dan Milenial, Pro Gibran NTT All Out untuk Prabowo-Gibran

Gender sebagai standar yang terkonstruksi dalam kehidupan sosial dan budaya pada era modern tidak lagi dalam bentangan prinsip atas-bawah, hegemoni-marginal, dan subyek-obyek. Antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang memiliki martabat yang sama, maka soal kebebasan yang berlandaskan pada pertimbangan akal budi dan hati nurani yang sama-sama dimiliki semua manusia entah dia itu laki-laki maupun perempuan, dengan singkat kata manusia memiliki otonomi diri terhadap dirinya dan semua perbuatannya.

Adanya perjuangan kebebasan sebagai bentuk akibat dari penindasan yang hampir-hampir merusak kemartabatan. Penindasan intelektual telah memantik pergerakan aufklarung, penindasan kelas sosial mengkonfrontasikan pergerakan marxisme, dan penindasan kaum perempuan telah membangkitkan pergerakan emansipasi feminisme, dan masih banyak lagi pergerakan kebebasan.

Kedudukan perempuan sedemikian rupa dimodifikasi dalam tatanan sosial, kini menjadi tercemar, terlebih dengan adanya human trafficking. Menjadi rumor perempuan sebagai objek dan laki-laki sebagai subjek yang merujuk pada pengendalian laki-laki terhadap perempuan sampai-sampai pada kepuasan libido kaum laki-laki. Keadaan ini memberikan afirmatif kepada sang penguasa untuk berkuasa terhadap yang dikuasai.

ads
ads

Tubuh perempuan sebagai strategi perlawanan kekuasaan, memberi sebuah disposisi kehendak bebas perempuan dan supremasi bagi kehadirannya. Di sini penulis bukan memposisikan diri untuk melegitimasi pemeralatan ketelanjangan tubuh perempuan sebagai satu-satunya perlawanan terhadap otoritas kepemimpinan. Yang penulis posisikan, bagaimana strategi propaganda dan pemberontakan bukan lagi dalam bentuk perbenturan fisik yang memakan korban, tapi sebagai mana diterangkan di atas sebagai pergerakan simbolik. Dikatakan sebagai pergolakan simbolik bila mana tubuh perempuan didenotasikan pada tindakan pencitraan.

Sebagaimana tubuh perempuan termuat unsur kesakralan mestinya harus disikapi oleh sang penguasa dengan menghargainya yang kemudian meruntuhkan ambisi otoritatifnya. Dari ulasan ini penulis membuka hipotesis baru dalam beberapa gejala sosial sudah mulai bermunculan bahwa adanya pergerakan rumor tubuh perempuan sebagai komoditi menjadi tubuh perempuan diperalat melawan kekuasaan. (*)

Baca Juga:  GAMKI NTT Gelar Pelatihan Dasar Pendampingan Korban Human Trafficking

 

Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *